Jilid 1 s/d 11 silahkan kunjungi di http//:ceritabuminusantara.blogspot.com
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 1
oleh : Marzuki
Sebelum menjalankan tugas untuk menyelidiki pasukan bawah tanah Jipang Panolan, Lurah Arya Dipa memanggil bawahan sekaligus kawannya dari Wira Tamtama, yaitu Lurah Jaka Ungaran dan Sambi Wulung. Keduanya ia serahi tugas untuk selalu berada disamping Pangeran Anom, guna melindungi putra sulung Sultan Trenggono dari ancaman yang tak terduga. Selain itu tak lupa Lurah Arya Dipa menemui ayah angkatnya, ki Panji Mahesa Anabrang guna meminta bantuan prajurit telik sandi untuk menjadi penghubung antara dirinya berkaitan keadaan kotaraja sewaktu dirinya berada di luar kotaraja.
Persiapan demi persiapan telah diselesaikan. Bersamaan berangkatnya iringan panjang pasukan Demak. Sungguh mengesankan dari pasukan yang akan melawat ke timur itu. Pataka berupa kain berwarna gula kelapa berkibar gagah di tengah iringan, yang menandakan keberadaan sang nata Demak. Selain itu terdapat berbagai umbul dan panji bercirikan kesatuan prajurit Demak yang dibanggakan kawula Demak.
Dalam pada itu, agak jauh dari kerumunan orang - orang yang menyaksikan iringin pasukan Demak, Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya saat memperhatikan adanya orang yang mencurigakan. Orang itu terlihat mengamati semua pasukan Demak dan lebih bersungguh - sungguh ketika melihat prajurit pengawal Sultan Trenggono. Sejenak kemudian orang tersebut beringsut meninggalkan tempatnya dan hilang dibalik kerumunan orang.
Lurah Arya Dipa tak tinggal diam. Lekas ia mengejarnya meskipun harus menyerobot dari tubuh orang - orang.
"He.. ! Dasar anak setan !" seru orang yang merasa terganggu akibat ulah Lurah Arya Dipa.
Lurah Arya Dipa tak menghiraukan omelan orang yang merasa terganggu. Ia terus menghambur mencari orang yang ia curigai. Syukurlah ia masih melihat kelebat bayangan berlari ke kelokan jalan. Oleh karenannya lekas dipesatkan kakinya mengejar orang tersebut. Dan benar saja, sehabis jalan berkelok dua orang terlihat jelas berjalan sembari membicarakan sesuatu yang sepertinya sangat rahasia.
"Kisanak... ! Harap berhenti... !" seru Lurah Arya Dipa.
Dua orang berjalan di depan menghentikan langkahnya dan saling berpandangan satu dengan lainnya. Dahi keduanya mengerut dalam dan tak mengerti kenapa ada orang mencoba memperhentikan langkah mereka.
"Ada apa kisanak ?!" salah seorang bertanya, sementara yang satunya dengan tatapan tajam memperhatikan penampilan Lurah Arya Dipa.
Untungnya, saat itu Lurah Arya Dipa tidak mengenakan pakaian prajurit. Sehingga jatidirinya tak dapat dikenali oleh keduanya. Meskipun salah seorang dari kedua orang yang khususnya yang dikejar tadi masih terus mengamatinya.
"Siapa kisanak ini ? Sejak aku lahir dan beranjak dewasa di kotaraja ini, aku tak mengenali kalian."
"Ah.. Kami hanyalah seorang pengembara saja, anak muda." jawab lelaki berperawakan tinggi besar berkumis tebal, "wajar saja jika kau tidak mengenal kami."
Lurah Arya Dipa mengangguk, "Pantas, kalau begitu darimana asal kisanak berdua ?" kembali Lurah Arya Dipa melemparkan pertanyaan.
Tentu saja perlakuan pemuda itu membuat kedua orang lelaki itu sidikit mendongkol, tetapi orang berperawakan tinggi berkumis tebal mencoba mengendapkan perasaannya. Dan kemudian jawabnya sambil memaksakan bibirnya tersenyum.
"Aku dari dukuh Banjar Rejo yang masuk telatah Ponorogo." jawabnya asal - asalan.
Jawaban itu menimbulkan kecurigaan semakin dalam bagi Lurah Arya Dipa. Karena kadipaten Ponorogo merupakan telatah dimana masa kecilnya terlewati bersama ki Panji Mahesa Anabrang, lekaslah lurah muda itu mengetahui kalau orang berperawakan tinggi itu berkata bohong dan terbilang mengada - ngada. Tapi Lurah Arya Dipa tidak bersikeras membantah ucapan orang itu, melainkan malah membuat orang itu bingung.
"Oh, jadi kisanak ini dari Banjar Rejo ?" kata Lurah Arya Dipa, terlihat ramah serta melanjutkan ucapannya, "Berarti kisanak kawula paman Demang Jati Rekso.. "
Orang berperawakan tinggi berkumis tebal salah tingkah sambil menatap kawannya. Sementara kawannya yang berbadan kurus pendek juga menatapnya seraya mengedipkan mata memberikan isyarat. Selekas adanya isyarat, orang berperawakan tinggi berkumis tebal mulai menguasai keadaan dan telah berubah kasar. Bentakan kasar tiba - tiba menyeruak dari mulutnya.
"He, jangan kau hiraukan kami, jika kau sayang nyawamu, anak setan !"
Meskipun dalam hati tersenyum karena pancingannya tersambar, Lurah Arya Dipa berusaha berpura - pura kaget. Kakinya terjingkat dengan tubuh agak gemetar seakan akan jatuh lunglai, ia berkata, "A..Apa mak..sud kisanak ?"
"Huh, belum sadar juga kau anak bengal ! Bila aku pelintir kepalamu, itu tandanya nyawamu melayang !" bentak orang berbadan kurus pendek.
"Me..memangnya sa..lahku apa ?"
"Jangkrik setan bengal !" Kembali orang berbadan kurus pendek itu menghardik, "Tidak usah banyak omong, pergilah selagi aku masih dapat menahan amarahku !"
Bentakan itu membuat pemuda itu jatuh terduduk. Mengetahui itu, orang berbadan kurus pendek tersebut mengajak kawannya meninggalkan pemuda tadi dengan cepat. Keduanya berjalan mengarah padukuhan segaris lurus gerbang timur.
Sepeninggal orang berbadan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek, Lurah Arya Dipa bangkit berdiri sambil merapikan pakaiannya. Sudah cukup baginya untuk mengingat perawakan dan raut wajah kedua orang yang dicurigai. Ia tidak mengambil sikap lebih lanjut melalui jalan kekerasan demi ingin mengetahui lebih dalam siapa orang - orang tadi. Dalam hatinya ia yakin kalau keduanya berhubungan dengan pihak yang menentang Demak, entah itu orang - orang Bang Wetan atau yang lainnya.
"Biarlah mereka keluar dari pintu gerbang. Aku yakin akan dapat mengejar keduanya." desis Lurah Arya Dipa.
Pemuda itu kemudian mencari jalan lain yang arahnya juga ke gerbang timur. Meskipun agak jauh, akhirnya Lurah Arya Dipa hampir mendekati pintu gerbang dan di situ seorang kakek tersenyum menyambutnya.
"Lama sekali kau, anakmas Kilatmaya... " sapa kakek itu.
Lurah Arya Dipa tersenyum, "Maaf, Kyai. Tadi ada sesuatu yang membutuhkan perhatianku."
"Mudah - mudahan bukan gadis penghuni padukuhan ini." goda kakek itu sembari tertawa.
"Ah.. Tidak, Kyai... "
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 2
oleh : Marzuki
Selanjutnya, pemuda dan kakek tadi melewati penjagaan pintu gerbang timur untuk selanjutnya menelusuri jalan yang membelah paduhan di luar kotaraja. Hanya berjalan kaki keduanya terus melanjutkan langkahnya, sembari salah seorang mencoba menanyakan sesuatu kepada pejalan kaki atau-pun penghuni padukuhan yang sedang dilewati.
Apa yang diperkirakan oleh Kilatmaya tidak salah sedikit-pun. Jejak yang ditinggalkan oleh kedua orang yang sebelumnya dicurigai, dapat diikuti dengan mudah. Terakhir keberadaannya, kedua orang yang ia ikuti menuju sebuah kedai kecil tak jauh dari tempatnya bertanya. Maka, Kilatmaya dan kakek yang bersamanya mencoba mendekati kedai kecil itu.
"Ha.. Mumpung ada penjual dawet, ayo berteduh di pohon talok itu, Anakmas." ajak kakek yang bersama Kilatmaya.
"Mari, Kyai." sambut Kilatmaya yang tiada lain Lurah Arya Dipa.
Sambil duduk di bangku yang disediakan penjual dawet, keduanya memesan dua gelas dawet sambil mengisi waktu luang, berbicara dengan penjual dawet. Juga, tak lengah pengamatan Kilatmaya dari pintu keluar kedai, yang terbuka dan terlihat adanya orang yang ia ikuti.
Cukup lama juga keduanya disitu, hingga akhirnya orang yang diikuti keluar dari kedai. Dua orang yang diikuti itu berlalu di jalan tepat di mana Kilatmaya dan kakek tua minum dawet. Namun kedua orang tadi tak sempat mengenali dan jalan sesukanya mengarah pertigaan timur padukuhan dan mengambil jalan ke kiri.
"Mari, Kyai.. " desis Kilatmaya sambil berdiri dan membayar dawet yang telah diminum.
Agar tidak diketahui orang - orang yang diikuti, Kilatmaya dan kakek tua berusaha menjaga jarak. Sehingga jarak dua iringin itu tidak terpaut jauh, apalagi sampai kehilangan jejak.
Tak terasa jalan yang awalnya ramai dilalui banyak orang, semakin lama semakin jarang. Jalan-pun semakin sempit dan hanya selebar gerobak saja. Juga jalanan semakin tidak rata dan ditumbuhi rumput liar, meskipun tidak terlalu tinggi. Hal itu menjadikan Kilatmaya dan kakek tua tadi, bertambah hati - hati.
Terik matahari tak terasa sudah semakin turun ke barat, membentuk bayang - bayang ke arah berubah haluan juga. Manakala memandang ke depan, dua orang berperawakan tinggi berkumis tebal dan berbadan kurus pendek turun dari jalan menapaki tanggul sawah yang ditanami hijaunya palawija. Tindakan itu membuat Kilatmaya dan kakek tua untuk menambah kewaspadaan. Dugaan demi dugaan terselip dalam pikiran harus terurai untung ruginya, untuk terus mengikuti tanpa harus berbenturan secara langsung.
"Sebaiknya kita berpencar, Anakmas.. " usul Kyai Jalasutro.
"Baik, Kyai. Aku akan turun di tunggul sebelah sana." sambut Kilatmaya, setuju.
Dari sisi berbeda keduanya mencoba mengikuti orang - orang yang mencurigakan, yang semakin lama tanggul sawah terlewati berganti tanah yang ditumbuhi semak belukar. Keadaan medan penuh samak belukar itulah, menjadikan Kilatmaya dan Kyai Jalasutro harus menyembunyikan keberadaannya berupa usaha menutup segala bunyi yang ditimbulkan, akibat gesekan antara anggota tubuh dengan daun atau-pun ranting. Sehingga orang yang diikuti tidak menyadari sama sekali kalau ada dua orang dibelakang mereka.
Cukup dalam juga orang berbadan tinggi berkumis tebal dan kawannya berjalan. Sudah lebih dari ratusan tombak keduanya menjauhi pinggiran pedukuhan di luar kotaraja. Tapi setelah adanya bunyi aliran air, keduanya mencoba mencarinya. Dan setelah ditelusuri, nampaklah sebuah anak sungai berair jernih, bahkan sangking jernihnya terlihat ikan - ikan berenang kian kemari saling kejar mengejar bersama kawannya. Pemandangan itu memancing keduanya semakin mendekat, meskipun jalan yang akan dilalui agak terjal.
Orang berperawakan pendek dan kurus duduk berjongkok seraya meraup air menggunakan kedua tanganya dan membasuhkan ke wajahnya. Tak mau ketinggalan, kawannya meniru membasuh wajahnya, juga meneguk air sungai yang jernih itu.
"Ah.. Segar sekali air ini." desis orang berbadan tinggi berkumis tebal.
Kawannya tertawa perlahan, "Hahaha.. Sama saja antara air sungai ini dan air Bengawan Sore."
"He.. Sambu, air Bengawan Sore menjadi amis setelah darah Pangeran Sekar menetesinya."
"Ah.. Itu hanya perasaanmu saja, Bajang. Bagiku semuanya sama, jika yang memerciki itu Trenggono atau-pun Bagus Mukmin."
Pembicaraan keduanya terus berlanjut dan tak menyadari kalau ada orang yang mendengarkan. Semakin lama jatidiri Sambu dan Bangah sedikit terungkap, dimana keduanya adalah utusan sebuah perguruan di telatah timur Bengawan Sore. Satu hal yang membuat Kyai Jalasutro terkejut, yaitu nama perguruan yang mengingatkan perguruan dimana kawannya adalah pimpinan dari perguruan itu.
"Ah.. " desuh Kyai Jalasutro, lalu katanya dalam hati, "Candra Bumi bukanlah sebuah perguruan yang mau mencampuri urusan keprajan."
"Ada apa, Kyai ?" tanya Kilatmaya yang mendengar desuh Kyai Jalasutro.
Kyai Jalasutro menoleh ke arah pemuda itu dan katanys, "Dua orang itu menyebut perguruan Cadra Bumi. Itulah yang membuatku sedikit sangsi, apakah keduanya benar - benar dari sana."
Kilatmaya masih belum mengerti alasan mengapa orang tua disampingnya menyangsikan asal - usul Sambu dan Bajang, yang jelas - jelas menyebutkan asal mereka. Namun ketika akan meminta penjelasan lebih lanjut, terlihat Sambu dan Bajang akan meninggalkan tepian sungai. Karenanya, untuk saat ini lebih baik tidak menanyakan alasan kesangsian Kyai Jalasutro. Suatu saat atau mungkin dalam perjalanan, Kyai Jalasutro akan memberitahu lebih jauh.
Yang paling utama untuk saat itu adalah terus mengikuti Sambu dan Bajang. Dari keduanya, tentu akan mendapatkan titik terang siapa mereka sebenarnya. Tidak menunggu lebih lama, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro kembali mengendap mengikuti Sambu dan Bajang. Aliran air sungai sudah tertinggal dan tidak terdengar lagi gemericiknya.
Mendekati keremangan ujung malam hari, Bajang dan Sambu memasuki regol padukuhan. Keduanya memasuki regol tersebut yang masih terbuka lebar dan gardu perondan masih kosong. Namun, satu dua orang masih terlihat lalu - lalang mengisi jalan padukuhan, dengan kepentingan masing - masing. Dan di kanan kiri kediaman penghuni padukuhan sudak nampak nyala penerangan dalam menyambut sang malam. Tidak terlalu jauh, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro juga memasuki regol padukuhan. Suasana yang semakin redup sangat membantu keduanya agak mempersingkat jarak antara mereka dengan kedua orang yang dicurigai.
Sepertinya malam itu orang yang mereka ikuti akan menginap di banjar padukuhan. Itu terbukti manakala Bajang dan Sambu membelok di jalan yang akan menuju sebuah bangunan yang berbeda dari bangunan lainnya. Sejenak keduanya berhenti tepat di depan regol. Dan saat itu dari dalam regol, seorang berjalan mendekatu keduanya dan menyapa dengan ramahnya.
"Bisa aku bantu, kisanak ?"
"Kisanak, kami berdua sedang dalam perjalanan dan kemalaman ketika melewati padukuhan ini. Karenanya, ijinkan barang satu malam untuk bermalam di banjar ini." pinta Sambu, yang mencoba ramah.
Sesaat orang yang keluar dari regol banjar itu mengamati dua pendatang itu. Ia harus hati - hati untuk mengijinkan orang lain yang akan memasuki banjar padukuhan yang ia jaganya. Ia tak ingin kecolongan sehingha akan mendapat dampratan dari ki Jagabaya atau ki Bekel padukuhun. Tetapi, setelah mengamati dan meyakini kalau keduanya tidak mencurigakan, orang itu mengijinkan dua pendatang itu menginap di banjar.
"Baiklah, kisanak berdua. Ayo aku antar di gandok kanan banjar." kata orang itu, sambil mengantar keduanya ke gandok kanan.
"Silahkan, beginilah keadaannya." orang itu mempersilahkan, setelah membuka pintu gandok kanan.
"Terima kasih, ki.. "
"Panut, panggil saja aku Panut." ucap ki Panut, memperkenalkan diri, "aku akan ke belakang, untuk mengambil beberapa potong Pohung."
Tanpa menunggu jawaban dari tamu banjar, ki Panut melangkah pergi. Tetapi baru saja menuruni tlundak balai banjar, dua sosok mendekati regol banjar. Hal itu membuat kening ki Panut, mengerut. Namun, tetap saja ia langkahkan kakinya untuk mendekati regol banjar. Setelah dekat, terlihatlah seorang pemuda dan kakek tua tersenyum ramah sembari mengangguk hormat.
"Selamat malam, kisanak. Apakah ini banjar padukuhan ini ?" tanya pemuda dengan halus.
"Benar, ngger. Ini memang banjar padukuhan, dan aku yang diserahi ki Jagabaya untuk mengurusnya." jawab ki Panut, dan katanya lebih lanjut, "Angger dan kisanak ini dari mana dan akan kemana ?"
Pemuda tersenyum, "Aku dan eyang ini dari Demak yang akan menyambangi kerabat di Jepara."
Ki Panut mengangguk.
"Tapi, hari sudah terlalu gelap untuk kami melanjutkan perjalanan. Oleh karenanya, jika kisanak berkenan, kami mohon menginap barang satu malam. Dan esok kami akan melanjutkan perjalanan yang tertunda."
Dari tutur kata dan penampilan kedua pendatang yang ke-dua ini, ki Panut tidak mendapatkan adanya kejanggalan untuk menolak dua orang itu. Maka seperti dua orang pertama, ki Panut juga menerima pemuda dan kakek itu menginap di banjar. Untuk itulah ia antarkan ke-duanya ke gandok kiri dan mempersilahkan mereka.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 3
oleh : Marzuki
Sampai terbitnya sang surya, tiada sesuatu yang terjadi. Banjar padukuhan yang mendapatkan dua iringan berbeda, tetap terasa seperti malam - malam biasanya. Bahkan ki Panut yang diserahi tugas untuk merawat serta menjaga banjar, sangatlah ramah dan baik hati. Pagi - pagi sekali ki Panut sudah menghidangkan wedang sere juga ketela rebus sisa tadi malam. Dua gandok yang terisi itupun, penghuninya menikmati hidangan untuk sarapan mereka.
Usai menyantap hidangan yang disediakan, tamu gandok sebelah kanan berniat meninggalkan balai banjar. Keduanya sudah berdiri dan melangkah keluar pintu gandok. Saat itulah dari arah jalan, terdengar derap seekor kuda yang membuat dua orang itu berdiri dan menatap lurus ke arah regol halaman banjar. Tak terlalu lama seekor kuda berwarna hitam legam muncul memasuki regol dengan ditunggangi oleh seorang lelaki tinggi tegap berdada bidang.
Adanya derap kuda yang memasuki halaman regol tidak hanya membuat Bajang dan Sambu saja yang merasa penasaran, tetapi ki Panut, juga Kilatmaya dan Kyai Jalasutro yang berada di gandok kanan mencoba mengetahui penungga kuda. Namun dari semua yang melihat, Bajang dan Sambu-lah yang terkesan adanya perubahan diraut wajah mereka. Nampaknya Bajang dan Sambu tercekat tak percaya kalau di halaman banjar itu ada lelaki yang sangat mereka kenali.
"Ba.. Jang, bukankah itu Raden Panji Tohjaya ?" desis Sambu.
Bajang yang ditanya hanya mengangguk tanpa menoleh. Seakan - akan dirinya terkena sesuatu yang tidak terlihat dari lelaki yang disebut oleh Sambu.
"Lebih baik kita lekas menyingkir darinya, Bajang." bisik Sambu, seraya menggamit kawannya itu untuk diajak pamit kepada ki Panut.
"Kalian sudah ingin meninggalkan banjar ini, kisanak ?" tanya ki Panut, saat tamunya akan pamit.
"Seperti yang aku katakan tadi malan, ki. Perjalanan yang jauh akan kami lanjutkan ketika fajar sudah merekah." sahut Sambu.
"Baiklah, selamat jalan." ucap ki Panut.
Maka, Bajang dan Sambu pergi dari balai banjar. Keduanya berjalan terus tanpa memperdulikan lelaki yang mereka kenal sebagai Panji Tohjaya. Sementara orang yang memang Panji Tohjaya, salah seorang Senopati Jipang Panolan tidak terlalu memperhatikan dua orang yang melewatinya.
Sepeninggal Bajang dan Sambu, Kilatmaya dan Kyai Jalasutro sebenarnya ingin cepat meninggalkan banjar padukuhan. Namun niat itu mereka urungkan manakala sebuah teguran halus menyapa Kilatmaya. Dan, tegur sapa itu berasal dari penunggang kuda yang baru saja memasuki regol halaman banjar.
"Selamat pagi, ki Lurah Arya Dipa.. "
Tentu saja teguran itu membuat Kilatmaya mengernyitkan alisnya. Bagaimana tidak ? Sungguh pemuda itu tidak mengenal orang yang menyapanya, dan baru hari itu ia bertemu dengan lelaki itu. Namun, sebelum ia bertanya lebih jauh, orang itu mendekat dan memperkenalkan diri.
"Ki Lurah Arya Dipa, perkenalkan aku Panji Tohjaya dari Jipang." kata ki Panji Tohjaya, yang melihat kesan kebingungan dari wajah Lurah Wira Tamtama.
"Maafkanlah jika aku mengejutkanmu, ki Lurah. Sudah lama sebenarnya aku mengenalmu. Yaitu saat aku ditugaskan dalam menyelidiki kematian Kakangmas Adipati Sekar, dimana aku harus menyelinap ke Ksatrian Demak. Saat itulah aku melihat kalau kau bertugas menjadi pengawal Raden Bagus Mukmin." kata ki Panji Tohjaya, lebih lanjut.
Kilatmaya masih terdiam, sedangkan Kyai Jalasutro tidak mengerti arah pembicaraan dari ki Panji Tohjaya. Apalagi ki Panut, orang tua itu bingung tak karuan.
"Hm... " desuh ki Panji Tohjaya, "Tetapi penyelidikanku yang seharusnya dapat menjernihkan kesalahpahaman keluarga keraton, malah ditepis mentah - mentah oleh orang - orang yang mengharapkan kehancuran anak cucu Sultan Patah."
Kata yang terlontar terakhir berupa kekecawaan itu memancing rasa penasaran Kilatmaya. Karenanya pemuda itu mencoba menggali lebih dalam siapa dan apa maksud kedatangan orang yang mengaku Panji dari Jipang itu. Tentunya rasa waspada tidak pudar dengan cepat dari Kilatmaya. Karena bagaimana-pun segala sesuatu dapat saja terjadi. Namun ada sebuah ganjalan dalam hatinya, yaitu mengenai Bajang dan Sambu yang merupakan tali penghubung untuk mengorek siapa susungguhnya pimpinan dan niat mereka.
Sebagai seorang yang lebih tua dan sudah kenyang pengalaman hidupnya, Kyai Jalasutro dapat menyelami isi hati pemuda disampingnya. Karenanya orang tua itu berbisik perlahan.
"Anakmas tak perlu kawatir memikirkan dua orang tadi. Setelah Anakmas berbicara dengan kisanak ini, selekasnya kita langsung ke padepokan Candra Bumi. Jalan dan tempatnya aku masih dapat mengingatnya."
Kilatmaya bernapas lega, "Terima kasih, Kyai. Bila tiada Kyai bersamaku, mungkin perjalananku akan menjadi lama."
Kyai Jalasutro tersenyum.
Kemudian Kilatmaya meminta waktu barang sejenak kepada ki Panut untuk diam di banjar guna berbicara dengan ki Panji Tohjaya. Syukurlah ki Panut memperbolehkan bagi ketiganya untuk tinggal barang sejenak di pringgitan balai banjar. Bahkan orang tua itu kembali menyuguhkan wedang sere beserta ketela rebus.
"Maaf merepotkan, ki Panut." ucap Kilatmaya.
"Hehehe... Tidak mengapa, ki Lurah." sahut ki Panut, yang sudah mengetahui kalau tamunya seorang prajurit Demak.
Sepeninggal ki Panut, ki Panji Tohjaya memperkenalkan dirinya lebih terperinci. Semua itu ia katakan dengan benar karena sudah mengetahui sikap perilaku ki Lurah Arya Dipa, tentunya setelah melakukan penyelidikan berbulan - bulan terhadap pemuda itu. Selain itu juga adanya dorongan dari rasa kekecewaannya sejak hasil penyelidikannya yang ia sampaikan kepada Nayaka Jipang ditepis, dan seakan - akan tidak dianggap oleh sebagian Nayaka Jipang.
Ki Lurah Arya Dipa mengangguk dan kadangkala mengerutkan keningnya mendengarkan penuturan ki Panji Tohjaya. Dirinya satu pikiran dengan ki Panji Tohjaya kalau otak pembunuhan Pangeran Sekar bukanlah Adipati Anom Bagus Mukmin.
"Begitulah, ki Lurah. Meskipun selama ini aku tak dapat mengoyak kabut tebal kematian Kakangmas Adipati Sekar yang sesungguhnya, aku merasakan adanya tangan yang ingin memutus tali dampar kencono Jawa dari trah Glagahwangi." desis ki Panji Tohjaya.
"Ki Panji, bukankah Jipang mempunyai seorang patih yang bijaksana ?" tiba - tiba Kyai Jalasutro menyela.
Namun, ki Panji Tohjaya malah menghela napas, seakan ingin mengurangi beban di dadanya.
"Ada apa, ki Panji ?" Lurah Arya Dipa bertanya.
Sejenak ki Panji Tohjaya menatap jauh ke masa lampau, meskipun hal itu tidak akan kembali terulang, dan hanya menyisakan kenangan semata.
"Benar, Kyai." kata itu terasa berat, "Patih Mentahun memang seorang yang bijaksana dan baik, dia merupakan kakak seperguruanku."
"He... " Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro sedikit tercekat.
"Entah mengapa sikapnya telah berubah dan cenderung berlaku tidak semestinya." keluh ki Panji Tohjaya.
Pembicaraan itu berlangsung cukup lama, hingga tak terasa hari semakin terang dimana mentari terasa terik sinarnya. Dalam waktu itu juga Lurah Arya Dipa menyempatkan menelisik sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan pasukan khusus Jipang, kepada ki Panji Tohjaya. Lurah Arya Dipa berharap dapat mendapat keterangan terperinci dari senopati Jipang Panolan itu.
"Ki Panji, jika boleh tau, adakah kesatuan khusus yang akhir - akhir ini terbentuk di Kadipaten Jipang Panolan ?" tanya Lurah Arya Dipa.
"Mungkinkah yang ki Lurah maksud ialah kesatuan pangatus Yuda Murda ?"
"Yuda Murda... " ulang Lurah Arya Dipa.
"Benar, ki Lurah." tegas ki Panji Tohjaya, seraya melanjutkan, "Yuda Murda adalah kesatuan yang dibentuk oleh Raden Arya Mataram adik Anakmas Adipati Arya Penangsang. Kesatuan ini terdiri dari seratus prajurit yang dipilih sendiri oleh Anakmas Raden Arya Mataram."
Sejenak ki Panji Tohjaya berhenti karena meneguk wedang sere. Seusai itu barulah ia melanjutkan perkataannya.
"Perlu ki Lurah ketahui, kesatuan Yuda Murda adalah kesatuan yang bertindak disegala medan dan keadaan tak menentu. Dan kesatuan ini tak memiliki ciri khusus layaknya Wira Manggala atau Wira Braja. Satu lagi, kemampuan mereka dua kali lipat diatas prajurit biasa."
"Maksud ki Panji setara dengan pasukan pengawal Kanjeng Sultan ?" tanya Lurah Arya Dipa.
"Bisa dikatakan begitu, ki Lurah." jawab ki Panji Tohjaya.
Mendengar keterangan seperti itu, Lurah Arya Dipa tanpa sadar menoleh Kyai Jalasutro, yang sejak tadi hanya mendengarkan apa yang menjadi pembicaraan. Tetapi orang tua itu hanya menunggu sikap yang diambil ki Lurah Arya Dipa, sebagai orang yang bertugas secara langsung sebagai prajurit Demak.
Bagi ki Lurah Arya Dipa, pembentukan kesatuan prajurit di Jipang sudah dianggap sebagai kesalahan. Karena, sudah sangat jelas bagi tata praja dimana ketentuan pembentukan sebuah kesatuan harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Demak. Ini jika dibiarkan berlarut - larut, paugeran tata praja akan mudah dibuat sesuka hati penguasa setempat, dalam masalah ini adalah kadipaten Jipang.
"Bila ada pembentukan kesatuan itu, mengapa pihak Jipang tidak memberikan laporan, ki Panji ?"
"He... Ah, laporan itu sudah disampaikan saat kunjungan ki Tumenggung Prabasemi, ki Lurah.."
Ki Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Gelar tumenggung yang baru saja disebutkan masih terasa terngiang di telinga lurah muda itu. Perjumpaan pertama ialah saat di lembah Telomoyo, ketika pasukan Demak akan menyerang tanah perdikan Banyubiru. Lalu pertemuan kedua bertepatan adanya kesalahpahaman di bukit Prawoto, dimana putra ki Ageng Gajah Sora membuat rusuh perburuan Kanjeng Sultan Trenggono.
"Ki Tumenggung Prabasemi lagi... " desis ki Lurah Arya Dipa, dalam hati.
"Baiklah, ki Panji. Bila aku kembali ke Demak, semua yang aku ketahui dari ki Panji, akan aku sampaikan kepada gusti Adipati Anom." kata ki Lurah Arya Dipa, "Lalu, kalau boleh tahu, akan kemana-kah selanjutnya kau, ki Panji ?"
"Seperti yang aku bilang sejak awal. Kematian Kakangmas Adipati Sekar masih mengganjal dalam hatiku. Jipang yang lebih condong mempersalahkan pihak Adipati Anom, membuatku harus menempuh jalan sendiri, yaitu mencari otak dari pembunuhan itu." kata ki Panji Tohjaya, "Ada kemungkinan kalau tangan - tangan mereka berada di Jipang dan Demak."
Ki Lurah Arya Dipa dapat mengerti suasana hati yang diderita oleh ki Panji Tohjaya. Dan salah seorang yang ia curigai adalah seorang tumenggung dari Demak itu sendiri, yaitu Tumenggung Prabasemi, seorang tumenggung yang mempunyai sikap tidak bisa diduga sama sekali.
"Ah.. Sinar surya sudah semakin terik, ki Lurah. Bila kau ingin melanjutkan tugasmu, silahkan. Aku-pun juga lekas meninggalkan padukuhan ini." kata ki Panji Tohjaya.
Maka pamitlah ki Panji Tohjaya kepada ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro. Derap kuda-pun terdengar meninggalkan regol halaman banjar, ke arah utara. Semakin lama semakin reda tak terdengar lagi, menyisakan debu dibelakangnya.
Sepeninggal kepergian ki Panji Tohjaya, kini giliran ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro berpamitan kepada ki Panut. Tak lupa keduanya mengucapkan banyak terima kasih terhadap kebaikan ki Panut, yang sudah memperlakukan dengan sangat baik, selama di banjar padukuhan.
Arah yang diambil oleh keduanya segaris lurus dengan jalan yang diambil oleh murid - murid padepokan Candra Bumi dan juga ki Panji Tohjaya, yaitu jalan ke arah utara.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 4
oleh : Marzuki
Bunyi denting beradunya senjata terdengar begitu cepat. Tanah lapang yang ditumbuhi rumput pendek setinggi kurang dari mata kaki itu, berubah hiruk pikuk karena adanya lima orang mengeroyok seorang lelaki. Sehingga menjadikan lelaki itu harus berhati - hati dalam menentukan sikap tata geraknya, untuk menghalau datangnya serangan.
Dua pedang dari dua orang pengeroyok melaju kencang dari dua sisi berbeda. Ditambah lagi seorang pengeroyok yang bersenjatakan nanggala, sudah menanti dibelakang lawannya. Sementara dua pengeroyok tersisa berdiri dua - tiga langkah sambil mengayun - ayunkan senjata mereka.
Menyikapi tindakan yang dilakukan oleh para pengeroyoknya, lelaki tersebut tidaklah menunjukan rasa jerih barang sedikit. Malah, tombak pendeknya semakin tergenggam erat ditangan kanannya dan bergerak dahsyat tak terduga. Yaitu, menangkis serangan pertama pedang sisi kanan, lalu sambil menggeser kakinya, tangan kirinya menyentuh pergelangan tangan lawan satunya yang mengakibatkan pedang orang itu terlepas. Lalu barulah menghadapi seseorang bersenjatakan nanggala dibelakangnya, berupa loncatan kecil sambil menghentakan tebasan keras ke arah lawan.
Sungguh mengagumkan orang itu. Hentakan tadi dapat mencelatkan nanggala dari pemiliknya. Juga disusul tendangan keras ke dada lawan, hingga lawannya terjungkal keras menubruk pohon.
"Kurang ajar.... !!!" geram kawan orang yang jatuh terkapar, seraya meloncat menebaskan kampaknya.
Kampak ditangan orang berbadan tinggi besar layaknya raksasa, menderu tajam membelah udara. Karenanya lawannya harus bersikap lebih berhati - hati dalam menghadapinya. Belum lagi, masih ada tiga kawannya yang sepertinya akan ikut menyerang.
Sebenarnya siapa mereka ini yang saling berkelahi di tanah lapang ?
Beginilah awalnya. Setelah ki Panji Tohjaya meninggalkan banjar padukuhan, ia memacu kudanya ke arah utara. Kira - kira sepuluh tombak, kudanya dibelokan menuruti tikungan ke kiri. Dan terlihatlah ujung regol padukuhan, menandakan jalan keluar dari padukuhan yang kemudian tergantikan hamparan sawah.
Jalan yang sepi memancing ki Panji Tohjaya untuk memacu kuda lebih cepat dari sebelumnya. Lari kudanya begitu pesat meninggalkan debu dibelakangnya. Dan puluhan tombak dilalui dan kini tiba ditanah lapang.
Saat itulah dari sisi berbeda muncul orang - orang yang mengumbar derai tawa. Hal itu membuat ki Panji Tohjaya mengerutkan keningnya labih dalam. Karena tak mengerti sebab dari orang - orang itu tertawa kencang. Namun, kewaspadaan seketika menggelayuti hatinya, demi adanya perasaan yang tidak baik melintas dibenaknya.
"Hoho.. Ini dia penghianat Jipang !" seru orang berbadan tinggi besar, dipinggangnya terselip kampak.
"Benar, kakang. Kepalanya lumayan digantikan puluhan kepeng." sahut kawannya.
Di atas kuda, ki Panji Tohjaya menghela napas. Sedikit banyak dirinya tahu kalau yang dihadapinya adalah orang - orang upahan seseorang yang menginginkan dirinya lenyap dari percaturan pemerintahan Jipang Panolan. Meskipun dirinya sendiri sangat jarang berada di pura Jipang. Namun, dihadapannya maut mengancam dirinya, sehingga mau tidak mau kekerasan sepertinya tidak dapat dielakan lagi. Dan selanjutnya terjadilah perkelahian di tanah lapang antara ki Panji Tohjaya dan lima orang penghadang.
Dan saat ini kampak seorang yang sepertinya adalah pemimpin kelompok penghadang, menebas kepala ki Panji Tohjaya dengan sebatnya. Tetapi si-empunya kepala tak mau membiarkan lepas dari batang leher, maka berusaha menghindar ke belakang, akan tetapi si pemimpin penghadang tidak membiarkan mangsanya lepas dengan mudah. Pemimpin penghadang langsung membelokan kampaknya mengarah pundak lawan.
"Triiing.....!"
Mata tombak ki Panji Tohjaya masih mampu menahan laju daripada kampak lawan, serta sedikit perubahan gerak dari tombak yang awalnya untuk bertahan, berubah haluan menyerang berupa tusukan langsung.
"Haiit... !" desis pemimpin penghadang yang hampir saja bahunya tertusuk mata tombak.
Terancamnya pemimpin penghadang, membuat anak buahnya ikut membantu lagi. Dua pengguna pedang ditambah seorang yang memakai rantai berbandul sebagai senjata andalannya. Ketiganya sepertinya akan bekerja sama satu dengan lainnya. Itu terbukti saat tata gerak ketiganya sangat serasi dan condong dapat menutupi kelemahan kawannya.
"Bagus, Gento. Pimpin kawanmu melumatkan Tohjaya !" seru pemimpinnya.
Orang berjuluk Gento hanya mengangguk tanpa berpaling. Dia dan kawannya terus mengintari lawannya sambil memutar rantai berujung bandul bola berduri. Dan dibarengi teriakan keras, ketiganya mulai bergerak secara bersamaan, yaitu menyerang lawannya.
Sungguh mengejutkan tindakan dari Gento dan kedua kawannya. Serangan serentak dari sudut dan sasaran berbeda, juga cepat dan mematikan, akan membuat lawan bingung dan kalut tentunya. Tetapi betapa bingungnya ketiga orang itu yang mendapati lawannya sirna tak tampak sama sekali.
Sementara pemimpin penghadang terperangah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Orang yang ia kira akan lumat tubuhnya, tiba - tiba lenyap tak terbekas sama sekali. Sadarlah ia mengenai seorang yang ia incar selama ini adalah salah seorang murid dari padepokan Sekar Jagat di gunung Lawu, adik seperguruan Patih Mentahun.
Rupanya ki Panji Tohjaya telah mengungkap ilmu yang ia pelajari dari paman gurunya ki Wijang Pawagal, yaitu Alang - Alang Kumitir. Itu baru sekelumit ilmu yang bersumber di padepokan Sekar Jagat dan hanya tiga - empat orang saja yang mampu menerapkan, dan salah satunya ki Panji Tohjaya. Karenanya, tak dapat dipungkiri jika para penghadang yang memiliki ilmu kanuragan sebatas kekuatan kewadagan, gampang terperdaya.
Tubuh ki Panji Tohjaya sehabis terelakan oleh serangan Gento dan kedua kawannya, tahu - tahu sudah di belakang pemimpin penghadang seraya melekatkan mata tombak kyai Giri di tengkuk orang itu. Tentu saja tindakan ki Panji membuat tubuh pemimpin penghadang bergemetaran, terkejut bercampur rasa jerih.
"A.. ampuni aku, tu.. tuan.. " pemimpin penghadang itu merengek minta ampunan, sementara anak buahnya bingung.
"Sangat mudah aku mengampunimu, kisanak." sahut ki Panji Tohjaya, "Asal saja kau mau berbicara mengenai orang yang mengupahmu."
Mulut pemimpin penghadang itu kelu. Sebenarnya sangat mudah dalam menyebutkan orang yang menyuruhnya. Tetapi, dahulu waktu ia menerima perintah, ia sudah berjanji tak akan angkat bicara walau nyawanya melayang. Namun, keadaan yang ia hadapi saat ini juga akan mengancam nyawanya, jika ia terus berdiam. Akibatnya peluh mulai menyeruak membasahi wajah dan tubuhnya, apalagi mata tombak semakin menyakitkan di tengkuknya.
"Ah.. Sepertinya kesetiaanmu terbayarkan oleh nyawa dalah wadagmu, Kisanak." desis ki Panji Tohjaya, disertai menekan tengkuk lawan menggunakan tombak pendeknya.
"Ba.. Baik, tuan. Aku akan angkat bicara.. " suara pemimpin penghadang agak gemetar.
"Jangan, kakang !" seru Gento.
Seruan Gento tak digubris oleh pemimpinnya. Bibir orang itu sebentar lagi mulai bergerak, namun sesuatu yang mendebarkan telah terjadi. Suara jerit kesakitan menggema membelah udara tanah lapang. Suara yang berasal dari mulut pemimpin penghadang itulah gema tadi, juga adanya pisau belati menancap di keningnya dan membuat orang itu jatuh tertelungkup.
Kejadian itu membuat ki Panji Tohjaya kaget, namun belum selesai rasa kagetnya, teriakan demi teriakan terulang susul - menyusul. Tiga tubuh para penghadang rubuh dengan luka sama antara yang satu dan lainnya, yaitu semuanya terluka di kening akibat lemparan pisau belati.
"Pengecut.... !" teriak ki Panji Tohjaya, sembari mengeliarkan pandangannya menyapu seluruh tempat. Namun tak ada balasan.
Walau masih tidak ada pergerakan yang mencurigakan, ki Panji Tohjaya tetap waspada. Tombak pendek Kyai Giri pemberian ki Wijang Pawagal semakin erat tergenggam menyilang di depan dada. Matanya setajam raja rimba terus mengamati pohon ataupun semak belukar dekat tanah lapang, yang berjarak agak jauh. Ditunggu - tunggu, masih tiada sesuatu yang mencurigakan.
"Siapa gerangan penyerang gelap tadi ?" batin ki Panji Tohjaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 5
oleh : Marzuki
Sehabis melempar pisau belati berturut - turut, orang itu bergegas beranjak dari tempat menyelinapnya meninggalkan rindangnya pohon juwet, dan mendekati tanah lapang. Jalannya sangat tenang seolah tiada sesuatu yang terjadi dan merasa tak bersalah terhadap empat nyawa yang terkapar di tanah lapang. Seringai mulutnya bagai anjing liar terangkum jelas seakan puas menikmati sisa - sisa bangkai mangsa yang habis digerogoti tinggal tulang belulang, tak perduli dengan keadaan disekitar, padahal di situ berdiri sang raja rimba.
Dialah Soca Welirang, lelaki beringas dan keji, pembunuh berdarah dingin tak memandang mangsanya lelaki atau perempuan, dewasa atau kecil, kawula alit atau orang ningrat, golongan hitam atau putih, semuanya dia babat sesuai orang yang memerintahkan. Maka tak heran jika namanya mencuat menggegerkan tanah Jawa bagian tengah dan wetan. Bahkan orang ini merupakan buronan kesultanan Demak dan beberapa kadipaten. Tetapi karena kedigdayaan dan berbagai ilmu yang ia miliki, selama ini ia dapat melenggang bebas menjelajahi rimba dan padukuhan.
Kedatangan Soca Welirang di tanah lapang itu menjadikan ki Panji Tohjaya semakin meyakini kalau dirinya adalah sasaran utama pihak tertentu, yang mengharapkan meruncingnya hubungan kadipaten Jipang Panolan dan Demak. Sejenak ki Panji Tohjaya meregangkan kelopak matanya lebih lebar manakala melihat adanya lambang bulan sabit dalam lingkaran, menandakan lambang perguruan Candra Bumi di telatah Jipang.
"Pusaka itu... " desis ki Panji Tohjaya.
Desis lirih itu terdengar oleh ki Soca Welirang, yang menanggapi dengan mempermainkan senjata di tangannya. Seolah memamerkan pusaka yang sepertinya dikenali oleh ki Panji Tohjaya. Kemudian ki Soca Welirang tertawa datar sembari berkata.
"Orang yang memiliki senjata ini lumayan tangguh hingga membuat keringatku terperas. Namun, aji yang bersumber dari Candra Bumi tak dapat sejajar dengan kerasnya kehidupan gunung Welirang."
"Atau mungkin karena umurnya semakin tua, tulang - tulangnya menjadi keropos ? Hahaha.. Nasibnya memang na'as. Muridnya durhaka dan memintaku membungkamnya selamanya." sambung ki Soca Welirang.
"Hm... Lalu apa maksud Kisanak yang ringan tangan dan membunuh mereka ?" tanya ki Panji Tohjaya.
"Cecurut tak tahu diri. Setelah mendapat seikat kepeng malah ingin berkhianat. Jadi pantaslah jika mereka terkapar.. " sahut ki Soca Welirang seraya tertawa.
"Kau salah, Kisanak. Tidak seharusnya nyawa seseorang dengan mudah dan enteng kau binasakan. Betapa beratnya tanggung jawab kelak yang kau hadapi dihadapan Sang Pencipta." sanggah ki Panji Tohjaya.
Telinga ki Soca Welirang cukup tebal mendapatkan nasehat dari ki Panji Tohjaya, ia hanya menanggapi dengan gelak tawa saja. Bagi pembunuh berdarah dingin ini, nasehat - nasehat yang memperingatkan pertanggung-jawaban di alam langgeng sudah sekian kali ia dengar dari mangsa atau korbannya. Dan semuanya berakhir sia - sia kecuali terenggutnya nyawa para orang - orang yang memperingatkan ki Soca Welirang.
"Hahaha... Dari sekian murid Sekar Jagat yang aku temui, kau-lah satu - satunya yang berbeda, Tohjaya. Mulutmu masih dapat menyebut ucapan - ucapan anak polos. Lain halnya dengan saudara - saudara seperguruanmu yang terpikat kemilaunya gemerlap harta dan jabatan." kata ki Soca Welirang, bergemuruh.
"Bicara apa kau ini ?"
"Hahaha... Kura - kura dalam perahu. Mulutmu bisa berkata menyangkal, tetapi aku yakin jika hatimu berucap lain jika menilai saudara - saudara seperguruanmu." ki Soca Welirang bergegas berkata lebih lanjut, "Patih Mentahun, Haryo Kumara dan Haryo Sardulo, semakin hari menunjukan biangnya... "
"Cukup... !!" teriak ki Panji Tohjaya.
Tetapi ki Soca Welirang tetap melanjutkan perkataannya, "Dari lima macan, terpaksa dua macan muda harus dibinasakan agar tidak mencakar macan - macan tua. Ah... Senopati andalan Jipang harus meregangkan nyawa karena keserakahan saudara tuanya."
Sebenarnya ki Panji Tohjaya sudah menduga kalau salah seorang saudara seperguruannya adalah orang dibalik kejadian ini. Tetapi saat disebutkan tiga macan tua, ki Panji Tohjaya agak bimbang. Mungkinkah saudara tertua perguruannya juga terlibat ? Meskipun akhir - akhir ini orang yang ia segani itu mulai berubah tindak tanduknya, tetap saja ia ragu - ragu untuk menilainya.
"He, Tohjaya ! Susulah kakak seperguruanmu, ke alam kubur !" tiba - tiba ki Soca Welirang berteriak sembari menjulurkan senjata rampasan.
Terbeliak mata ki Panji Tohjaya, dikarenakan mendengar kalau ia harus menyusul saudaranya ke alam kubur. Berarti salah satu saudaranya sudah dikalahkan ki Soca Welirang. Tetapi siapa ? Ah, teringatlah kata dua macan muda yang harus dibinasakan. Itu berarti dirinya dan....
Tak sanggup ki Panji Tohjaya berangan - angan. Lebih baik ia bergegas melayani sergapan lawan yang bukan sembarang lawan. Untunglah ki Panji Tohjaya sempat bertemu dengan paman gurunya, ki Wijang Pawagal dan mendapat tuntunan lebih mantab bersumber ilmu tingkat tertinggi perguruan Sekar Jagat, dan juga mewarisi salah satu pusaka perguruan yaitu tombak pendek Kyai Giri.
Menggunakan Kyai Giri sebagai piranti memapaki serangan yang diluncurkan oleh ki Soca Welirang, ki Panji Tohjaya dapat mementahkan benturan senjata yang sebenarnya hanyalah tindakan penjajagan dari lawannya. Selanjutnya benturan demi benturan sering bersinggungan menggetarkan udara sekitar tanah lapang. Ilmu keduanya sangat mendebarkan terlukis dari tata gerak juga olah senjata, bagai se-ekor macan melawan kerasnya banteng. Menimbulkan derak tanah, kesiur angin tajam, terkoyaknya udara mengakibatkan rumput rusak parah.
Semakin lama tataran terus meningkat bertambah hebat dan menyeruakan tata gerak rumit penuh tipuan dan kembangan yang sebenarnya mengancam dan mematikan bagi siapa yang lengah. Hanyalah kewaspadaan, ketelitian dan keuletan menyatu bercampur dengan ketangkasan olah pikir, olah rasa dan olah bantin yang kuat-lah akan menjadi pemenang, walau menang di sini tidaklah menang sejati.
Kala itu gada di tangan ki Soca Welirang mengayun keras ke arah kepala ki Panji Tohjaya, hanya saja ki Panji Tohjaya sangat sigap memiringkan kepala, sehingga gada ki Soca Welirang tidak mengenai kepala ki Panji Tohjaya. Kenyataan itu cepat ditanggapi ki Soca Welirang dengan membelokan gadanya mengejar tubuh ki Panji Tohjaya, akan tetapi murid perguruan Sekar Jaga tidak tinggal diam, maka bergegas merendah sembari menusukan tombak pendeknya.
Hebat benar ki Soca Welirang. Tusukan lawan berhasil dihindari seraya melempar tubuhnya menyamping sembari menggemplangkan gadanya ke kepala lawan. Sekali lagi gadanya menumbuk udara kosong, dan bahkan ia harus melenting karena adanya serangan balasan. Menjadikan perkelahian itu seru dan sengit saling serang menyerang menggunakan jenis senjata yang berbeda. Dari mulai munusuk, memukul dan menyodok disertai tenaga dahsyat.
Bertambahnya sang waktu mulai adanya pergeseran nyata tataran yang semakin memuncak mendekati tenaga cadangan, menimbulkan getaran - getaran tajam di sekeliling tubuh keduanya. Udara dibuat bergelora terasa hangat dan lama kelamaan memanas, seiring menguaknya ilmu simpanan yang siap saling dibenturkan. Dari ki Panji Tohjaya, aji Brajadaka manjing dari dalam tubuhnya, sementara lawannya juga mengungkap salah satu ilmu andalannya juga yang bersumber kekuatan panas. Beradu dua ilmu berbeda dalam penyebutan tetapi sebenarnya memiliki kesamaan dari inti sumbernya, menjadikan perkelahian semakin sengit dan seru.
Upaya - upaya mengenai tubuh lawan berbentuk pukulan berlambarkan aji Bajradaka di tangan ki Panji Tohjaya dan aji Tapak Geni di tangan ki Soca Welirang, berjalan alot dan terkesan sulit bagi masing - masing pihak. Itu semua karena adanya bekal dan pengalaman dari keduanya yang cukup untuk mempertahankan anggota tubuh mereka dari cengkeraman ganasnya api. Namun lambat laun, salah seorang terperdaya dalam kelengahan dan harus terbayar oleh ganasnya ilmu lawan.
"Bangsat.... !" teriak ki Soca Welirang, saat pundaknya terhantam pukulan lawan.
Pundak orang itu bagai keselomot bara api, bahkan kain pakaiannya berlubang sebesar kepalan tangan. Meskipun begitu, ki Soca Weliran memiliki daya tahan tubub yang bagus. Tidak terlalu lama sakitnya berangsur hilang dan hanya meninggalkan bekas semata. Dirinya tidak tinggal diam dan untuk mendukung tekadnya, ilmunya semakin ia tingkatkan. Kakinya bagai tergantikan pegas membuat orang itu mudah melenting jauh ke depan, seraya menyongsongkan gada rampasan dari perguruan Candra Bumi.
"Byaaar.... "
Gada itu menumbuk tanah dan membuat tanah berlubang besar. Bisa dibayangkan jikalau gada tadi mengenai ki Panji Tohjaya, yang tubuhnya terdiri dari tulang berbalut daging dan darah, tentu akan lumat bila dipikir secara nalar.
Geleng - geleng kepala ki Panji Tohjaya melihat keampuhan gada berwarna kuning kehitaman itu. Patut diwaspadai jika pusaka ampuh tergenggam ditanggan seorang ki Soca Welirang yang memiliki tenaga dahsyat. Lantas upaya dari ki Panji Tohjaya ialah ikut meningkatkan ilmunya, dan tadu sewaktu melihat adanya gempuran gada, ki Panji Tohjaya telah mengungkap aji Alang - Alang Kumitir dan berhasil nenyelamatkan dirinya.
Sementara itu, dalam diri ki Soca Welirang, timbul rasa kesal terhadap lawan satu ini. Ia tidak menyangka kalau lawannya masih dapat melayaninya sejauh ini. Padahal dirinya mampu mengalahkan Senopati Rakai Wekar, kakak seperguruan ki Panji Tohjaya dengan mudah melalui aji Tapak Geni yang tersalurkan ke gadanya. Dia tidak mengira kalau selama ini lawannya mendapat gemblengan secara langsung oleh ki Wijang Pawagal, murid tertua Panembahan Sekar Jagat Sepuh dan kakak seperguruan ki Danurpati atau Panembahan Sekar Jagat Anom guru ki Panji Tohjaya.
"Setan mana yang manjing dalam tubuh macan muda ini ?" batin ki Soca Welirang, sambil memusatkan nalar budinya.
Licik, kejam dan tak terikat paugeran adalah ciri yang dimiliki ki Soca Welirang. Maka tak heran jika serangan gelap akan ia lakukan untuk meraih kemenangan. Kali ini ilmu hitam ia gunakan dengan sembunyi - sembunyi. Tiada tanda - tanda mengisyaratkan kalau orang ini memiliki ilmu dan akan mempergunakannya di tanah lapang ini.
"Mati kau.... !" desisnya dalam hati.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 6
oleh : Marzuki
Rajah Kala Pati adalah sebuah ilmu berasal dari penyembahan bathara Kala putra bathara Guru dan bathari Durga, salah satu bathara penuh angkara murka. Ilmu ini menurut penuturan kuno tersirat di sebuah batu arca berbentuk kepala empat dan tangan juga empat yang ditemukan oleh Wiku kerajaan Wengker, pada jaman Mataram kuno pemerintahan Maharaja Empu Sendok.
Waktu itu setelah sang Wiku mempelajarinya dan mencerna inti sari dari guratan di dasar arca, sangat terkejut dengan apa yang ditimbulkan akibat merapal aksara kawi. Badannya gemetar menggigil kedinginan bagai terendam air telaga di puncak Wilis, tetapi sekejap kemudian hawa panas yang amat sangat menyeruak keluar menjadikan sang Wiku menderita bukan kepalang, dan perubahan kembali terjadi dimana hawa dingin menghampiri sang Wiku dan dilanjutkan hawa panas terulang lagi berkali - kali. Baru terakhir kemudian keadaan sang Wiku kembali seperti sediakala, malah terasa sejuk menjalari tubuhnya.
Dicobanya untuk melangkahkan kaki. Kejadian tak terduga membuat sang Wiku terpana tatkala merasakan adanya getar merambat turun menjalar ke dalam tanah dan mengarah ke gundukan batu padas.
"Byaaar..... !"
Gundukan batu ambyar menyisakan debu hitam kelam. Terperanjatlah sang Wiku demi menyaksikan akibat dari tenaga dahsyat yang menyeruak dari dirinya. Ia tidak menyangka kalau hasil dari merapal aksara kawi, merubah dirinya seperti itu. Namun untuk menambah keyakinannya sang Wiku mencoba merapal aksara kawi, kali ini tiada perubahan yang membuat tubuhnya menderita, lalu ia hujamkan kakinya ke tanah seraya memusatkan arah sasaran yang ia kehendaki, yaitu sebuah pohon Gayam sebesar paha orang dewasa.
"Byaaar... !"
Nasib sial dialami oleh pohon Gayam, dimana sebuah kekuatan dahsyat menggrogoti batang, cabang, ranting dan daunya berubah layu menghitam legam dan hangus. Bisa dibayangkan jika tenaga itu ditimpakan kepada mahkluk hidup lainnya, sungguh tak terbayang apa yang terjadi. Bahkan sang Wiku sendiri ngeri apabila membayangkan. Ilmu itu seperti menyebarkan racun mematikan jika yang dikenai adalah mahkluk hidup.
Sebagai seorang Wiku yang selalu mendekatkan diri kepada Hyang Suci, pikiran dan hati jernih telah mendorongnya untuk menghilangkan ilmu itu. Hati kecilnya mantab untuk menggolongkan ilmu itu sebagai ilmu yang tak seharusnya dipelajari oleh manusia, karena akibat yang ditimbulkan sangatlah parah berupa kematian tentunya. Maka untuk itu ia mencoba menghapus pancaran ilmu tersebut dari dalam pikiran, hati dan wadahnya. Akan tetapi baru saja ia memulai, tiba - tiba langit berubah gelap, sang surya terbenam oleh gerombolan awan hitam, dan guntur terdengar membahana memekakan gendang telinga.
Patung arca yang semenjak awal diam tak bergerak, mendadak matanya bersinar memancarkan warna merah menggidikan bulu kuduk. Batu yang semestinya tidak memiliki nyawa, bangkit berdiri tegak dan menghadap ke arah sang Wiku. Dari salah satu wajah, tersungging senyum yang sekejap kemudian berubah seringai mengerikan, lalu menggeram bagai sang raja hutan belantara.
"Kau tak akan mampu menghapus ilmu yang sudah kau pelajari itu, manusia. Ilmu itu lain dari yang lain seperti yang pernah kau hapus. Karenanya jika kau ingin menghapusnya, kau harus mencari seorang lelaki untuk menyembahku. Setelah itu baru kau akan bebas dari cengkraman ilmu itu di dalam tubuhmu !"
Habis berkata begitu, langit kembali seperti sediakala dan patung bathara Kala duduk seperti semula, layaknya patung pada umumnya.
Dan begitulah perjalanan ilmu itu hingga entah bagaimana ki Soca Welirang mempelajarinya dan mampu menggunaka ilmu hitam tersebut. Sekarang ilmu Rajah Kala Pati sudah diterapkan untuk menghabisi lawannya. Tenaga dahsyat mengandung racun menjalar menyusup tanah mengarah kepada lawannya yang berdiri tegap penuh kewaspdaan.
Dalam pada itu ki Panji Tohjaya dalam diamnya juga mendapatkan ada sesuatu yang ganjil terhadap lawannya. Karenanya ia sempat memusatkan nalar budinya untuk mengungkit ilmunya aji Brajadaka serta aji Sepi Angin. Dua ilmu melebur menjadikan tenaga dahsyat memutar ke seluruh urat nadinya, dan saat itulah berbenturan dengan ilmu gelap lawan yang menyusup dari bawah kakinya dan terus naik menjalari kakinya. Ki Panji Tohjaya terkejut dengan adanya tenaga aneh yang sepertinya melawan dan menggerogoti kakinya. Tetapi Senopati ini berusaha melawan melalui pengerahan ilmu gabungan, hingga akhirnya terjadila upaya dorong - mendorong dari ilmu itu.
Rasa sakit dan pedih menyiksa kaki ki Panji Tohjaya sebatas betis. Dorongan kuat dari tenaga aneh rupanya dapat membobol tenaga gabungan Brajadaka dan Sepi Angin, menambah penderitaan yang dialami ki Panji Tohjaya, dimana dua kaki sebatas betis telah berubah menghitam legam, dan membuat lunglai tubuh Senopati itu. Jatuhlah tubuh ki Panji Tohjaya yang tak dapat menopang lagi berat tubuhnya. Jika ini terus berlanjut, bisa dipastikan ki Panji Tohjaya akan binasa di tangan ki Soca Welirang.
Meskipun besar musibah melanda seseorang, tetapi apabila Dzat Yang Maha Agung belum berkenan mencabut nyawanya, kematian akan terhalang untuk sementara dan selamatlah orang itu. Begitu juga dengan keadaan ki Panji Tohjaya, dimana dalam keadaan sekarat muncul orang yang baru saja dijumpai, yaitu ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro. Kedua orang itu terkejut melihat keadaan yang dialami oleh ki Panji Tohjaya. Bergegas keduanya melompat ke arah ki Panji Tohjaya dan satunya lagi ke arah ki Soca Welirang.
Kedatangan dua orang itu menghentikan tindakan ki Soca Welirang untuk menghabisi ki Panji Tohjaya. Untuk sementara ilmu Rajah Kala Pati ia tarik kembali demi menghadapi terjangan seorang pemuda. Demi menghindari terjangan itu, ki Soca Welirang mengisar kakinya sekaligus mengayunkan gada rampasan ke arah lawan barunya. Tetapi lawannya bukanlah anak yang baru turun gunung setelah selesai menuntut ilmu, pemuda itu adalah murid pilihan Resi Puspanaga dalam bimbingan mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu, sehingga sangat mudah melayani ayunan gada hanya dengan mengibaskan saja.
"Tobiil.... !" seru ki Soca Welirang, takjub terhadap pemuda yang dapat melencengkan gadanya.
Akan tetapi ki Soca Welirang tak mau berhenti disitu saja, gadanya bergerak lagi mengejar tubuh lawannya dengan cepat. Ia yakin kali ini gadanya pasti menumbuk pemuda kurang ajar itu, namun untuk kedua kalinya ki Soca Welirang dibuat kesal bukan main, karena sekali lagi lawannya hanya merunduk sembari mengibaskan tangannya. Kibasan tersebut mengandung tenaga cukup kuat dan membuat tubuh ki Soca Welirang terhempas ke belakang, beruntung dirinya dapat menjaga keseimbangan, sehingga badannya tak terjengkang.
Sementara itu tak jauh dari tempat ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa beradu dada, Kyai Jalasutro mencoba membantu ki Panji Tohjaya menepi dan memeriksa keadaannya. Betapa terkejutnya Kyai Jalasutro setelah mengetahui keadaan ki Panji Tohjaya. Keadaan Senopati itu sangat parah, kedua kakinya hitam legam penuh kerutan, menandakan daging yang membalut tulang tersedot oleh ilmu Rajah Kala Pati. Bahkan kaki ki Panji Tohjaya sudah tak dapat digerakan lagi, lumpuh.
"Ki Panji, apakah yang kini kau rasakan ?"
"Sebuah tenaga mengerikan... Terasa terus.. Menggerogoti dagingku... " jawab ki Panji Tohjaya, terbata - bata karena menahan pedih yang ia rasakan.
"Semoga upaya bisa mengurangi rasa sakit itu, ki Panji."
Usai berkata, Kyai Jalasutro memusatkan nalar budinya untuk mencoba menyalurkan tenaga sucinya. Tangan Kyai Jalasutro menempel di betis ki Panji Tohjaya, begitu menempel hawa sejuk dari tangan Kyai Jalasutro menyusup betis secara perlahan, tetapi sebuah perlawanan sisa tenaga ilmu Rajah Kala Pati masih kuat dan mendorong hawa sejuk keluar kembali. Sungguh kejadian itu mengejutkan Kyai Jalasutro, baru kali ini s
Kyai Jalasutro mengernyitkan alisnya, gelar yang diucapkan oleh ki Panji Tohjaya belum pernah ia dengar. Walau begitu, melihat ilmu yang diterapkan oleh orang itu, patut mendapatkan perhatian yang besar. Namun, Kyai Jalasutro tak ingin juga langsung turun membantu ki Lurah Arya Dipa, tiada lain takut menyinggung Lurah Wira Tamtama itu, meskipun ia tahu kalau pemuda itu bukanlah seorang yang tinggi hati. Karenanya ia untuk sementara mengawasi jalannya perkelahian, dan apabila amat mendesak barulah ia turun gelanggang.
Dalam saat bersamaan, di kalangan adu kekuatan sangatlah seru dan sengit. Pemuda yang menggagalkan upaya terakhir ki Soca Welirang untuk membinasakan ki Panji Tohjaya, membuat ki Soca Welirang semakin mantab meningkatkan ilmu tata geraknya. Gada dan juga tangannya penuh ancaman mematikan bagi lawan yang lengah. Ditambah lagi lambaran tenaga dahsyat menggebu - gebu meremukan mangsa. Pantaslah jika orang ini terkenal sebagai pembunuh ulung. Gelarnya saja dapat merontokan begundal - begundal kanuragan dan bahkan pemimpin kanuragan.
"Setan alas ! Kau bisanya hanya meloncat - loncat saja, he !" seru ki Soca Welirang, tatkala lawannya hanya menghindari terjangannya dengan loncatan - loncatan saja.
Ki Lurah Arya Dipa menanggapi dengan tersenyum sembari melentingkan tubuhnya demi menghindari ayunan gada lawan. Pemuda itu berusaha melakukan penjajagan dahulu untuk mengetahui tenaga lawan, yang sebenarnya memiliki ilmu mengerikan. Selain itu adalah mencoba menggoda batas kesabaran lawan, supaya pergerakan lawan tidak sejalan dengan pikiran jernih, sehingga mengkalutkan tata gerak lawan. Tetapi apabila lawannya dapat membaca jalannya pemikiran ki Lurah Arya Dipa, tindakan itu akan menjadi piranta lawan untuk mengelabuinya dan menghancurkannya. Oleh sebab itulah, ki Lurah Arya Dipa juga selalu berhati - hati dan waspada dalam setiap langkahnya.
Memasuki tataran lebih rumit, gada ki Soca Welirang tak dapat lagi dilihat sebelah mata, ki Lurah Arya Dipa-pun terpaksa melepas ikat pinggangnya sebagai senjata untuk menghadapi gada pusaka lawan. Namun dalam pada itu, lawannya merasa dihinakan oleh ki Lurah Arya Dipa yang melayaninya hanya menggunakan ikat pinggang. Hal itu menjadikan lawannya tak dapat lagi mengekang gejolak kemarahannya dan melibas ki Lurah Arya Dipa lebih ganas lagi dari sebelum - belumnya. Maka gada ditangan ki Soca Welirang sangat mengerikan disetiap ayunan dan gebrakannya.
Bagi ki Lurah Arya Dipa, tindakan dari lawannya sangatlah wajar tatkala mendapatkan lawan hanya menggunakan ikat pinggang sehingga marah dan merasa diremehkan. Tetapi lawannya belum tahu apa sesungguhnya bahan ikat pinggangnya itu ? Ikat pinggangnya adalah sebagian daripada sisik ular naga yang memiliki keuletan luar biasa, serta apabila ikat pinggang itu dihantamkan ke batu sebesar kepala kerbau, niscaya batu itu akan pecah berkeping - keping. Dan pusaka ikat pinggang ini sudah sering terbukti dapat membuat lawan - lawan ki Lurah Arya Dipa menjadi takjub pada akhirnya, begitu juga halnya dengan lawannya kali ini manakala singgungan senjata terjadi.
Mata ki Soca Welirang seakan - akan lepas dari kelopak matanya, karena tak percaya jika gadanya dapat ditahan lawan menggunakan ikat pinggang. Tidak sampai disitu saja, ikat pinggang ditangan lawannya telah mengibaskan gadanya, jika cengkeramannya tak kuat niscaya gada tersebut lepas dari tangannya. Akhirnya sadarlah ki Soca Welirang kalau ikat pinggang tersebut adalah benda pusaka, dengan itu ia tak akan gegabah menilai kemampuan lawan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 7
oleh : Marzuki
Hari semakin remang dimana sang Surya kembali dalam peraduannya. Tanah lapang terasa mencengkam karena lima tubuh menggeletak tak bernyawa. Agak di pinggir, seorang kakek tua menopang sosok tubuh tak berdaya dengan luka aneh terletak dikedua kaki yang menghitam legam. Sedangkan tak jauh dari keduanya, sosok - sosok layaknya hantu berloncatan kian kemari menambah keadaan menakutkan
Begitu-pun kali ini, tanah lapang sedang menggelar sebuah perkelahian untuk kesekian kalinya. Ganasnya gada mengayun deras dan dihadapi ikat pinggang yang memiliki dua bentuk berupa luwes atau-pun keras dalam menyikapi ganasnya gada. Belum lagi jika dua penggunanya menyalurkan tenaga cadangan atau ilmu - ilmu dari masing - masing sumbernya, yang tentunya berbeda bentuk dan jalur, menambah sengitnya adu tenaga dan kemampuan gerak yang terolah menjadi satu kesatuan sebagai piranti pertahanan atau bahkan penghancur lawan. Semuanya tergantung kepada si-pemilik ilmu itu sendiri.
Dalam pada itu, gada ditangan ki Soca Welirang terlihat mengeluarkan pamornya, dimana cahaya kuning kehitaman nampak jelas di gelapnya malam. Sepertinya orang itu tidak lagi mengekang seluruh kemampuannya dalam menghadapi pemuda yang telah ikut campur dan mengganggunya, manakala ia hampir saja menewaskan mangsanya. Dan benar saja, gada yang dahulunya adalah milik pemimpin perguruan Candra Bumi, setelah ditangannya melibas pergerakan lawannya dengan ganas dan mengerikan. Jika sekali gada itu menghantam karang, dapat dipastikan karang tersebut akan lumat berserakan, apalagi manusia yang hanya terdiri dari tulang dan darah terbalut daging dan kulit. Sangat yakin dan pasti gada tersebut dapat menyelesaikan, itulah yang tersirat dalam benak ki Soca Welirang.
Akan tetapi, semuanya itu tergantung dari campur tangan dari Dzat Suci. Walaupun ciptaanNYA hanya se-ekor garuda, tetapi jika Yang Maha Agung memberikan kelebihan terhadap garuda itu, meskipun garuda itu dihujani ribuan anak panah, dengan kelincahan dan kegesitannya mengepak sayap garuda dapat menghindarinya dengan mudah. Begitu-pun dengan ki Lurah Arya Dipa pada saat itu, kelincahan dan kegesitannya sangat luar biasa, seakan - akan punggungnya tumbuh dua sayap dan menerbangkannya. Dan itu adalah hasil dari salah satu ilmu yang tersirat dikitab Cakra Paksi Jatayu, yang disebut "Garuda Dirgantara" tataran awal.
"Hebat... " puji Kyai Jalasutro, yang menyaksikan kehebatan ki Lurah Arya Dipa.
Sementara bagi ki Soca Welirang menyaksikan dan merasakan kemampuan lawan, membuatnya kesal bercampur marah. Dia sudah mengeluarkan hampir seluruh kemampuannya, tetapi lawan masih selalu dapat melayaninya. Ingin sebenarnya ia akan menerapkan ilmu pamungkasnya yang ngedap - ngedapi, tetapi kesempatan tidak pernah ia dapatkan barang sekejap, yaitu dimana lawannya harus menginjak tanah agak lama, karena lawannya ini selalu melenting ataupun meloncat bahkan mengudara.
"Licin betul anak muda ini ! Apa mungkin ia tahu syarat ilmu Rajah Kalapati ?" tanyanya dalam hati.
Tiada jawaban yang pasti. Malah ki Soca Welirang bergegas merendahkan tubuhnya manakala desir tajam terdengar memburu batang lehernya. Hampir saja kepala akan tanggal terpapas ganasnya ikat pinggang lawan, jika ki Soca Welirang tidak tanggap. Berhasil menghindari sergapan lawan, masih dalam keadaan merendahkan tubuh, ki Soca Welirang menyapu kaki lawan. Namun lawan dapat meloncat sembari melakukan tebasan hebat, dan ki Soca Welirang lekas menyilangkan gada diatas kepalanya.
Percikan api timbul manakala dua senjata tadi berbenturan dengan kerasnya, membuat dua penggunanya mendapatkan kesan dan akibat yang sama, yaitu getaran merambat dan menusuk jari dan tangan keduanya. Bukan hanya itu saja, tubuh ki Lurah Arya Dipa dapat dibuat mental meskipun dengan kelincahannya pemuda itu dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Sementara bagi ki Soca Welirang kakinya yang masih setengah jongkok, melesak ke dalam tanah sedalam sekilan.
Bergegas ki Soca Welirang merapal ilmunya setelah dapat meredakan rasa nyeri pada tangannya. Kesempatan untuk menggunakan ilmu Rajah Kalapati sudah di depan mata. Dan kali ini akan ia terapkan sepenuhnya agar lawan segera tewas.
Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa yang sudah tuntas dalam mempelajari kitab Cakra Paksi Jatayu dan rontal Panembahan Anom, merasakan adanya marabahaya yang akan mencelakakannya. Ilmunya yang
Bumi bagai terhantam batu langit, menjadikan tanah lapang porak - poranda. Debu bercampur tanah dan rerumputan membumbung menutupi pandangan mata, menambah pekatnya malam. Apa yang terjadi ditengah lapangan masih tak dapat diketahui, apakah ki Lurah Arya Dipa kalah ? Ataukan ki Soca Welirang yang tumbang ? Atau malah keduanya mati sampyuh ?
Di luar kalangan, hati Kyai Jalasutro berdebar hebat menyaksikan kejadian yang baru saja ia alami. Se-umur - umur barulah malam itu ia menyaksikan beradunya tenaga dahsyat yang mampu membuat tanah berderak hebat dan suara dentuman keras memekakan gendang telinga, juga bergolaknya udara malam di tanah lapang. Padahal, Kyai Jalasutro sendiri seorang linuweh dan tuntas kaweruh dalam dunia kanuragan dan jaya kawijayan, masih dibuat terpana dan takjub. Namun seiringnya waktu berlalu, orang tua itu gelisah memikirkan nasib ki Lurah Arya Dipa yang masih terkurung tebalnya debu.
Semuanya pada akhirnya harus berlalu. Debu yang membubung mulai larut terhempas angin semilir dan luruh jatuh ke bumi. Lamat - lamat keadaan dimana kalangan tadi berada, berubah adanya, tanah padat ditumbuhi rumput setinggi kurang dari mata kaki, amblong selebar belasan pelukan orang dewasa dan sedalam satu tombak. Di sana juga tiada nampak satu kehidupan-pun yang terlihat, sehingga membuat kegelisahan Kyai Jalasutro satu - satunya orang yang masih dalam keadaan terjaga, karena ki Panji Tohjaya telah pingsan setelah mencium bau anyir dari rengkahan ilmu Rajah Kalapati.
"Bagaimana ini ?" desis Kyai Jalasutro, bingung bercampur gelisah, "Bagaimana nanti aku akan mempertanggung-jawabkan keselamatan Anakmas Lurah Arya Dipa kepada istrinya yang saat ini sedang mengandung ?"
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 8
oleh : Marzuki
Keadaan yang mencekam di tanah lapang yang saat ini sangat kental, menimbulkan masalah sendiri bagi serangga - serangga malam. Bunyi jangkrik, kerlipnya kunang, dan serangga lainnya lenyap begitu tenaga dahsyat meluluh lantahkan tanah lapang. Entah kemana serangga - serangga itu perginya, setelah kedatangan orang - orang ke tanah lapang yang sangat jarang dirambah manusia dan membuat kejadian yang sangat mengerikan berupa saling menyakiti diantara manusia itu sendiri. Namun akibat yang ditimbulkan berdampak besar terhadap kelangsungan ratusan bahkan ribuan serangga yang selama ini hidup di sekitar situ.
Saat itu, yang mengganjal pikiran dan hati Kyai Jalasutro tidaklah mengenai dampak kerusakan terhadap kehidupan serangga, melainkan bagaimana akhir dari pergumulan adu sakti yang diterapkan oleh ki Soca Welirang dan ki Lurah Arya Dipa. Bagaimana tidak gelisah ? Di bekas tempat beradunya dua tenaga dahsyat hanya menyisakan lubang tanah yang cukup besar, tanpa terlihat adanya sumber kehidupan sedikitpun. Sungguh mengerikan jika dua orang digdaya tadi sama - sama lumat tak menyisakan secuil daging atau-pun setetes darah. Betapa hebat dan mengerikan ilmu - ilmu yang baru saja disaksikan oleh Kyai Jalasutro, tak terpikir ilmu limpahan dari Gusti Agung kepada manusia bisa seperti itu.
Karena tak mampu lagi mengekang gejolak hatinya, Kyai Jalasutro bangkit berdiri meninggalkan tubuh ki Panji Tohjaya yang tak sadarkan diri, mendekati kubangan luas di tengah tanah lapang. Meskipun gelapnya malam menyelimuti tempatnya berdiri, orang tua itu mencoba menajamkan matanya melalui ilmu Pandulunya demi mencari tubuh ki Lurah Arya Dipa, khususnya. Namun sudah berulang - ulang sepasang matanya menyelidiki, tak ada hasil yang didapat, kecuali tanah dan bebatuan. Dan pada akhirnya kesimpulan yang didapat ialah sesuatu yang sebenarnya tidak ia harapkan.
"Maafkan aku, Anakmas Lurah Arya Dipa. Seharusnya aku tadi mendengarkan peringatan ki Panji Tohjaya dan membantumu, walau akhir yang didapat belum tentu beruntung." sesal Kyai Jalasutro.
Sekali lagi orang tua itu mengeliarkan pandang matanya menyusuri lubang dihadapannya, untuk memastikan. Setelah yakin, perlahan orang tua itu membalikan tubuh da
Sepeninggal kepergian Kyai Jalasutro yang memanggul ki Panji Tohjaya, tanah lapang menjadi sepi menyisakan lima tubuh tanpa nyawa dan lubang besar menganga. Sementara sejarak dua puluh tombak, diantara lebatnya semak belukar, sesosok tubuh hangus tergeletak tanpa nyawa, yaitu tubuh ki Soca Welirang. Sedangkan di sisi lain, juga sejauh kurang dari dua puluh tombak, ki Lurah Arya Dipa tergeletak tak sadarkan diri dan pakaiannya berlubang seperti bekas terbakar.
Tadi, tatkala ilmu Rajah Kalapati menyeruak menghantam tubuh ki Lurah Arya Dipa, aji Niscala Praba tertembus dan tubuhnya terserang tenaga jahat Rajah Kalapati. Untung saja tubuh ki Lurah Arya Dipa tersimpan tenaga dahsyat dari kitab Cakra Paksi Jatayu dan darah naga Anta Denta, yang dapat melawan balik ilmu lawan sehingga tidak dapat menggrogoti tubuhnya, seperti tubuh ki Panji Tohjaya. Selanjutnya kekuatan aji Gelap Ngampar dan Sepi Angin yang juga dimiliki ki Lurah Arya Dipa, menyeruak keluar kearah lawannya, dan saat bersamaan lawannya juga menerapkan aji Tapak Geni tingkat tinggi. Maka bertemulah tenaga - tenaga dahsyat, yang membuat dentuman keras menggelegar. Akibatnya tidak hanya tanah hancur saja, tubuh keduanya-pun tak pelak terhempas jauh. Dan kejadian seperti itu luput dari pengamatan Kyai Jalasutro.
Baru kali inilah ki Lurah Arya Dipa mengalami perkelahian sampai - sampai tak sadarkan diri. Cukup lama matanya terpejam dan tubuhnya diam di bawah pohon. Sampai sang surya terbit dari langit timur, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Sepertinya luka dalam akibat benturan tadi malam sangatlah hebat.
Dalam pada itu, seorang wanita muda berjalan perlahan sambil sedikit merundukan tubuhnya. Dengan teliti wanita muda itu menyibakan gerumbul perdu demi mencari tetumbuhan obat. Ketika apa yang ia cari ditemukan, jemari lentiknya meraih tetumbuhan itu dan dengan perlahan mencabut hingga ke-akarnya, lalu memasukan ke wadah yang ia gantungkan di pundaknya. Kembali mata jernih itu sibuk mencari tetumbuhan yang diperlukan. Melihat tindak - tanduknya, sepertinya wanita muda ini mengerti akan ilmu pengobatan.
Baru saja kaki wanita muda melangkah empat tindak, pekik tertahan keluar dari bibir mungilnya saat Wanita itu terkejut manakala di depannya ada tubuh berbaring dengan pakaian berlubang bekas terbakar. Dan teriakan itu ditanggapi oleh seorang pemuda yang tak lain adalah suaminya, yang berlari kearahnya sembari berseru.
"Ada apa, Tanjung ?"
"Lihat itu, kakang." jawab Sri Tanjung sembari menunjuk tubuh diam di depannya.
Pemuda itu mengikuti telunjuk Sri Tanjung sehingga dia-pun mengerti kenapa istrinya menjerit. Bergegas pemuda itu mendekati tubuh terbaring dan memeriksanya.
"Hm.. Masih menunjukan adanya kehidupan.. " katanya lirih.
Tanpa pikir panjang, pemuda itu menyerahkan wadah dibalik punggungnya kepada istrinya, lalu meraih tubuh yang tergolek lemah ke atas pundaknya.
"Sebaiknya kita kembali, Tanjung. Biarlah paman Barda mengobatinya." kata pemuda itu.
"Iya, kakang."
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 9
oleh : Marzuki
Dari Karang Tunggal, sebenarnya ki Barda dan iringannya akan pergi ke tanah perdikan Anjuk Ladang. Akan tetapi, ditengah jalan iringan itu dihentikan oleh seseorang pengembara sekaligus mencari keberadaan ki Barda. Maksud orang itu tiada lain untuk meminta bantuan ki Barda dalam dunia pengobatan. Maka dari itu, ki Barda sebagai seorang yang memiliki ilmu pengobatan tidak dapat menolak permintaan orang itu, apalagi orang yang harus disembuhkan adalah salah seorang sahabatnya.
Berbeloklah arah jalan iringan kecil itu ke arah utara dan kemudian lurus ke barat hampir mendekati Demak. Sampailah iringan kecil itu ditempat yang dituju, sebuah padepokan kecil berbatasan dengan hutan. Masuklah iringan tadi ke dalam padepokan.
"Adi Prana.. !" seru ki Barda saat memasuki bilik dan melihat kawannya terbaring lemah diatas dipan.
Orang yang terbaring itu menatap sayu kearah ki Barda, meskipun begitu ia memaksakan diri untuk tersenyum, "Akhirnya kau kesini, kakang."
Ki Barda berlari kecil ke arah dipan dan memeluk kawannya yang sudah dianggap layaknya saudara sendiri. Sesudah iti barulah ia melepaskan pelukan dan menatap penuh kejelian ke wajah ki Prana. Wajah pucat seputih kapas dan adanya sesuatu yang aneh membuat ki Barda menyimpulkan sesuatu. Tetapi ia tidak langsung mengutarakan sebelum memastikan terlebih dahulu melalui penyelidikan.
"Adi, apakah kau mengalami sakit ini akibat benturan tenaga dalam ?"
Ki Prana tersenyum, "Mata kakang setajam burung elang. Tidak salah sedikitpun apa yang kau duga, kakang. Tapi aku tidak menyesal mengalami seperti ini, asal kakang sudah berada di padepokan kecil ini...."
Sehabis berkata begitu, ki Prana terbatuk - batuk dengan kerasnya, tetapi yang lebih parah ialah batuknya mengeluarkan darah hitam kental, menandakan sakit yang diderita sudah parah. Sepertinya sakit yang diderita tak mudah lagi untuk disembuhkan, dan sebenarnya ki Prana juga menyadari kalau ajalnya tak lama lagi. Perjuangan hebat selama setahun adalah karunia terbesar baginya untuk menahan kekuatan dahsyat yang menggerogoti tubuh dalamnya, dan tentunya semuanya tak lepas dari kepasrahannya kepada Sang Pencipta. Bila kini ajal benar - benar menjemputnya, ia rela dan lapang, karena didekatnya kawannya menemaninya.
"Cantrik, buatkan air rebusan. Aku akan mencoba melarutkan obat ramuan ini." pinta ki Barda kepada cantrik yang telah menjemputnya.
Belum lagi cantrik beranjak, ki Prana menggelengkan kepalanya. Bibir tua itu tersenyum lebar seraya berkata pelan kepada ki Barda dan meminta cantriknya untuk mendekat juga.
"Kakang Barda, terima kasih atas kepedulianmu. Hanya saja aku akan meminta pertolonganmu untuk terakhir kalinya."
"Adi... " potong ki Barda, tetapi tak bisa melanjutkan karena ki Prana sudah berucap kembali.
"Bimbinglah padepokan kecil ini. Cantriku yang hanya segelintir ini sangatlah memerlukan nasehat - nasehat jiwani." sejenak ki Prana berhenti dan menatap salah satu cantriknya, "Patuhilah nasehat dari kakang Barda, itu akan berguna bagimu dan cantrik lainnya."
"Kami akan selalu mengingat pesanmu, kyai."
"Bagus. Hati ini merasa lapang. Jalan panjang di depan pelupuk mata akan ku jalani sesuai panggilan-NYA. Selamat tinggal kawan..... "
Hembusan napas terakhir begitu cepat dan damai. Tubuh renta itu akhirnya ditinggalkan oleh jiwa, yang membumbung tinggi ke tempat Sang Pencipta. Menyisakan rasa haru dan sedih di hati yang ditinggalkan. Namun orang - orang itu harus merelakan dan bergegas menyelenggarakan pemakaman.
Dan begitulah, sejak saat itu ki Barda mencoba meneruskan cita - cita sahabatnya bersama Putut Jenggala, Sri Tanjung dan Panca. Penuh ketelatennya ia menghidupkan padepokan kecil dengan memberikan tuntunan ilmu bercocok tanam, berternak, dan jiwani juga tentunya pengobatan. Hal itu membuat para cantrik senang dan dengan tulus menuntut ilmu yang diberikan.
Beberapa candra kemudian padepokan kecil itu mendapatkan penghuni baru, yaitu lahirnya jabang bayi putri Sri Tanjung. Cantrik yang mengira kalau ayah dari bayi itu adalah Putut Jenggala, mengucapkan selamat kepada pemuda itu. Putut Jenggala-pun ikut hanyut dalam kesenangan, demi menutupi aib orang yang sebenarnya sangat ia sayangi, ia rela berbuat sesuatu dan benar - benar menganggap bayi itu layaknya darah dagingnya.
Sementara bagi Sri Tanjung, ingatan indahnya bersama seorang pemuda bangsawan seakan hadir dipelupuk matanya. Pemuda yang sebenarnya adalah ayah dari putrinya hanya menebarkan janji manis saja demi meraih madu dari sang bunga, dan mencampakan begitu saja. Yang lebih menyakitkan lagi ialah tewasnya ayahnya ki Pranalaya di tangan pemuda bangsawan itu. Nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tak akan dapat dikembalikan lagi, penyesalan memang adanya diakhir.
Sekarang terbukalah mata hati Sri Tanjung, sosok yang benar - benar mencintainya dengan tulus dan apa adanya adalah seorang pemuda di dekatnya, yang dari kecil selalu berada di padepokan ayahnya, dialah Putut Jenggala. Tak dapat dipungkiri akhirnya bersemilah bunga - bunga asmara antara keduanya. Seiring berjalannya waktu, cinta keduanya semakin membesar.
Ki Barda sebagai orang tua yang berpengalaman tak lengah sedikit-pun. Maka ia-pun membicarakan hubungan keduanya. Dan secepatnya merestui keduanya untuk menjalin rumah tangga.
Dua tahun sudah lamanya waktu berlalu. Pagi hari itu Putut Jenggala dan Sri Tanjung tak menduga akan menemukan seseorang yang tergeketak lemah tak sadarkan diri, di tepian hutan. Bergegas keduanya membawa tubuh pemuda itu ke padepokan. Sampai di padepokan mereka disambut penuh pertanyaan dari para cantrik yang ingin tahu siapa dan mengapa pemuda itu. Tapi Putut Jenggala tak menjawab melainkan terus membawa tubuh orang tak sadarkan diri di atas panggulannya ke bilik.
Adanya ribut - ribut di luar memancing rasa penasaran ki Barda dan orang tua yang bercirikan selalu memakai kipas bercorak burung merak, yang sedang menunggui seorang lelaki terluka aneh di kakinya. Namun saat keduanya belum beranjak, Panca berlari kecil memasuki bilik tersebut dan menceritakan adanya seorang pemuda tak sadarkan diri, diketemukan oleh Putut Jenggala dan istrinya. Mendengar itu ki Barda dan orang tua disampingnya saling berpandangan.
"Baiklah, aku akan segera kesana." kata ki Barda, kemudian.
"Bolehkah aku ikut, ki ?"
"Silahkan, Kyai. Biarlah ki Panji Tohjaya dijaga oleh Panca."
Keduanya beranjak dari samping dipan ki Tohjaya, dan bergegas ke bilik satunya lagi dimana seorang pemuda diketemukan di tepian hutan yang tidak sadarkan diri. Bilik satunya tidaklah jauh, hanya dipisahkan sekat dari bilik satunya, masuklah ki Barda dan Kyai Jalasutro. Begitu memasuki bilik, Kyai Jalasutro berseru.
"Anakmas Arya Dipa !"
Semua orang menoleh ke wajah Kyai Jalasutro yang mengenali pemuda yang terbaring di atas dipan bambu. Sedangkan Kyai Jalasutro terus melangkah dan menyentuh tubuh yang memang ki Lurah Arya Dipa, dengan cemas.
"Tenangkan hatimu, Kyai. Aku akan memeriksanya." kata ki Barda, lembut.
"Silahkan, ki."
Dengan penuh teliti ki Barda memeriksa bagian - bagian tubuh ki Lurah Arya Dipa. Cukup melegakan bagi ki Barda setelah mendapatkan hasil baik, karena peredaran darah si-pemuda berjalan lancar. Malah ki Barda dibuat takjub dengan pemuda itu, dia merasakan ada sedikit tenaga beracun terdesak oleh tenaga murni yang memancarkan kesejukan. Untuk meyakinkan dirinya, ki Barda menyentuh kening ki Lurah Arya Dipa sambil memejamkan mata, dari mulutnya orang itu terlihat merapalkan mantra. Sebuah pemandangan aneh membuat dada ki Barda berdebar kencang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 10
oleh : Marzuki
Awalnya angin kencang berputar - putar di sekeliling ki Barda, lambat laun putaran angin mereda dan menempatkan orang tua itu disebuah tempat seperti dunia lain. Sepuluh langkah di depannya, gumpalan hitam pekat menerjang seorang pemuda yang pernah ia lihat sebelumnya. Ki Barda mengernyitkan alisnya, demi menyaksikan keberanian Pemuda itu yang tidak gentar sedikit-pun walau selalu diterjang gumpalan hitam pekat, bahkan sepak terjangnya begitu memukau.
"Ilmu macam apa yang dihadapi pemuda itu ? Sampai - sampai di alam bawah sadar masih terus berlanjut." batin ki Barda.
Kala itu ki Lurah Arya Dipa melayani ilmu aneh milik ki Soca Welirang, dikatakan aneh karena meskipun sumbernya sudah tewas, ilmunya tetap saja bergerak menyerang. Untung saja yang diserang adalah anak muda pilihan dari Resi Suci lewat Resi Puspanaga, yang sudah mendapatkan tuntunan kitab Cakra Paksi Jatayu ditambah lagi tuntunan Rontal Panembahan Anom putra patih Haryo Udara, karenanya dapat bertahan dan berbalik menyerang. Ilmu dari dua sumber dalam pembendaharaan ki Lurah Arya Dipa luluh menjadi satu membuahkan tenaga dahsyat, menghalau setiap sergapan gumpalan sisa - sisa ilmu ki Soca Welirang. Meskipun begitu, ilmu ki Soca Welirang tidak mudah juga untuk dibuat jera, gumpalan - gumpalan pekat terus menggempur tubuh ki Lurah Arya Dipa.
Mendapati dirinya terus digempur tanpa memberikan luang sedikit-pun, ki Lurah Arya Dipa meloncat tinggi dibarengi gerak bibir merapalkan sesuatu. Usai bibir itu mengatup, sosok ki Lurah Arya Dipa tergantikan se-ekor burung Garuda raksasa dengan bentangan sayap sangat lebar. Suara keras dari paruh burung bagaikan pekikan halilintar membuat siapa-pun yang mendengarkan akan bergegas menutup gendang telinganya, dan apabila orang biasa yang mengalaminya pasti tidak kuat menahan gema tersebut.
"Duh Gusti Pengeran.... !" seru ki Barda, terpesona sekaligus takjub dengan wujud burung Garuda bermahkota.
Dalam pada itu, burung Garuda mulai melancarkan serangan cepat layaknya tatit. Dengan Kepakan sayapnya serta tajamya cakar, burung Garuda bermahkota itu melabrak gumpalan hitam pekat dan membuat gumpalan bercerai berai.
"Kaaaak... Kaaak.. Kaaaak... !"
Sirna sudah gumpalan hitam pekat, menyisakan suara kemenangan burung Garuda bermahkota. Bersamaan dengan itu, ki Barda membuka matanya dan bernafas lega.
"Kyai, siapa sebenarnya pemuda ini ?" tanyanya kemudian kepada Kyai Jalasutro.
Kyai Jalasutro mengernyitkan alisnya. Ia tak mengerti maksud pertanyaan dari ki Barda, usai menyentuh kening ki Lurah Arya Dipa. Karenanya orang tua yang selalu membawa kipas bercorak burung Merak itu balik bertanya.
"Adakah sesuatu yang terjadi, ki Barda ?"
Sejenak ki Barda menatap tajam wajah ki Lurah Arya Dipa. Bukan hanya penglihatan Garuda bermahkota saja yang dilihatnya, juga wajah yang ia lihat itu-pun memancarkan cahaya ke-emasan melambangkan kebesaran dari orang suci. Meskipun mata ki Barda berkerdip, pancaran itu tetap ada dan ada. Karena itulah ia bertanya siapa sebenarnya pemuda yang tak sadarkan diri itu ?
"Kyai, se-umur - umur barulah kali ini aku menyaksikan dengan kepalaku sendiri mengenai ilmu pilih tanding dari seorang Resi Suci." kata ki Barda, membuat Kyai Jalasutro dan Putut Jenggala serta Sri Tanjung mengernyitkan kening mereka.
"Mendiang guruku pernah mengatakan kepada, kalau ia pernah bertemu dengan orang tua pertapa di gunung Penanggungan. Guru mengira kalau orang tua itu Resi Gandaseta, pemimpin pertapaan Pucangan sebelum Resi Puspanaga sekarang. Tetapi ternyata bukan. Orang tua pertapa itu berkata kalau dirinya sebenarnya Garuda tunggangan Raja Airlangga yang sedang menunggu lahirnya bayi."
Semakin dalam kerutan Kyai Jalasutro mendengarkan penuturan tak masuk akal itu. Tetapi tidak mungkin bila orang seperti ki Barda bermulut dusta, karenanya Kyai Jalasutro mencoba memahami setiap kata yang meluncur bagai sebuah dongeng. Debar jantungnya bergejolak bila ki Barda menyinggung perihal Resi Gandaseta yang tiada lain jelmaan Garuda tunggangan Resi Gandayu atau Raja Airlangga. Bukan hanya Kyai Jalasutro semata, Putut Jenggala dan istrinya dibuat menganga akan kenyataan dari jati diri pemuda yang ditolongnya.
"Hm.. Sungguh sebuah karunia dalam hidupku dapat mengetahui pemuda ini." ucap ki Barda setelah menjelaskan keheranannya.
"Tak perlu Kyai risaukan. Pemuda ini tak mengalami sesuatu apa. Mungkin malam atau esok hari ia akan sadar." kembali ki Barda berkata, "Hanya ki Panji Tohjaya saja yang sangat mengkhawatirkan."
Helaan napas halus terdengar dari mulut Kyai Jalasutro. Dirinyapun juga sependapat dengan ki Barda. Meskipun luka aneh yang diderita oleh ki Panji Tohjaya terhenti sebatas paha, keadaannya sangatlah mengkwatirkan, sisa - sisa dari ilmu Kalapati masih bercampur dalam darah senopati Jipang. Jika kala itu tak lekas mendapat pertolongan, mungkin jiwa senopati Jipang itu akan lepas ke alam kelanggengan.
Hari itupun merambat seperti hari - hari yang lalu. Sang surya mulai bergeser ke peraduannya digantikan suramnya langit. Di luar, para cantrik mulai menyalakan penerangan di beberapa tempat. Padepokan disiang hari nampak semarak, terlihat sedikit lengang. Kebanyak dari penghuninya berada dalam bangunan dan barak demi terhalang dari dinginnya udara malam. Hanya beberapa saja yang berada di luar yang mendapatkan tugas menjaga sesuatu yang tak diinginkan. Meskipun padepokan itu tak mengalami gangguan dan dalam keadaan yang tenang, tak berarti membuat penghuninya lengah, oleh karenanya gardu penjaga diisi cantrik untuk mengawasi keamanan padepokan.
Malam itu angin semilir berhembus, menggoyangkan api obor yang dipasang dekat gardu ronda. Di udara gelap, melintas se-ekor burung berkoak keras mengagetkan tiga cantrik yang duduk terkantuk - kantuk. Suara burung tadi sangatlah diyakini oleh orang - orang kala itu, yaitu sebuah isyarat adanya kematian.
"Burung itu... " desis seorang cantrik, seraya menatap kawannya.
Ke-dua temannya hanya mengangguk mengiyakan saja.
Sementara itu, di bilik dimana ki Panji Tohjaya berbaring, berkumpul empat orang yaitu, ki Barda, Kyai Jalasutro, Putut Jenggala dan Panca. Sebelumnya, tadi saat ki Panji Tohjaya hanya ditunggu Panca sendiri, pemuda itu melihat adanya gejala aneh dari tubuh ki Panji Tohjaya, bergegas pemuda itu berlari menemui ki Barda dan mengatakan keadaan sebenarnya dari ki Panji Tohjaya. Ki Barda dengan sigap memeriksa tubuh ki Panji disertai sentuhan - sentuhan halus menggunakan jari telunjuk yang berdempetan dengan jari tengah ke simpul - simpul tubuh ki Panji. Akan tetapi usaha ki Barda terhenti berbarengan suara erangan dari mulut ki Panji.
Itulah suara terakhir yang keluar dari ki Panji Tohjaya. Senopati Jipang Panolan itu tak kuat menghadapi ganasnya ilmu Kalapati yang sangat dahsyat menggerogoti tenaganya, hingga kemudian ajal menjemput.
"Oh, Jagat Bathoro Agung. Hamba hanya berusaha, namun Engkaulah yang menentukan." desis ki Badra, sambil membenahi tangan ki Panji Tohjaya.
"Selamat jalan, ki Panji.. " batin Kyai Jalasutro.
Malam itu juga, padepokan yang kini dipimpin oleh ki Barda, sibuk mengurusi dan merawat jasad ki Panji Tohjaya. Penerangan obor semakin terang mengusir kegelapan malam. Tanda alam berupa suara burung gagak kali ini kembali nyata, yaitu isyarat akan adanya maut disekitarnya. Cantrik yang tadi sempat mendengar akan koaknya, bercerita kepada kawan - kawannya dan menjadi bahan pembicaraan.
"Sudahlah, " sela cantrik lainnya, "Lebih baik kita bergegas ke keramatan untuk menggali liang untuk jasad ki Panji."
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 11
oleh : Marzuki
Dua hari sudah lamanya waktu berlalu sejak kematian ki Panji Tohjaya, senoati Jipang Panolan di padepokan yang dipimpin ki Barda. Suasana padepokan kala itu sudah berjalan seperti sedia kala. Kematian ki Panji Tohjaya tidak menimbulkan kejadian yang membuntutinya. Padahal padepokan itu sangat dekat dan bahkan masuk telatah kadipaten Jipang. Ini membuktikan kalau pihak Jipang tidak mempedulikan salah satu senopati yang dahulu tangan kanan Pangeran Sekar ayahanda Adipati Arya Penangsang. Hal itu semakin mendorong dugaan adanya upaya penyingkiran terhadap nayaka praja yang mengemban tugasnya dengan lurus, seperti ki Panji Tohjaya dalam membuka tabir kematian junjungannya.
Sementara itu, ki Lurah Arya Dipa yang pingsan terkena hantaman ilmu dahsyat ki Soca Welirang, berangsur - angsur membaik. Seperti yang dikatakan oleh ki Barda, pemuda itu mulai membuka matanya. Awalnya rasa bingung menggelayuti hati ki Lurah Arya Dipa. Tetapi setelah mendapatkan waktu luang untuk mencoba mengingat akan apa yang terjadi, ingatlah Lurah muda tersebut. Kini yang tersisa hanyalah ketidak-tahuan dimana dirinya berada. Dipan sederhana di sebuah bilik salah satu ruangan dimana dirinya berbaring, menimbulkan keingin-tahuan yang menggebu, maka Lurah muda tersebut beranjak bangkit dari pinggiran dipan menuju pintu bilik. Diraihnya daun pintu dan dibukanya perlahan, kakinya terus beranjak menyeberangi ruangan tengah dan berakhir tepat di pintu utama bangunan.
"Kau sudah terjaga, Anakmas Lurah ?" sapa seorang kakek yang tiada lain Kyai Jalasutro.
"Kyai... " desis ki Lurah Arya Dipa, tetapi tidak diteruskan, demi melihat kalau Kyai Jalasutro tidaklah sendiri melainkan bersama ki Barda.
Kyai Jalasutro tahu apa yang dipikirkan oleh pemuda di depannya. Segeralah ia menceritakan apa yang sudah terjadi semenjak pergumuluan seru di tanah lapang beberapa hari yang lalu. Juga tak ketinggalan memberitahukan nasib naas yang menimpa diri ki Panji Tohjaya.
Mendengar itu, ki Lurah Arya Dipa dengan cepat mengucapkan terima kasih kepada ki Barda dan seluruh penghuni padepokan, yang sudi mengulurkan bantuan kepada dirinya tatkala tak sadarkan diri akibat benturan Rajah Kalapati dan ilmu simpanan ki Soca Welirang. Hanya saja ki Lurah Arya Dipa merasa sedih atas kematian ki Panji Tohjaya yang baru ia kenal dan mau memberikan sedikit gambaran mengenai kekuatan tersembunyi di Jipang Panolan.
"Sudahlah, ki Lurah. Aku hanya sebatas mengamati saja, ki Lurah. Aku tak menyangka di usia setua ini dapat menyaksikan karunia besar di dalam diri ki Lurah." kata ki Barda.
Ki Lurah Arya Dipa mengangguk perlahan dan tersenyum. Dirinya pun dalam hati juga bersyukur atas karunia Yang Kuasa, telah memberikan kemampuan untuk menanggulangi ganasnya ilmu Rajah Kalapati.
Ketiganya lantas berjalan ke balai utama padepokan, dan di situ sudah menunggu Putut Jenggala dan Panca. Angin semilir terasa sejuk menerpa tubuh di pagi menjelang siang. Di pepohonan, burung - burung mengumbar kicaunya yang merdu dan membuat telinga sangat nyaman. Dalam suasana dan keadaan itulah, ki Lurah Arya Dipa ingin lebih jauh mengetahui siapa sebenarnya ki Barda dan penghuni padepokan lainnya.
"Sebenarnya aku bukanlah penghuni padepokan ini sejak awal berdirinya padepokan ini." ki Barda mulai berkata, "Mendiang sahabatku-lah pemilik sebenarnya dan menitipkan padepokan ini kepadaku. Bersama angger Putut Jenggala yang sedikit banyak menguasai dasar ilmu kanuragan, aku mencoba menjaga padepokan kecil ini tetap hidup."
"Itu sebuah perjuangan yang hebat, ki." puji Kyai Jalasutro.
"Hahaha... Terima kasih, Kyai."
Pembicaraan itu terhenti saat Sri Tanjung datang menghidangkan sarapan pagi bersama dua mentrik. Hidangan sederhana bercirikan masakan pedukuhan sangatlah menggoda untuk segera dilahap. Ki Badra-pu segera menyilahkan tamunya untuk menikmati makanan itu.
Usai menikmati makanan dan sisa hidangan sudah dibereskan oleh mentrik, pendopo itu masih ada geliatnya. Pembicaraan utama adalah mengenai ilmu dahsyat yang sempat menyergap ki Lurah Arya Dipa dan mendiang ki Panji Tohjaya. Karena ilmu itu sangatlah langka setara dengan Rajah Kalacakra jaman Majapahit dan ilmu Calon Arang jaman Kadiri. Munculnya ilmu Rajah Kalapati tak pelak membuat ki Barda dan juga Kyai Jalasutro, terus bertanya - tanya.
"Mungkin ki Barda mengetahui asal - usul ilmu itu."
Ki Barda mengangguk perlahan, "Seingatku ilmu itu muncul di jaman Prabu Airlangga."
Kerut di dahi Kyai Jalasutro mengerut sambil menengok ki Lurah Arya Dipa.
"Begitupun dengan apa yang saat ini dimiliki oleh ki Lurah Arya Dipa." lanjut ki Barda, "Bukankah begitu, ki Lurah ?"
Ki Lurah Arya Dipa tersenyum, mengerti apa yang dimaksud oleh ki Barda. Namun tidak dengan Putut Jenggala, Sri Tanjung atau-pun Panca, yang mengerutkan keningnya semakin dalam. Karena ketiganya tidak mengetahaui jati diri dari Lurah muda di pendopo itu.
Lalu kemudian menuturkan apa yang ia ketahui dari ilmu Rajah Kalapati. Sebuah ilmu menakutkan mengandung racun mematikan, dimana ilmu itu mampu menghanguskan daging, serta dalam mempelajari sangatlah menyimpang. Apalagi jika orang yang mempelajarinya adalah orang penuh hawa nafsu, ilmu itu menjadi hidup tak terkendali. Karena itulah, ilmu Rajah Kalapati tergolong ilmu sesat dan dilarang untuk dipelajari.
"Beruntunglah ki Lurah dapat mengatasi ilmu itu dan mampu melenyapkan sumbernya." ucap ki Barda, "Tak bisa dibayangkan jika orang yang memiliki ilmu itu masih melalang buana raya ini. Paugeran akan rusak jadinya."
"Benar, ki Barda." tegas Kyai Jalasutro, "Aku tak mengira jika orang - orang Jipang menyuruh orang seperti ki Soca Welirang untuk melenyapkan senopati Jipang sendiri."
"Begitulah, Kyai. Jika manusia dipenuhi nafsu, segala cara akan dilakukan meskipun terhadap orangnya sendiri. Bila orang itu merasa mengusiknya, perlakuan yang ditempuh adalah menyingkirkan."
Kyai Jalasutro menggangguk, mengiyakan apa yang dikatakan oleh ki Barda. Selanjutnya orang tua yang selalu membawa kipas bercorak burung merak itu, bertanya kepada ki Lurah Arya Dipa.
"Anakmas, sekarang apa yang anakmas rencanakan ?"
"Seperti yang aku rencanakan tatkala bertemu murid - murid perguruan Candra Bumi, Kyai. Aku merasakan adanya jalur antara perguruan itu dengan orang - orang penting di Jipang. Kemungkinan dari sana juga kita mendapatkan titik terang mengenai pasukan gelap Jipang, entah itu Yuda Murda atau-pun lainnya."
Ki Barda memahami akan tugas ki Lurah Arya Dipa sangatlah penting, namun ia berharap agar dua tamunya itu tidak buru - buru meninggalkan padepokannya. Orang tua itu sangat tertarik akan pribadi tamu - tamunya, oleh karenanya tak segan - segan ki Barda mencoba menahan supaya tamunya sudi untuk bermalam beberapa malam. Dan gayung-pun bersambut, ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro menyanggupi.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 12
oleh : Marzuki
Dimana ada pertemuan, disitulah ada perpisahan. Demi mengemban tugas dipundaknya, ki Lurah Arya Dipa harus berpamitan dengan ki Barda dan seluruh penghuni padepokan kecil. Tak lupa ucapan terima kasih disampaikan penuh tulus keseluruh penghuni padepokan. Di hari itu juga, ki Lurah Arya Dipa bersama Kyai Jalasutro melanjutkan penyelidikan mengenai kesatuan khusus Jipang Panolan, melalui perguruan Candra Bumi. Untunglah letak perguruan itu mudah diketahui dengan adanya Kyai Jalasutro, yang pernah berhubungan secara langsung sehingga dapat diketemukan lebih cepat.
Dalam pada itu, di dalam perguruan Candra Bumi sebuah bangunan utama, Bajang dan Sambu tampak bersikap hormat ketika menghadap dua orang lelaki, yang satu berperawakan gendut dengan wajah dihiasi bulu kumis tebal, menandakan kesan sangar dan seorang lagi berdada bidang tak kalah sangarnya yang terlihat mengangguk puas. Bila dilihat sekilas, kedua lelaki itu mempunyai kedudukan tinggi, mungkin setara priyayi agung. Dan memang begitulah, orang yang berdada bidang adalah Tumenggung Harya Kumara dan satunya lagi adik seperguruannya yaitu Tumenggung Sardulo.
"Bagaimana sekarang, kakang Tumenggung ? Hendaknya kita bergerak cepat." ki Tumenggung Sardulo bertanya, sekaligus memberikan pendapat.
"Tidak semudah itu, adi. Demak tak akan kosong mlompong tanpa adanya senopati - senopati tangguh." sahut ki Tumenggung Harya Kumara dan melanjutkan, "Aku masih ingat saat pasukanku menjebak iringan Trenggono kala itu. Entah bagaimana siasatku dapat diluluh lantahkan oleh sepuluh prajuritnya. Padahal sebelumnya aku dan beberapa pemimpin padepokan sudah menutup semua jalan yang menghubungkan dua bukit di tenggara gunung Prawoto."
Pada waktu itu, Tumenggung Sardulo tak ikut dalam penyergapan iringan Raden Trenggono seusai mengalahkan pasukan Bang Wetan di kadipaten Tuban. Tetapi gagalnya penyergapan Tumenggung Harya Kumara dan pasukannya sangatlah menggemparkan orang - orang Jipang Panolan yang masih dibawah kendali Adipati Sepuh, mertua mendiang Pangeran Sekar. Bagaimana tidak gempar ? Ratusan pasukannya luluh lantah dan cerai berai oleh sepuluh prajurit berpakaian hitam, dipimpin ki Lurah Arya Dipa. Hal inilah yang membuat ki Tumenggung Sardulo dapat mengerti akan kehati-hatian kakak seperguruannya itu.
"Lebih baik kita pusatkan untuk terus memperkuat ketahanan dan memperdalam ilmu kesatuan itu, adi."
"Baik kakang Tumenggung."
Lalu ki Tumenggung Harya Kumara mengalihkan perhatiannya kepada Bajang dan Sambu.
"Bersikaplah seolah - olah perguruan ini seperti sebelumnya, hingga ki Soca Welirang kembali."
"Sendiko, ki Tumenggung." jawab keduanya, berbarengan.
Tak lama kemudian, Tumenggung Harya Kumara dan Tumenggung Sardulo sudah duduk diatas kuda. Dengan tatapan dari Bajang dan Sambu, kuda dua tumenggung tadi berlari kencang meninggalkan debu di belakangnya. Kini tinggalah Bajang dan Sambu yang kemudian memasuki regol padukuhan.
Tak jauh dari pintu regol, mungkin sejarak sepuluh tombak, ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro, berlindung di bawa pohon agar tak diketahui orang - orang perguruan Candra Bumi. Tadi sewaktu dua orang penunggang kuda melintasi jalan dekat keduanya bersembunyi, keduanya tak mengira jika dua orang tadi merupakan senopati Jipang Panolan. Itu dikarenakan dua orang tadi tidak mengenakan pakaian keprajuritan.
"Untuk sementara sebaiknya kita beristirahat di pepohonan itu, anakmas." ujar Kyai Jalasutro, sambil menunjuk pohon bramasta.
"Mari, Kyai. Waktu memang tak memungkinkan untuk bergegas memasuki padepokan Candra Bumi." sahut ki Lurah Arya Dipa.
Lantas keduanya semakin dalam memasuki kebun dan berhenti di bawah pohon bramasta atau beringin. Sambil istirahat, bungkusan bekal makanan dari padepokan ki Barda mulai dibuka. Makanan itu cukup untuk membuat perut kenyang, apalagi makanan yang dimasak sangatlah sedap dan nikmat. Itu telah membuat Kyai Jalasutro berkata.
"Nimas Sri Tanjung memang benar - benar perempuan terampil. Rebung dan daun ketela dijadikan makanan setara di pura - pura Kadipaten besar." puji Kyai Jalasutro.
"He.. Benarkah itu, Kyai ? Sepertinya Kyai dahulu pernah mengunjungi kadipaten - kadipaten besar ? Ponorogo-kah ? Tuban-kah ? Japanan atau Puger ?" tanya ki Lurah Arya Dipa, beruntun.
"Aduh, anakmas. Pertanyaanmu susul menyusul laksana badai pantai selatan... " keluh Kyai Jalasutro, sambil menepuk dahinya.
"Hahaha... Habisnya Kyai dapat membandingkan selera masakan di pura - pura Kadipaten."
"Hm.. Dahulu. Dahulu di saat aku mengejarnya, aku sempat singgah di Pura Kadiri, anakmas." desis perlahan Kyai Jalasutro, mengenang masa mudanya.
"Maksud Kyai, orang yang mirip eyang Begawan Jambul Kuning ?"
Kyai Jalasutro mengangguk, "Iya. Tapi waktu itu eyangmu sudah diasingkan di gunung Bancak bersama keluarganya."
"Pada saat itu Kadiri sedang menyelenggarakan keramaian atas keberhasilan mereka membuat Prabu Brawijaya Pamungkas keluar dari pura Wilwatikta. Orang - orang Giriwardhana berkumpul bersenang - senang semalam suntuk dihibur berbagai pagelaran wayang dan tari - tarian." sambung orang tua itu, "Dan disitulah aku menyelinap di dapur kadipaten."
Usai berkata seperti itu, Kyai Jalasutro tertawa lepas, sementara ki Lurah Arya Dipa tersenyum. Cerita demi cerita sambung menyambung dibumbui pengalaman lucu, sedih, dan bahkan menegangkan. Hingga tiada terasa sang surya telah condong ke barat, dan tenggelam di gulung gelapnya malam. Saat seperti inilah yang ditunggu sejak awal oleh kedua orang itu.
Tak perlu diragukan, dalam melakukan pengintaian, ki Lurah Arya Dipa yang seorang prajurit dari kesatuan khusus Demak dan Kyai Jalasutro, adalah tugas mudah bagi keduanya. Meskipun begitu keduanya tidak sembrono dan penuh kehati-hatian. Karena berbagai suara yang ditimbulkan dari pergerakan anggota tubuh, diupayakan diredam sama sekali.
Pagar tembok bata setinggi dua tombak dapat diloncati dengan mudah. Sesampai di bawah tembok bagian dalam, keduanya berpencar. Ini untuk menyingkat waktu sekaligus mempermudah keduanya bergerak. Ki Lurah Arya Dipa menyusur ke arah kanan, dan Kyai Jalasutro ke arah sebaliknya.
Ternyata padepokan Candra Bumi cukuplah luas dan banyak bangunan berdiri di dalamnya. Selain itu, berbagai pepohonan buah - buahan tumbuh subur dan terawat baik oleh penghuninya. Inilah yang menjadikan ki Lurah Arya Dipa semakin mudah dalam melakukan penyusupan di malam hari itu.
Tibalah pemuda itu di sebuah bangunan besar. Tanpa ragu - ragu dengan mengungkap ilmu meringankan tubuh, meloncatlah ki Lurah Arya Dipa ke atap bangunan dan merendahkan tubuh hingga menempel ke dinding. Lantas ilmu pangrungu dipertajam demi mengetahui suara - suara di dalam ruang bangunan yang tersekat oleh atap. Lambat laun suara dari bawah atap mulai terdengar.
"Tak seperti biasanya ki Soca Welirang terlambat seperti ini."
"Memangnya iya ditugaskan kemana ?"
"Entahlah, Bajang. Pastinya, bagi pembunuh sepertinya, tugasnya sangatlah khusus dan berbau kematian."
"He.. Sambu, kapan orang - orang itu pergi dari sini ?" tanya Bajang, pelan.
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Bajang membuat Sambu mengernyitkan alisnya. Entah kurang mengerti atau benar - benar tak mengerti.
"Mengapa kau pura - pura tak mengerti, Sambu ? Bukankah dari awal kita hanya ingin menguasai perguruan ini hanya untuk kita berdua saja ?"
Namun tidaklah demikian yang ada dalam diri Sambu. Sebenarnya ada sesuatu keperluan yang tidak diketahui oleh kawannya itu. Hanya saja, demi berjalannya sebuah cita - cita lebih besar, hasratnya ditekan lebih dalam dan terselimuti dengan tebal dan berlapis - lapis.
"Aku kira tak kurang dari catur wulan." desis Sambu.
"Ah.. Begitu lamanya.. Bisa - bisa persediaan dapur akan ludes dimakan orang - orang itu." keluh Bajang sedikit kesal.
Sambu diam saja. Sinar matanya ia lemparkan ke sisi yang lain, tak se-arah dengan kawannya.
Di atas atap, ki Lurah Arya Dipa mencoba menguraikan setiap kata yang meluncur dari kedua orang di bawah atap. Pikirannya mencoba menerka dan merangkai setiap gerak gerik dari Bajang dan Sambu, perkataan keduanya, dengan tingkah laku mereka di Demak, serta hubungannya dengan ki Soca Welirang. Dugaan demi dugaan timbul dan mengarah akan adanya campur tangan punggawa Jipang. Namun itu semua masih harus dibuktikan lebih jelas agar tidak semakin mengeruhkan suasana. Ki Lurah Arya Dipa tidak mau lagi terjebak seperti saat dirinya dikelabui oleh Pangeran Singosari, dan membuat hubungan Demak dan telatah Banyubiru hampir hancur.
Karena di dalam bangunan tiada lagi adanya pembicaraan yang menjurus masalah penting, ki Lurah Arya Dipa menyudahi tindakannya, dan bergegas meninggalkan atap. Meloncatlah ki Lurah Arya Dipa tanpa adanya bunyi yang ditinggalkan ke bawah dinding bangunan dan langsung pergi menuju pagar perguruan Candra Bumi. Di situ rupanya Kyai Jalasutro sudah menunggunya. Dengan menggunakan isyarat, Lurah muda itu mengajak Kyai Jalasutro untuk kembali ke persembunyian mereka.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 13
oleh : Marzuki
"Katakan sekali lagi !!" seru Bajang.
"Ki Soca Welirang telah tewas, ki Bajang." jawab cantrik Candra Bumi dengan suara agak bergetar.
"He... ! Benarkah yang dikatakan kawanmu itu ?!" kini Bajang bertanya kepada kawan cantrik pertama.
"Be.. Benar, ki Bajang. Kami ber.. dua melihat dengan mata kami sendiri."
"Kurang ajar... !" bentak Bajang, sambil menggebrak bangku di depannya, tetapi ada warna lain dalam hatinya.
Di sebelahnya, Sambu mengerutkan keningnya. Dalam benaknya berbagai pikiran melintas kian kemari. Dirinya tak menyangka kalau orang seperti ki Soca Welirang dapat dikalahkan seseorang dan berakhir kematian. Ini membuktikan kalau tugas yang diembannya akan bertambah rumit.
"Hm.. " desuhnya perlahan, lalu katanya kepada dua cantrik yang melapor, "Baiklah. Kembalilah kalian."
Dua cantrik itu kemudian berjalan meninggalkan Bajang dan Sambu. Dan kini tinggalah dua orang yang masih memikirkan kejadian mendadak dan mengagetkan itu.
"Sebaiknya aku bergegas memberitahukan kejadian ini kepada ki Tumenggung Harya Kumara." desis Sambu.
"Tunggu dulu Sambu," kata Bajang, "Biarlah dua Tumenggung itu tahu akan kematian ki Soca Welirang. Inilah kesempatan kita untuk membersihkan perguruan ini dari orang - orang itu."
Berubahlah raut muka Sambu. Tetapi dengan cepat ia menyembunyikan agar tak diketahui oleh Bajang, dan memang Bajang tak menyadari perubahan raut muka kawannya.
"Apa maksudmu, Bajang ?"
Bajang tak segera menjawab, melainkan menyunggingkan senyum sembari mengelus janggutnya. Dan barulah berkata.
"Begini.... "
Suara Bajang tersendat dan tak mampu lagi meneruskan perkataannya, demi terdengar adanya derap kuda memasuki regol perguruan. Semakin terkejutlah Bajang saat mengetahui dan mengenali para penunggangnya. Seorang lelaki tua didampingi tiga lelaki kekar dan berdada bidang mengenakan pakaian sama, yaitu hitam dengan seleret warna putih serta ikat kepala hijau pupus.
Tergopoh - gopohlah Bajang dan Sambu menyambut empat orang berkuda itu.
"Selamat datang di perguruan Candra Bumi, ki Patih Mentahun." ucap Bajang dan Sambu berbarengan.
Orang tua itu mengangguk perlahan dan kemudian turun dari kudanya, serta menyerahkan tali kekang kuda kepada salah satu pengawalnya. Dengan langkah gagah ki Patih Mentahun menaiki tlundak untuk kemudian menuju balai utama perguruan Candra Bumi, yang diikuti Sambu dan Bajang serta tiga pengawalnya.
"Sambu," suara ki Patih Mentahun, terdengar tegas.
"Dalem, gusti Patih."
"Kematian Soca Welirang sudah terdengar sampai pura kadipaten Jipang. Sekarang perguruan ini kosong akan kepemimpinannya dalam keikutsertaan memperjuangkan keadilan dari Anakmas Arya Penangsang."
"Hamba, sinuwun."
"Sebab itulah aku datang sendiri ke sini, guna untuk mengukuhkan dirimu sebagai pemegang tampuk pimpinan."
Gelegar keras terasa menghantam telinga Bajang. Bumi tempatnya duduk terasa bergoyang hebat, laksana terkena lindu dan membuat hatinya gelisah tak karuan. Dirinya tak mengerti kenapa orang tua tersebut memilih Sambu sebagai pimpinan perguruan Candra Banyu, tanpa merundingkan terlebih dahulu. Bukankah dirinya dan Sambu sama - sama murid utama Candra Bumi yang mau bekerjasama melenyapkan ki Ageng Candra Bumi ? Mengapa harus Sambu orang yang dipilih ?
Sementara itu Sambu juga terkejut. Dirinya tak mengira akan mendapat kepercayaan dari ki Patih Mentahun. Walau sebenarnya dirinya adalah orang yang setia kepada Adipati Arya Jipang dan dengan tulus ikut melenyapkan gurunya sendiri, Sambu tak berpikir ataupun mempunyai pamrih berupa kedudukan atau-pun harta benda. Maka dari itulah ia benar - benar tak mengerti bagaimana dirinya dipilih untuk memimpin perguruan itu.
"Terima kasih atas limpahan dan restunya, gusti Patih. Tetapi ilmu dan pengalaman hamba sangatlah dangkal adanya. Mohon lebih baik gusti Patih mempertimbangkannya."
"Hahaha... Kau terlalu merendahkan diri, Sambu. Dan itulah yang membuatku semakin senang dan merasa tepat untuk memilihmu." kata ki Patih Mentahun, "Aku memilihmu bukan sekonyong - konyong semata, tetapi ini juga atas pertimbangan Tumenggung Harya Kumara dan Sardulo.
Bajang semakin gelisah. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Kepalanya yang menunduk semakin menunduk, demi menutupi semburat warna merah diwajahnya menandakan ketidaksukaannya.
"Bajang... Bajang... Bajang.. "
Tiga kali ki Patih Mentahun memanggil Bajang, tiada tanggapan sedikit-pun yang timbul dari Bajang. Karenanya hal itu membuat Sambu dan ketiga pengawal Patih Mentahun heran dan juga sedikit kesal. Namun tidak bagi ki Patih Mentahun sendiri, orang tua itu sebenarnya tahu akan isi hati Bajang, yaitu adanya titik - titik kecewa terhadap terpilihnya Sambu sebagai pemimpin di perguruan Candra Bumi.
Dan itulah yang memang diharapkan oleh ki Patih Mentahun. Yaitu untuk menimbulkan sesungguhnya hati Bajang dalam persoalan nyata bagaimana orang itu ketika ikut bergabung dengan upaya kadipaten Jipang, apakah orang itu benar - benar memihak Jipang atau hanya ingin meraih kemukten belaka. Dan nyatanya terkuak sudah dengan membisunya Bajang.
"Bajang....!" seru ki Patih Mentahun.
Seruan itu membuat Bajang bagai tersadar dari lamunannya. Dengan gelagapan orang itu menunduk sembari menyahut, meskipun suaranya agak bergetar, entah takut atau menahan marah.
"Hamba, gusti Patih.... "
"Tahukah jika dari tadi sudah tiga kali aku memanggilmu, tetapi tak satu-pun kau menjawab ?"
"Ampunkan diri hamba, gusti Patih. Ini semua karena ketidaktahuan diri ini atas apa yang gusti Patih tetapkan." kata Bajang.
Sambu kaget demi mendengar bagaimana saudara seperguruannya itu berbicara tanpa tahu ujung pangkalnya. Selain itu, Sambu-pun tak mengerti kalau kawannya lepas dari unggah - ungguh saat berbicara kepada seorang bangsawan dan bahkan orang kedua di Jipang Panolan.
"Hehehe... Bicaralah terus terang Bajang. Biarlah kegelapan semakin terang, tali ruwet biar terurai."
Sejenak Bajang menggeser letak duduknya, dan kemudian katanya, "Gusti Patih, hamba dan Sambu adalah sama - sama Putut utama di perguruan Candra Bumi, yang sudah tuntas menuntut ilmu dan keluar dari lingkungan perguruan. Tanpa sengaja setahun yang lalu, kami berdua memasuki pusat pura Jipang dan mengikuti sayembara pada saat itu."
"Bajang... " potong Sambu, tetapi sebuah isyarat dari ki Patih, membuat Sambu tak melanjutkan.
Tanpa menghiraukan peringatan dari Sambu, Bajang melanjutkan perkataannya, "Kami akhirnya lulus dengan hasil sama atas sayembara tersebut dan mengangkat kami menjadi prajurit khusus. Dan suatu kali, ki Patih membicarakan mengenai pergerakan pendam, dimana pergerakan itu memerlukan batu loncatan berupa telatah antara Jipang dan Demak. Maka hamba pada saat itu mengusulkan perguruan ini sebagai telatah itu, dengan sebuah syarat telatah ini nantinya akan dijadikan tanah perdikan."
Ki Patih Mentahun manggut - manggut. Dirinya ingat akan semua apa yang dikatakan oleh Bajang.
"Hm... Memang benar Bajang. Aku mewakili Anakmas Arya Jipang, menyetujui jika nantinya pergerakan itu berhasil, telatah ini akan dijadikan tanah perdikan. Tetapi itu nanti, Bajang.. Sekali lagi nanti."
"Hamba mengerti, gusti Patih. Namun pada awal perjalanannya tak seperti itu. Mohon maaf jika hamba akan terus terang tanpa tedeng aling - aling."
"Katakan, aku akan mendengarnya."
"Gusti Patih, usul akan penempatan telatah perguruan Candra Bumi adalah dari hamba. Seharusnya hambalah yang ditunjuk, bukannya Sambu." keluar sudah isi hati Bajang.
"He... Bajang.. " desis lirih Sambu.
Mendengar kekecewaan dari mulut Bajang, tidaklah membuat ki Patih Mentahun murka. Ketenangannya sangat menakjubkan dan pantas jika orang tua itu dijadikan seorang pepatih. Malah senyum mengembang dari bibir ki Patih Mentahun, bak sinar mentari di pagi hari. Tetapi tidaklah bagi ketiga pengawalnya, yang geram dan jengkel karena junjungannya disepelekan.
"Baiklah, Bajang. Aku akan mencabut keputusanku dan memilihmu menjadi pimpinan perguruan Candra Bumi." kata ki Patih Mentahun dan diteruskan dengan bertanya kepada Sambu, "Bagaimana tanggapanmu, Sambu ?"
Sambu menghela napas seraya menyembah dan menjawab, "Hamba akan mengikuti titah gusti Patih. Karena bagi hamba, keputusan gusti Patih adalah yang terbaik."
"Kau dengar, Bajang ? Sambu tidak menolak jika kau memimpin perguruan ini."
"Kasinggihan, gusti Patih." jawab Bajang dengan muka berseri.
"Baiklah kalau begitu. Tugasmu akan semakin berat untuk kau pertanggungjawabkan kehadapat Adipati Jipang Panolan. Jika sesuatu yang tak terduga terjadi, nyawamulah sebagai taruhannya."
"Hamba siap, gusti Patih." tanpa disadari akan kata - kata ki Patih Mentahun, Bajang menyanggupinya.
"Hm.. Dua hari lagi, penambahan prajurit ke perguruan ini akan segera datang. Siapkan kebutuhan mereka dengan cepat."
"Bukankah prajurit disini sudah memadai, gusti Patih ?" tanya Bajang, agak kecewa akan datangnya prajurit tambahan.
"Ini semua untuk memastikan barjalannya rencana." kata ki Patih, agak berat.
Sehingga membuat Bajang tak berkutik, "Bila itu kehendak gusti Patih, hamba akan mematuhinya."
Tak lama ki Patih Mentahun berada di perguruan Candra Bumi, diiringi tiga pengawalnya, ki Patih meninggalkan perguruan tersebut dengan menempatkan Bajang sebagai pemimpin perguruan Candra Bumi, walau sebenarnya itu hanyalah permainan belaka. Ibarat burung, sangkar emas dan berbagai perlengkapan hiasan serta makanan, telah disediakan penuh kemewahan. Akan tetapi burung itu tertipu dengan semuanya dan membuatnya terlena akan keadaan yang sesungguhnya, tanpa disadari hanya suaranya saja yang didengarkan oleh pemiliknya. Inilah yang membiarkan sang pemilik terus merawat sedemikian rupa agar nantinya dapat digunakan dan dimanfaatkan demi kepentingannya.
Debu-pun mengepul seiring berlarinya ke-empat kuda yang ditunggangi orang ke-dua kadipaten Jipang beserta tiga pengawalnya, menyisakan dua kesan berbeda dihati Bajang dan Sambu. Bagi Bajang, ini adalah kepuasan tersendiri dalam hidupnya, yang merasa cita - cita atau impiannya akan tercapai, yaitu jenjang menuju seorang kepala tanah perdikan. Berbeda dengan Sambu, Sambu mengerti akan jalan pikiran dari ki Patih Mentahun yang mengumpankan dirinya agar supaya Bajang memperlihatkan isi hatinya, dan itu berhasil.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 14
oleh : Marzuki
"Siapa orang - orang itu tadi, Anakmas ?" tanya Kyai Jalasutro kepada ki Lurah Arya Dipa.
"Entahlah, Kyai. Namun bila melihat kuda - kuda tegar dari tunggangan mereka, dapat dipastikan mereka golongan bangsawan atau petugas kadipaten." desis ki Lurah Arya Dipa.
Kedua orang itu masih menatap kepulan debu yang tertinggal dibelakang iringan kuda. Mereka tak tahu kalau salah seorang yang menunggang kuda adalah Patih Mentahun itu sendiri, jika saja tadi mengenalinya, ini akan semakin memudahkan ki Lurah Arya Dipa dalam pengusutan jejak tersembunyi mengenai kesatuan rahasia Jipang.
"Anakmas, " tiba - tiba Kyai Jalasutro berkata.
"Ada apa, Kyai ?"
Orang tua itu menghela napas sejenak, dan katanya, "Biarlah siang ini aku memasuki perguruan Candra Bumi."
"Oh.. Tetapi, Kyai... "
"Hehehe... Bukankah aku sudah bilang, jika dahulu aku pernah singgah di perguruan itu ? Kali ini biarlah aku mencoba memasukinya."
Setelah mempertimbangkan, ki Lurah Arya Dipa menyetujui. Maka Kyai Jalasutro mempersiapkan dirinya untuk memasuki sarang harimau. Dengan bekal kemampuan sebagai seorang pengembara yang berpengalaman, juga mengenali isi dari perguruan Candra Bumi, berangkatlah orang tua bercirikan kipas bergambar burung merak tersebut.
Tak perlu memakan waktu banyak, sampailah sepasang kaki Kyai Jalasutro di depan pintu regol perguruan Candra Bumi. Kedatangan orang tua itu-pun diketahui oleh cantrik yang bertugas menjaga pintu regol, dan langsung diperhentikan untuk ditanyai.
"Kisanak ini ?!" salah seorang cantrik bertanya dengan ketusnya.
Alis Kyai Jalasutro terangkat dikarenakan merasakan kejanggalan dari nada suara cantrik di depannya. Walau begitu, orang tua itu masih dapat mengendapkan isi hatinya dan menjawab penuh keramahan, serta wajah ceria terlihat jelas.
"Kisanak, aku Jalasutro sahabat ki Ageng Candra Bumi. Pasti kisanak - kisanak ini orang baru sehingga tak mengenaliku."
Dua cantrik itu saling pandang satu sama lain. Tentu keduanya tak mengenali orang dihadapan mereka dan bahkan mereka-pun tak tahu nama yang disebut oleh orang tadi. Karena sebenarnya mereka ini adalah prajurit yang dikirim oleh pihak Jipang.
"Pergilah, kisanak. Di sini tak ada orang yang bergelar ki Ageng Candra Bumi." seru seorang prajurit yang menyamar menjadi cantrik.
"He... ?" kejut Kyai Jalasutro, "Janganlah kalian bergurau, kisanak. Sudah puluhan kali aku berkunjung kemari dan bertemu dengan sahabatku itu. Bagaimana kalian dapat berbicara ngawur seperti itu ?"
"Diam kau orang tua !" bentak orang berkumis tebal, "Menyingkirlah jika kau ingin melihat sang surya lebih lama ! Lebih baik cepat tinggalkan tempat ini agar aku tak berbuat dosa dengan mengotori tanganku !"
"Kami masih berbaik hati, kisanak. Di sini tak ada lagi orang menyandang gelar seperti itu. Pergilah." sambung kawannya, dengan nada agak merendah.
"Hm... Aneh, " geremeng Kyai Jalasutro, seakan - akan bingung demi mengelabui dua cantrik palsu itu, tapi ia kemudian menghela napas seraya meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, salah seorang cantrik palsu bergegas berlari ke bangunan utama perguruan Candra Bumi setelah kepergian Kyai Jalasutro. Orang itu melaporkan kejadian tadi kepada Sambu yang saat itu memang berada di bangunan utama.
"Kyai Jalasutro... " desis perlahan Sambu, mengingat nama itu.
"Oh.. " desisnya kemudian menyusul pertanyaan kepada prajurit yang melapor, "Apakah orang tua itu memakai kipas ?"
"Benar, ki Lurah."
"Gawat jika orang tua itu mengetahui kebenaran dari perguruan ini." kata Sambu, "Prajurit, kerahkan dua puluh prajurit dan amankan telatah ini sejarak puluhan tombak !"
"Baik, ki Lurah."
Bergegas prajurit berpakaian cantrik tadi pergi dari bangunan utama, berlaru menuju salah satu barak dan secara singkat menerangkan apa yang diperintahkan oleh Sambu kepada prajurit lainnya. Maka dua puluh prajurit bergegas menjalankan perintah mengamankan perguruan Candra Bumi sejarak puluhan tombak. Tempat - tempat mencurigakan langsung disingkap tak kecuali, juga orang yang tak sengaja bersinggungan jalan langsung mendapat pertanyaan tak mengenakan. Namun dari semua itu, kecepatan dan kesigapan mereka kalah cepat dari pergerakan dari dua orang linuwih yang memang berurusan dengan rahasia perguruan Candra Bumi. Sehingga upaya dari ke-duapuluh prajurit itu tak mendapatkan apa - apa.
Tak terlalu jauh dari telatah perguruan Candra Bumi, Kyai Jalasutro mengatakan kegagalannya memasuki perguruan Candra Bumi dengan baik - baik tanpa menggunakan kekerasan agar tak memancing keributan. Hal itu rupanya sejalan dengan pikiran ki Lurah Arya Dipa, yang berpendapat sama. Meskipun sebenarnya jika memaksa dapat memasuki lingkungan perguruan, namun akan membawa kerugian pada akhirnya. Karena itulah satu - satunya jalan adalah melakukan gerakan senyap tanpa sedikitpun membangunkan hewan buas dari sarangnya. Dan keduanya yakin kalau pemimpin perguruan menganggap kebetulan saja kedatangan dari Kyai Jalasutro, dan tak akan mengira kalau sebenarnya salah seorang prajurit Demak mengendus bangkai yang disembunyikan oleh orang - orang Jipang.
"Tidaklah mengapa, Kyai." kata ki Lurah Arya Dipa, kemudian, "Pekerjaan ini memang memerlukan kesabaran. Aku yakin, cepat atau lambat kita akan mendapatkan bukti yang nyata."
Kyai Jalasutro mengangguk, "Hm.. Tetapi karena tindakanku, penjagaan semakin ketat dan diperluas. Lihatlah orang - orang itu dalam keadaan siaga bagai seorang prajurit saja, Anakmas."
Ki Lurah Arya Dipa tersenyum, "Itu semakin membuatku yakin, Kyai. Pakaian mereka hanyalah penyamaran saja, sedangkan dari sikap mereka sangat jelas menunjukan kesigapan dari prajurit."
Sejenak tempat itu lengang, kecuali adanya bunyi geremeng dari tiga orang berpakaian cantrik melintas di bawah pohon waru. Ketiga orang itu tak menyadari kalau diatas pohon ada dua orang memandangi mereka. Sehingga apa yang harusnya dicari, akhirnya lolos dari pengamatan.
"Ayo kita kembali." ajak seorang berbadan tinggi.
"He.. Apa kau ingin diterkam kakang Bonggol ?!" sahut kawannya, sambil melotot.
"Habis, apa yang dikwatirkan tidak ada. Kemana lagi harus dicari, Werdi ? Aku kira orang yang bernama Jalasutro itu sudah jauh meninggalkan telatah ini." kata orang berbadan tinggi.
Orang yang bernama Werdi akan angkat bicara, tetapi kawannya yang sejak tadi diam telah duluan bicara, "Ah, lebih baik kita ke sungai saja, hitung - hitung menunggu senja."
"Iya, itu gagasan yang baik." sambung orang berbadan tinggi.
Ketiganya berlalu meninggalkan pohon waru dan hilang ditikungan jalan setapak, mengarah ke sungai. Dan sepeninggal ketiga orang tadi, Kyai Jalasutro dan ki Lurah Arya Dipa turun dari pohon, sejenak keduanya terlihat berbisik dan kemudian berlari mengejar ketiga prajurit berpakaian cantrik.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 15
oleh : Marzuki
Pada saat asyik menikmati suasana sungai, prajurit berpakaian cantrik tak menyadari ada dua bayangan dengan cepat memukul tengkuk mereka. Ketiganya langsung roboh mencium kerasnya tanah pasir tepi sungai, kecuali satu orang yang terhalang tangan kuat seorang pemuda. Tubuh prajurit yang ada ditangan pemuda itu kemudian dibawa ke tepian dekat pohon gayam dan disandarkan pada pohon. Sedangkan seorang penyerang yang lain sibuk mengikat dua prajurit lainnya dengan menggunakan ikat kepala masing - masing, barulah menyusul kawannya yang muda.
"Mereka sudah kuikat, Anakmas." kata Kyai Jalasutro.
Pemuda itu mengangguk sekaligus tersenyum, seusai mengerjakan tugasnya yaitu mengikat prajurit di bawah pohon gayam. Tangannya dengan cepat menyentuh simpul dekat leher prajurit, akibatnya prajurit yang tadinya tak sadarkan diri, mulai membuka matanya, tentu saja perasaan bingung menyergapi hati prajurit akan apa yang terjadi, lebih - lebih mengetahui dirinya tak bebas bergerak. Mata prajurit tadi semakin terbelalak saat pandangannya tertumbuk dua orang dihadapannya.
"Siapa kalian ?! Dan apa yang kau lakukan kepadaku ?!"
"Tenanglah, kisanak. Kami tak akan mencelakakanmu jika kau mau menjawab pertanyaan yang kami ajukan."
Prajurit itu mendengus perlahan. Ingatannya semakin terkumpul dalam benaknya dan bisa menyimpulkan apa yang telah terjadi.
"Tentu orang tua dibelakang pemuda ini yang bernama Jalasutro." batinnya.
"Kisanak." ki Lurah Arya Dipa angkat bicara, "Kedua kawanmu sudah berbicara tentang jati diri kalian. Oleh karenanya, kau tak akan memungkiri bahwasannya dirimu adalah prajurit Jipang."
"He... " suara prajurit berpakaian cantrik itu tercekat.
Padahal, itu hanyalah tipuan saja yang dilontarkan oleh ki Lurah Arya Dipa untuk membuat prajurit itu benar - benar mengakui jatid dirinya. Jika tipuan itu mengena dalam hati prajurit itu, tentu pada akhirnya akan gampang mengorek keterangan mengeneai kerahasiaan isi dari perguruan Candra Bumi. Juga tak menutup kemungkinan dari situ dapat diperoleh keterangan mengenai adanya kesatuan aneh yang dibentuk oleh pihak Jipang.
"Bukankah itu benar.. ?!"
Prajurit itu bimbang. Bila berkata dusta, tubuhnya tentu akan mendapatkan luka arang kranjang seperti para tahanan yang ia lihat di balai pakunjaran. Tetapi jika ia berkata sebenarnya, ini akan mencoreng harga dirinya sebagai prajurit. Namun rupanya rasa takut akan luka yang diderita membayanginya, membuat prajurit itu tak tahan mengatupkan bibirnya. Perlahan namun pasti orang itu menyatakan kalau dirinya adalah prajurit Jipang. Dan tak sampai disitu saja, rahasia keberadaan prajurit Jipang di perguruan Candra Bumi juga ikut dibongkarnya, sehingga tak tersisa sedikit-pun.
"Hanya itu yang aku ketahui, tuan." ucap prajurit itu, lirih.
"Bagaimana sekarang, Anakmas ?" tanya Kyai Jalasutro kepada ki Lurah Arya Dipa.
Ki Lurah Arya Dipa tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Kyai Jalasutro, melainkan malah tangannya meluncur deras mengarah titik simpul dekat leher belakang prajurit Jipang yang masih terikat di bawah pohon Gayam. Akibat dari sentuhan tangan ki Lurah Arya Dipa, prajurit itu pingsan. Barulah ki Lurah Arya Dipa menjawab pertanyaan dari Kyai Jalasutro.
"Ini sudah cukup bagi penyelidikan kita, Kyai. Perguruan Candra Bumi hanyalah upaya untuk menjadikan tempat itu sebagai wadah kekuatan bayangan saja. Karena pada kenyataannya justru di tempat lainlah kesatuan khusus itu berada."
"Lalu bagaimana dengan ucapan prajurit tadi itu, Anakmas ? Bukankah ia bilang kesatuan yang seperti dibilang oleh mendiang ki Panji Tohjaya ada di perguruan Candra Bumi ?" tanya Kyai Jalasutro, agak heran dengan jawaban dari Lurah muda dihadapannya.
Gelengan kepala ki Lurah Arya Dipa terlihat jelas, bibirnya tersenyum dan kemudian katanya, "Aku yakin kalau ucapan dari prajurit ini sudah terpatri dalam hatinya oleh perintah atasannya, Kyai. Seakan ia takut akan mendapatkan siksaan jika ia tidak mengaku kalau dirinya adalah prajurit, tetapi wajahnya tidak bisa menipuku. Mohon maaf, bukan berarti aku menyombongkan diri, Kyai. Sedikit banyak aku mendapat limpahan ilmu membaca raut wajah seseorang saat ia berkata."
Orang tua yang bercirikan kipas merah bercorak Merak tersebut, sedikit tersentak akan ucapan dari pemuda yang selalu membuat dirinya kagum. Sungguh tak mengira seorang pemuda seusia itu memiliki beragam ilmu olah kanuragan bersumber kitab langka dan juga mampu membaca wajah seseorang. Namun satu hal yang membuat Kyai Jalasutro cukup lega, yaitu semua ilmu tersebut berada dalam jiwa seseorang berjiwa besar dan rendah hati seperti pemuda Arya Dipa. Orang tua itu yakin jika suatu saat pemuda dihadapannya akan menjadi salah seorang penjaga keberlangsungan tanah jawa ini. Itulah harapan yang besar seorang Jalasutro, berharap tanah jawa tidak ditinggalkan oleh sosok manusia berhati bersih dan mengabdikan diri bagi paugeran seperti tuntunan Gusti Agung.
"Oh, Gusti Allah, hambamu ini sangat bersyukur telah bertemu dengan pemuda seperti ini." ucap Kyai Jalasutro dalam hati.
Lalu katanya kemudian, "Sungguh aku tak mengira jika Anakmas memiliki kemampuan seperti itu. Bila kenyataannya prajurit tadi berkata bohong, selanjutnya apa yang Anakmas lakukan ?"
Sejenak ki Lurah Arya Dipa terdiam, kepalanya mendongak ke arah langit, sinar sang surya semakin bergulir ke barat, menandakan senja akan segera tiba. Sekitar Sungai adalah tempat yang jauh dari lingkup hewan buas, tetapi pemuda itu tidak tega jika terus mengikat tubuh prajurit Jipang, oleh karenanya tiada jalan lain kecuali melepas ikata mereka dan membiarkan tubuh mereka bersandar di bawah pohon Gayam.
"Kita tinggalkan mereka, Kyai. Bila mereka sadar dan ingat kejadian yang mereka alami, tentu mereka akan melaporkan kepada atasan atau pimpinan mereka. Tak apa, malah itu yang aku harapkan."
"Hm.. Baiklah. Aku yakin Anakmas pasti memiliki rencana yang matang."
Kedua orang itu berkelebat pergi meninggalkan tepian sungai. Dan selang beberapa waktu, satu persatu prajurit berpakaian cantrik mulai sadarkan diri. Kegelapan sudah menyelimuti tepian sungai itu, saat ketiga prajurit itu terbangun. Keluhan masih terdengar mewarnai mulut mereka akan rasa sakit menjalari bekas pukulan yang mereka terima.
"Seta...n alas.. !" umpat prajurit berbadan tinggi, seraya membersihkan wajahnya dari pasir yang masih menempel di wajahnya.
"Apa yang terjadi ?" giliran kawan satunya, dia-pun terlihat meringis sambil meraba tengkuknya.
Tapi tidak dengan prajurit Werdi. Prajurit ini masih ingat kalau dirinya tadi berhadapan dengan dua orang yang ia duga sebagai penyerang gelap dan sekaligus salah satunya adalah Kyai Jalasutro. Syukurlah tadi ia sempat berkata seperti yang diperintahkan atasannya jika dirinya dalam tekanan seseorang. Senyum tipis mengembang di bibir prajurit itu, yang merasa yakin dapat mengelabui dua orang tadi.
"He, Werdi ! Kenapa kau senyum - senyum sendiri ?!" seru prajurit berbadan tinggi, agak kesal.
Werdi masih tersenyum, sambil melangkahkan kakinya dan berkata, "Nanti aku ceritakan. Tapi ayo kita lekas kembali."
Meskipun masih diselimuti seribu tanda tanya, orang berbadan tinggi dan kawannya terpaksa mengikuti ajakan prajurit Werdi. Ketiganya berlalu meninggalkan tepian sungai yang kini semakin sepi kecuali desir angin, suara arus, dan serangga malam.
Pada saat yang sama dan jauh dari sungai, seorang lelaki berbadan tegap sedang memperhatikan keadaan disekitar tempatnya berdiri. Dari gerak - geriknya yang teliti, sepertinya lelaki itu mencari sesuatu yang sangat diharapkan. Bukanlah uang, pendok emas atau harta benda lainnya, melainkan sebuah pertandalah yang ingin dia ketemukan. Dan akhirnya ketelitian serta kecermatannya menemukan hasil, sebuah pertanda khusus dapat dilihat oleh mata lelaki itu, yaitu tanda setengah lingkaran menyembul guratan mirip awan.
"Ah, ini dia..'' desisnya perlahan.
Kemudian lelaki itu menggerakan kedua tangannya dekat dengan mulut dan bahkan menutup mulutnya. Tak lama kemudian terdengarlah suara burung malam ditimbulkan oleh lelaki itu. Rupanya lelaki tadi memberikan isyarat melalui suara yang menirukan salah satu burung malam. Tiga kali berturut bunyi burung malam diperdengarkan.
Lengang, sunyi, sepi seusai bunyi tiruan burung malam diperdengarkan. Lelaki tadi malah berjongkok namun penuh kewaspadaan. Dia terus menunggu dengan harapan isyarat yang ia lontarkan dapat ditangkap dan bahkan dibalas. Dan gayung-pun bersambut, sebuah suara melengking keras laksana genta terdengar mengoyak udara malam, dan semakin lama terdengar semakin mendejat namun tenaga yang dilontarkan malah merendah.
"Cándrá ing andhap ?" sebuah suara terdengar dekat berjarak dua tombak disekitar lelaki tegap tadi.
"Katutup megá, tansah nyembul.. " sahut lelaki tegap serayu mengangguk penuh hormat.
Tak lama kemudian muncul dua lelaki dari balik semak, yang satu masih muda berpakaian kuning kecoklatan dan satunya lagi sudah memasuki usia senja dengan tangan memainkan kipas bercorak burung Merak. Ternyata dua orang itu adalah Kyai Jalasutro dan ki Lurah Arya Dipa adanya. Sementara orang yang menirukan suara burung merupakan prajurit telik sandi dibawah ki Panji Mahesa Anabrang, tiada lain ayah angkat ki Lurah Arya Dipa.
"Ki Lurah, perkenalkan aku Sandirana, salah satu prajurit sandiyuda yang dipertugaskan sebagai penghubung bagi ki Lurah dan telatah dekat kotaraja."
"Terima kasih, Sandirana. Tugasmu akan menguras tenagamu." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Itu sudah menjadi tanggungjawab tugasku, ki Lurah."
"Bagus. O, iya.. orang tua disebelahku ini Kyai Jalasutro, kawan sekaligus orang tua yang selalu membimbingku selama perjalanan ini." kata ki Lurah Arya Dipa, memperkenalkan Kyai Jalasutro kepada Sandirana.
Sandirana mengangguk hormat dan dibalas oleh Kyai Jalasutro.
"Sandirana, bagaimana keadaan kotaraja serta kanjeng Adipati Anom ?"
"Kotaraja dalam keadaan tenang, ki Lurah. Namun para prajurit selalu bersiaga tanpa menunjukan kelengahan barang sejenak." jawab Sandirana, "Sementara keamanan kanjeng Adipati Anom terus terjaga dengan adanya kesatuan Wira Tamtama dibawah ki Lurah Jaka Ungaran dan Sambi Wulung."
"Lalu tahukah kau dengan perkembangan perjalanan kanjeng Sultan ?"
"Sehari yang lalu aku mendengar dari kawan satu kesatuan, kalau pasukan yang dipimpin kanjeng Sultan sudah memasuki kadipaten Purbaya, ki Lurah." jawab Sandirana.
Ki Lurah Arya Dipa duduk bersandarkan pohon, sedangkan Kyai Jalasutro mendekati batu dan menduduki batu tersebut.
"Sandirana, tahukah kesatuan mana yang dekat dari sini ?"
Sandirana mengerutkan alisnya. Prajurit sandi itu mencoba meraba jalan pikiran yang akan dilalui oleh Lurah Wira Tantama di depannya. Tetapi sulit jika dirinya mencoba menerka. Maka ia hanya menjawab sesuai dari pertanyaan yang dipinta oleh perwira dihadapannya.
"Di barat daya, ki Rangga Priyambudi bersama seratus prajuritnya menempati kademangan Kalimangkak, ki Lurah."
"Ki Rangga Priyambudi dari kesatuan Wira Manggala yang kau maksud, Sandirana ?"
"Benar, ki Lurah. Sudah satu candra ini ki Rangga Priyambudi ditugaskan menanggulangi jebolnya bendungan di kademangan Kalimangkak." sahut Sandirana.
"Anakmas," sela Kyai Jalasutro, "Akankah pasukan itu kau gunakan untuk mengelabui para prajurit di perguruan Candra Bumi itu."
Ki Lurah Arya Dipa mengangguk perlahan, "Benar, Kyai. Namun kesatuan dari ki Rangga Priyambudi bila ke sini akan mengganggu pekerjaannya di kademangan Kalimangkak. Tentu hal itu akan membuat dirinya mendapat masalah dari pimpinan di kotaraja."
Sejenak ki Lurah Arya Dipa terdiam. Helaan napas terdengar darinya disusul senyum merekah dibibirnya. Tangannya merogoh sesuatu dari balik pakaiannya dan dari situ terlihat lencana khusus yang diterimanya dari Pangeran Adipati Anom. Sebuah lencana yang bisa digunakan untuk keadaan mendesak dan berguna mendapatkan prajurit dari berbagai kesatuan, kecuali kesatuan Patangpuluh.
"Sandirana, kutitipkan lencana ini kepadamu, demi mendapatkan kesatuan prajurit di kademangan Kalimangkak. Katakan permintaanku ini kepada ki Rangga Priyambudi." kata ki Lurah Arya Dipa sembari mengangsurkan lencana.
"Baik, ki Lurah. Sekarang juga aku bergerak tanpa harus menunggu esok hari." Sandirana menyanggupi.
"Mengapa Angger Sandirana buru - buru ? Tidakah menunggu esok hari saja ?" Kyai Jalasutro mencoba menahan.
"Terima kasih, Kyai. Sudah menjadi kebiasaanku melakukan perjalanan di malam dalam udara dingin. Dan bila melakukan perjalanan sekarang, kira - kira esok hari akan sampai di kademangan Saba dan malam harinya sudah sampai di kademangan Kalimangkak." kata Sandirana.
Kyai Jalasutro kagum akan sikap dari prajurit Sandi itu.
Setelah sekali lagi mendapat pesan dari ki Lurah Arya Dipa, berangkatlah Sandirana untuk meminta bantuan ki Rangga Priyambudi di kademangan Kalimangkak. Sementara ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro masih berada di hutan sampai hari menjelang fajar.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 16
oleh : Marzuki
"Bagus, Werdi." puji Bonggol, prajurit Jipang kepada prajurit bawahannya.
Werdi tersenyum dan hatinya mengembang penuh kebanggaan. Tak hanya itu saja, prajurit itupun mendapat jatah ransum lebih dan kepingan uang kepeng. Itu semua dikarenakan dia dapat mengelabui seseorang yang diduga prajurit telik sandi Pajang. Maka pada hari itu seakan - akan prajurit Werdi berada dalam puncak kegemilangannya. Tetapi dirinya tidak tahu kalau itu adalah awal kesengsaraan yang akan menimpa dirinya.
Dalam pada itu, prajurit Bonggol selaku atasan langsung dari prajurut Werdi, melaporkan segala sesuatunya kepada Sambu mengenai kejadian di tepi sungai yang dialami oleh prajurit Werdi dan kedua kawannya. Laporan itu membuat Sambu menganggukan kepalanya dan dari wajahnya terkesan bersungguh - sungguh. Bagi Sambu inilah saat - saat dimana dirinya harus semakin berhati - hati disegala tindakannya. Bukan hanya mewaspadai dua orang dari luar perguruan Candra Bumi, tetapi juga terhadap ancaman dalam lingkup perguruan itu sendiri, yaitu Bajang dan orang - orangnya.
"Bonggol, perintahkan kepada orang - orang kita untuk selalu mewaspadai kelompok Bajang. Kita tidak tahu persis apa yang ada dalam hatinya. Jangan sampai karena adanya kelompok pengganggu itu, membuat rencana ki Patih Mentahun hancur." kata Sambu, perlahan.
"Baik, ki Lurah."
"Dan juga, mulai sekarang tingkatkan latihan - latihan olah keprajuritan di perguruan ini."
"Sendiko, ki Lurah."
Mulai hari itu juga perubahan terjadi di perguruan Candra Bumi. Tempat yang awalnya hanya diisi oleh puluhan cantrik, berubah dengan adanya seratus lebih prajurit kadipaten Jipang. Kegiatan - kegiatan berupa pelatihan olah kanuragan, olah senjata dan olah keprajuritan kerap dilakukan atas perintah Sambu. Hal itu ternyata memancing amarah Bajang, yang mendapat limpahan sebagai pimpinan setelah kematian ki Soca Welirang.
"He Sambu !" geram Bajang dengan wajah bagai air direbus, "Apa telingamu tuli dan matamu buta ?"
Sambu hanya menghela napas saja dan masih duduk tenang.
"Di sini akulah senopatinya ! Akulah yang berhak menyuruh mereka bergerak atau tidak ! Bukannya kau !" sambung Bajang sambil menuding wajah Sambu.
"Tenanglah, Bajang. Aku hanya bertindak seperlunya saja. Bukankah jika nanti gerakan besar telah tuntas, kaulah yang akan menjadi pemimpin di tanah ini. Nama-mu akan berada dibelakang gelar Buyut atau ki Gede Candra Bumi." sahut Sambu.
Kulit dahi Bajang mengerut tetapi bibirnya mencibir, "Cih, kau hanya membual saja. Bila kau berani, ayo kutantang kau perang tanding mempertaruhkan gelar senopati di sini !"
Bagai mendapat angin, Sambu merasa senang mendapat tantangan itu, tetapi ia pura - pura mengalah sembari menenangkan Bajang. Terlihatlah kepala Sambu menggeleng dan katanya.
"Bajang, hatimu sudah tertutup lebatnya awan. Cobalah untuk menguasai keadaan ini dengan berpikir jernih. Lihatlah aku ini siapa ? Kawanmu dan juga saudara seperguruanmu."
Mendengarkan ucapan dari Sambu, malah membuat Bajang lupa daratan. Ucapan dari kawannya malah bagai minyak yang tersiram dalam titik api. Kobaran api kemarahan menjadi besar dan mengganas, membakar hati beserta pikirannya. Tanpa menunggu lagi Bajang berjalan menuruni tangga bangunan utama seraya menantang Sambu.
"Aku tunggu di halaman jika kau benar - benar jantan, Sambu !"
Senyum tipis sekilas menghiasi bibir Sambu. Ini merupakan kesempatan baginya untuk melenyapkan duri yang akan mengganggu perjuangan kadipaten Jipang. Lelaki itu kemudian mengikuti dan menerima tantangan Bajang.
Sesampai di halaman, rupanya belasan prajurit dan cantrik terpancing mendekat karena ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan tak memerlukan waktu panjang, berita akan adanya adu tanding sudah terdengar kesegenap prajurit maupun cantrik. Maka semakin ramailah penghuni perguruan Candra Bumi di halaman. Selain itu juga mulai terlihat dua kelompok saling bergerombol menjagokan jagoan masing - masing, tetapi yang paling banyak adalah kelompok yang menjagokan Sambu.
Tiada kalangan yang khusus dibuat untuk dua petarung, melainkan hanya tempat berupa halaman berlandaskan tanah semata disamping jalur batu yang menghubungkan bangunan utama dengan pintu regol. Walau begitu kalangan itu sudah lebih dari cukup memadai dikarenakan kejadian itu sebelumnya tak disangka - sangka. Pergulatanan antara Bajang dan Sambu sungguh menggemparkan seisi perguruan Candra Bumi yang kini kebanyakan diisi oleh prajurit Jipang Panolan.
Terlihat Bajang sudah memasang kuda - kuda dengan mantap dan orang itu yakin akan kemampuan dirinya akan dapat mengungguli lawannya. Sedangkan Sambu tak luput dari kesigapannya dalam mempersiapkan kemampuannya, demi merubuhkan tembok tebal keangkuhan saudara seperguruannya. Dua saudara seperguruan sudah bersiap masing - masing. Desir angin terasa menambah akan ketegangan di halaman yang sebentar lagi diwarnai gelegak adu kanuragan.
"Hiiiaaat... !!!" teriak Bajang, mengawali gerakannya.
Loncatan kecil dibarengi sapuan kaki menerjang kepala Sambu oleh Bajang. Akan tetapi serangan itu tak terlalu berbahaya bagi Sambu, yang dapat mengikuti sapuan dari lawan, dan ia hanya merendahkan tubuhnya agar tak terhantam ganasnya kaki Bajang. Namun Bajang tak ingin melepas lawannya dengan mudah, begitu kedua kaki sudah menapak di tanah, putaran cepat beserta pukulan mengarah tubuh lawannya. Dan sekali lagi Sambu-pun bisa mengelak, tetapi kali ini dirinya tak membiarkan lawannya terus memojokannya, oleh karena itu tangannya meluncur deras ke pinggang lawan.
Adu keprigelan olah kanuragan-pun terus berlanjut dari satu gerakan menuju gerakan selanjutnya, namun kali ini bukanlah latihan melainkan perang tanding sesungguhnya. Dari unsur gerak yang diterapkan, keduanya memiliki unsur sama dari satu sumber ilmu yaitu perguruan Candra Bumi. Sepak terjang keduanya tak tanggung - tanggung, keduanya adalah murid utama dari pendiri perguruan Candra Bumi itu sendiri dan langsung mendapat gemblengan ki Ageng Candra Bumi. Maka tak heran jika apa yang terjadi merupakan benturan ilmu bukan dari golongan rendah. Itu terbukti bagaimana desir angin mulai menampakan getar tajam apabila mengenai kulit.
Malam semakin menukik ke dalam kegelapan, tetapi itu bukanlah penghalang bagi Sambu ataupun Bajang untuk melakukan adu kadigdayaan antara mereka. Mata dua orang itu sudah terlatih dalam segala medan, karenanya sangatlah teliti dan tajam mata mereka tatkala memperhatikan gerakan lawannya. Disertai olah gerak dan juga olah pikir bisa dijadikan tumpuan atau dasar melakukan perlawanan dan juga sikap bertahan jikalau tubuh dalam ancaman. Inilah sebuah titik dasar dari seorang ahli kanuragan yang dapat membaca situasi walau seribu perubahan dari lawan akan dapat menanggulangi dengan menekan sedikit luka yang mendera tubuh mereka. Meskipun manusia itu memiliki ilmu yang sama, tetapi bila antara olah pikir dan gerak tak seirama, apalagi hati selalu diliputi merahnya api kemarahan, tak pelak itu akan bisa menentukan hasil akhir yang merugikan bagi seseorang itu. Karenanya dalam setiap mempelajari sebuah ilmu, Ajar atau seorang guru selalu mewanti - wanti agar sang murid mampu mengendapkan isi hati dan menyelaraskan antara hati, pikiran dan gerak.
Gambaran diatas semakin jelas terurai dari hati Bajang yang tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Akibatnya tandangnya terlihat kasar dan hanya mengandalkan kekuatan wadah semata. Hal itu sangatlah merugikan dirinya yang tak menyadari kalau sebenarnya lawan telah memanfaatkan kecerobohannya dengan berpura - pura tertekan. Sehingga tindakan Bajang semakin tajam dalam menerapkan kemampuannya, dan membuat tenaganya semakin terkuras dan sia - sia. Terlihatlah betapa keringat mulai menyeruak deras membasahi pakaiannya dan napasnya mulai kembang kempis.
"Jahanam..... !" umpat Bajang dengan kasar, saat dirinya terseret oleh tenaganya sendiri dan sebuah tendangan mendarat di punggungnya.
Untung saja orang itu cepat meloncat menjauh, kalau tidak sekali lagi tubuhnya akan tersodok oleh siku Sambu.
"Kita sudahi saja, Bajang."
"Cih.. Jangan besar kepala kau Sambu !" teriak Bajang, "Sekarang aku akan bersungguh - sungguh !"
"Hahaha... Lalu itu tadi kau sedang apa, Bajang ? Menari ?" goda Sambu sambil sedekap penuh ketenangan.
Ibarat api sudah membara jika ada minyak tertuang ke dalam api, maka api itu tentu semakin besar nyalanya. Sama halnya dengan Bajang yang sudah terhina karena terkena hantaman kaki lawan, malah kini mendapat ejekan menyakitkan dari lawannya. Langsung saja luapan kemarahan sudah tak tertampung lagi dan jebol berupa upaya serangan mematikan lewat tajamnya pedang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 17
oleh : Marzuki
Bilah pedang Bajang menusuk deras mengarah ulu hati lawannya. Tetapi lawannya tidak ingin tubuhnya tertembus tajamnya pedang, tubuh itu dengan cepat mengelak menghindar ke samping kanan. Namun pedang ditangan Bajang kembali mengejar kemanapun tubuh lawannya berada. Terjadilah perkelahian seru melebihi kejadian yang pertama.
Suasana sekarang dibayang - bayangi oleh maut. Dewa kematian sudah siap mencabut salah seorang yang lengah dalam pertempuran di halaman perguruan Candra Bumi di malam hari itu. Sedikit saja kelengahan timbul, kerugian akan menyergap dengan taruhan nyawa.
Tak hanya dua orang yang berkelahi, di luar kalangan rasa was - was menyelimuti mereka yang menjagokan masing - masing pemimpinnya. Bila salah satu pemimpinnya kalah, tentu sebagai pengikut akan mendapat celaka juga. Karenanya mereka berharap jagoan atau pemimpin mereka dapat mengalahkan lawannya. Itulah harapan dihati cantrik dan prajurit yang menjadi pengikut Bajang maupun Sambu.
Sekali lagi ujung pedang hampir saja menyayat bahu Sambu jikalau orang itu tidak lekas merebahkan dirinya ke tanah dan berguling menjauhi lawan. Setelah melenting berdiri kembali, Sambu sudah menggenggam sebilah keris tanpa luk. Ini pusaka yang sangat dia handalkan sebagai sipat kandel dan juga warisan dari orang tuanya. Keris itu dinamakan kyai Abrit Mega, buatan empu pesisir utara jawa.
Sejenak Bajang termangu menyaksikan pamor dari pusaka lawannya. Nyala warna merah memancar jelas di tengah malam. Nyalinya yang menciut bergegas dia kuatkan dengan menggeram bak serugala marah. Pedangnya semakin dipererat dalam genggaman tangannya. Bukan hanya itu saja, ilmunya semakin memasuki tingkat tinggi dan disalurkan menuju pedangnya. Hebat juga ternyata Bajang, lambaran aji itu sudah merasuk menyatu dengan pedangnya, warna kuning samar - samar terlihat.
Tak lama kemudian dua saudara seperguruan itu saling menyerang satu dengan lainnya. Denting senjata terdengar dibarengi percik - percik kilatan api mewarnai perkelahian demi mendapatkan orang berpengaruh di perguruan itu nantinya. Sayatan dan juga tusukan terus terjadi membuat siapapun orangnya harus waspada. Bila lengah sedikit saja, tubuh yang terdiri dari gumpalan daging akan tertembus menjadikan luka dan darah tentu merembes dari luka tersebut. Oleh karena itulah, bagai sudah berjanji keduanya meningkatkan tataran ilmu mereka selapis demi selapis bertambah tinggi.
Hingga akhirnya ilmu cadangan sudah mulai dirambah, perbendaharaan ilmu yang pernah diserap mulai dibuka satu persatu. Tak ayal ilmu yang awalnya bersumber dari satu ajaran, terlihat berbeda karena adanya perkembangan dalam beberapa tahun ini.
Bajang seorang yang berwatak keras memilih memperdalam kekuatan wadahnya dan juga sekali dua kali mendapatkan ilmu dari kawan - kawannya dari bang wetan, khususnya dari pulau Madura. Betapa kemampuannya dibidang kanuragan telah maju pesat melalui kerasnya pendadaran yang pernah ia ikuti. Pedang ditangannya bagai belasan senjata siap merobek daging lawannya.
Di sisi yang lain, Sambu juga tak dapat dipandang sebelah mata. Lelaki ini bukanlah seorang pemalas yang puas akan ilmu yang selama ini sudah ia serap dari perguruan Candra Bumi. Setiap waktu senggangnya lelaki ini selalu memasuki sanggar demi meningkatkan ilmunya dan juga menambah pengetahuan ilmu kanuragan dari kawan - kawannya. Sehingga keuletannya membuahkan hasil berupa tata gerak - tata gerak penuh kerumitan. Ditambah lagi lelaku - lelaku sulit dikerjakan demi mendapatkan ketajaman olah pikir dan olah kebatinan.
"Hebat keduanya.. " bisik seorang prajurit.
"Hm.. Tadi aku kira setelah ki Lurah Bajang dapat dibuat kesakitan saat sebelum memakai senjata, akan mudah dipojokan. Nyatanya kini keduanya benar - benar ngedab - ngedabi." sahut kawannya.
Suatu kali keris kyai Abrit Mega meluncur deras, bersamaan dengan itu pedang Bajang juga menjulur lurus, dan...
"Byaaarrr....!"
Letupan api saat dua senjata bertemu membuat dua orang yang memegang senjata terdorong mundur. Hentakan tenaga tadi membuat tangan masing - masing kesakitan dan hampir melepaskan senjata keduanya. Beruntung keduanya masih dapat mempertahankan dan bersikap hati - hati.
Malam sudah memasuki dini hari. Keringat-pun mulai membasahi tubuh dan pakaian masing - masing. Tiada jalan lagi bagi keduanya selain menggunakan ilmu pamungkas yang sangat jarang diperlihatkan. Ilmu satu - satunya yang dipercaya dapat membuat lawan - lawannya binasa. Dan keduanya mulai menyarungkan senjata mereka, kemudian menyiapkan seluruh jiwani mereka untuk mengungkap ilmu atau Aji Candra Bumi.
Bumi seolah berderak menggetarkan halaman daripada perguruan Candra Bumi. Dua manusia dengan sikap sempurna siap menguak ilmu dari inti tubuhnya. Tangan yang awalnya menguncup diatas kepala mulai turun tepat di depan dada, kaki kanan menekuk dan kaki kiri mundur, selanjutnya tangan yang tadi menguncup di depan dada terlihat bersinar terang. Tak lama kemudian diawali terurainya tangan berlanjut tangan tersebut menjulur ke depan, hentakan keras terjadi sangat hebat.
"Byaaaaaar....!"
Tanah bagai terhantam batu dari langit dan menjadikan tempat itu terguncang keras. Debu berterbangan tak beraturan membuat pemandangan semakin gelap. Cantrik ataupun prajurit menjadi kacau balau terhempas jatuh tak beraturan. Sementara nasib dari dua sumber ilmu belum diketahui, apakah hidup atau lumat termakan aji Candra Bumi. Suasana masih belum jelas karena debu masih berterbangan.
Setelah sekian lama, debu mulai luruh jatuh ke tanah. Kepekatan malam sedikit - demi sedikit mulai terang kembali disinari nyala penerangan sekitar halaman. Sesosok tubuh terlihat berdiri sembari menekan dadanya, berupaya mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Sangat jelas bagaimana wajahnya pucat dengan darah merembes dari sela - sela bibirnya. Dan orang itu tiada lain, Sambu.
Sorot mata Sambu yang mengarah dimana tadi lawannya berada, menumbuk tubuh lelaki yang rebah di tanah. Bergegas Sambu mencoba mendekati tubuh itu, dan setelah diperiksa, tubuh Bajang sudah tak bernyawa lagi. Hal itu menimbulkan dua tanggapan dalam diri Sambu, yaitu antara lega dan nelangsa. Dikatakan lega karena duri yang selama ini membayangi perjuangan Jipang sudah binasa, dan bagaimana tidak nelangsa? Bajang adalah saudara seperguruannya dan bersama - sama memasuki keprajuritan serta ikut andil membunuh gurunya, ki Ageng Candra Bumi.
"Maafkan aku." desis Sambu, lirih.
Tak berlarut - larut Sambu dalam kesedihan. Sikapnya sudah jelas dan mantab demi lancarnya tigas yang ia emban dari Patih Mentahun. Maka, iapun berdiri tegap dan berseru lantang sembari tangannya memegang lencana.
"He, kalian semua, yang merasa bersungguh - sungguh mengabdi kepada sinuwun kanjeng Adipati Arya Penangsang, lihatlah dengan jelas lencana ini !"
Prajurit dan cantrik yang sudah berdiri, tertegun menyaksikan lencana yang diperlihatkan oleh Sambu. Jelas sudah itu adalah lencana kepatihan Kadipaten Jipang bercirikan macan dalam lingkaran. Nyatalah kalau Sambu adalah orang yang memang harus dijadikan senopati mewakili Jipang Panolan di telatah itu. Dan sedikit banyak, mereka mendengar kalau sebenarnya sejak awal kalau Sambu-lah yang ditunjuk menjadi Senopati menggantikan ki Soca Welirang.
"Jadi, mulai hari ini, akulah Senopati di sini." kata Sambu, "Siapa yang menentang akan mengalami nasib sama seperti Bajang. Kalian mengerti ?!"
"Sendiko, ki Lurah." sahut semua orang tanpa terkecuali.
Dan malam itu-pun berakhir dengan tewasnya Bajang. Walau begitu, mayat Bajang telah diperlakukan wajar dan dirawat seperti pada umumnya. Pembagian tugas untuk menyelenggarakan mayat Bajang dilakukan langsung pada dini hari itu juga, yaitu dikubur di tanah dekat perguruan Candra Bumi yang tak jauh dari situ.
Mulai hari itu, Sambu-lah yang menjadi senopati membawahi seratus prajurit Jipang, serta cantrik Candra Bumi. Untuk itu, pada esok harinya dua prajurit telah diutus untuk pergi ke pusat kadipaten sebagai utusan untuk melaporkan situasi di perguruan Candra Bumi. Dengan menggunakan kuda tegar, dua prajurit mulai memacu kuda meninggalkan regol perguruan Candra Bumi.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 18
oleh : Marzuki
Adanya seorang prajurit telik sandi tiba di kademangan Kalimangkak, membuat ki Panji Priyambudi bertanya - tanya. Ada apakah gerangan kedatangan prajurit telik sandi itu ? Begitulah pikir Panji dari kesatuan Wira Manggala itu. Karenanya agar dirinya mendapatkan jawaban yang tepat, ki Panji bergegas menemui prajurit telik sandi yang ditempatkan di kademangan, karena saat itu ki Panji dan beberapa prajuritnya berada di atas tanggul dekat bendungan yang baru saja diselesaikan.
Sesampai di kademangan, seorang pengawal kademangan sudah menyambutnya dan memberitahukan kalau ki Demang Kalimangkak sudah menantinya di pendopo kademangan. Bergegaslah ki Panji menuju pendopo, dan disitu ki Demang sedang duduk dihadap seseorang lelaki bercirikan prajurit telik sandi Demak. Yakinlah ki Panji kalau orang yang duduk menghadap ki Demang adalah prajurit Telik Sandi.
"Ki Panji, tuan mendapatkan tamu." sambut ki Demang.
Ki Panji Priyambudi mengiyakan dengan ramah, setelah itu menyapa prajurit telik sandi dan menanyakan maksud kedatangannya. Setelah membalas sapaan dari ki Panji serta memperkenalkan jatidirinya, telik sandi itu melaporkan kalau dirinya bertugas sebagai penghubung antara kotaraja dengan seorang Lurah prajurit. Uraian dari telik sandi membuat ki Panji mengernyitkan alisnya, tetapi ia tak bermaksud untuk memotong penuturan telik sandi. Semakin lama mengertilah ki Panji akan maksud dari prajurit Sandirana menemuinya.
"Begitulah, ki Panji. Dan ki Lurah Arya Dipa menitipkan lencana ini." kata Sandirana, sembari menunjukan lencana yang ia terima dari ki Lurah Arya Dipa.
Raut wajah ki Panji Priyambudi nampak berubah saat memperhatikan lencana itu. Kepalanya mengangguk dan terkesan sungguh - sungguh mendapatkan permintaan dari seorang Lurah Prajurit lewat prajurit Sandi. Tapi satu hal yang membuat ki Panji agak bingung, yaitu bagaimana bisa seorang prajurit berpangkat Lurah mampu mendapatkan lencana kesultanan Demak. Karena lencana tersebut tidaklah sembarang orang dapat memakaianya. Oleh sebab itu ki Panji ingin mengetahui siapa sebenarnya Lurah Arya Dipa.
"Prajurit Sandirana, tahukah siapa sebenarnya Lurah Arya Dipa itu ?"
Sandirana beringsut dari tempat duduknya, sejenak prajurit telik sandi itu mengumpulkan ingatan mengenai jatidiri Lurah Arya Dipa yang pernah ia tahu. Barulah kemudian katanya.
"Ki Panji, menurut pengenalanku, ki Lurah Arya Dipa merupakan putra angkat ki Panji Mahesa Anabrang senopati pasukan telik sandi. Selain itu, ki Lurah Arya Dipa juga memiliki kedekatan dengan kanjeng Adipati Anom dan juga Adipati Pajang."
"He... " ki Panji Priyambudi terkejut atas kebenaran jatidiri seorang Lurah yang diceritakan.
"Jadi begitu," desis ki Panji perlahan, "Sepertinya dia memiliki keberuntungan diusia semuda itu."
Kemudian ki Panji berkata kepada ki Demang Kalimangkak, "Ki Demang, kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh prajurit Sandirana mengenai tugas yang diembannya. Syukurlah tugas memperbaiki bendungan terselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, besok kami akan meninggalkan kademangan ini."
"Sebenarnya jika aku tak mendengar akan tugas yang sudah menanti ki Panji, aku berharap dapat menahan kepergian ki Panji dan seluruh prajurit untuk beberapa hari, agar dapat ikut meramaikan pagelaran wayang purwa, ki Panji." kata ki Demang.
"Hahaha... " ki Panji tertawa lepas, "Sayang sekali kali ini aku harus melewatkan pagelan langen budaya itu, ki Demang. Mungkin jika tugas itu sudah selesai dan ada waktu lengang, barulah aku dapat menontonnya. Karena menurut yang aku dengar, ki Mantingan yang menjadi dalangnya."
"Iya, ki Panji."
Di pendopo masih berlangsung pembicaraan yang tak lagi menyinggung tugas keprajuritan, melainkan pembicaraan ringan saja. Makanan sekedarnya juga dihidangkan karena hari sudah memasuki petang waktunya mengisi kekosongan perut. Sandirana-pun ikut dipersilahkan menyantap jamuan dari kademangan Kalimangkak, setelah usai Sandirana ditempatkan di gandok kademangan. Sementara ki Panji Priyambudi bersama seratus prajuritnya berada di rumah sebelah kademangan, sebagai tempat tinggal selama berada di kademangan Kalimangkak.
Petang merangkak seperti waktu - waktu yang semestinya, mengikuti aturan dari Sang Pencipta sebagai pergantian antara siang dan malam. Dan malampun berlalu tanpa adanya gangguan, diawali adanya cahaya fajar dari langit timur. Pagi cerah diwarnai kokok ayam jantan dan juga kicau burung, menambah betapa indahnya suasana di pagi hari itu. Perlahan namun pasti, roda kehidupan berjalan secara wajar. Petani mulai pergi mengerjakan sawah atau ladang dengan menanami tanaman yang cocok di musim itu. Para pedagang dengan dagangan yang dijajakan telah meramaikan pasar - pasar. Denting keras terdengar dari tempat pande besi yang sudah mulai menempa. Dan masih banyak orang berlalu lalang dengan tugas atau pekerjaan mereka masing - masing.
Bersamaan dengan itu, ki Panji Priyambudi mengumpulkan seratus prajuritnya, karena hari itu juga tugas di kademangan Kalimangkak berakhir, dan tugas baru sudah menunggu. Tapi sebelum itu ki Panji Priyambudi akan minta diri meninggalkan kademangan yang telah ditinggalinya selama satu candra itu. Dan rupanya malah ki Demang dan beberapa Bebahu-lah yang menemui ki Panji untuk menghantarkan kepergiannya. Rasa haru tertuang jelas, karena bagaimanapun selama di kademangan itu antara penghuni kademangan dan prajurit Demak dalam memperbaiki bendungan sudah terjalin ikatan.
Setelah memberikan beberapa patah, ki Panji Priyambudi memimpin prajuritnya meninggalkan regol kademangan yang diiringi lambaian tangan dari penghuni kademangan Kalimangkak. Iringian itu semakin lama semakin jauh, hilang dibalik kelokan jalan dan selanjutnya mengarah ke perguruan Candra Bumi. Tanah yang dilalui lama kelamaan tidaklah serata dan selebar tanah di sekitar kademangan Kalimangkak, hal itu membuat iringan tak dapat berjalan cepat. Walau begitu seratus prajurit itu sudah terlatih sehingga tak membuat mereka mengeluh.
"Ki Panji, sebaiknya kita beristirahat disini." kata prajurit Sandirana, setelah menyaksikan prajurit dibelakan sudah kepayahan.
Ki Panji Priyambudi menarik tali kekang kudanya dan memutar haluan untuk sekedar melihat keadaan prajuritnya. Dia-pun akhirnya menyetujui usulan prajurit Sandirana yang juga berkuda di sampingnya. Maka diperintahkan prajuritnya untuk melepas lelah di ujung bulak yang jauhnya puluhan tombak dari kademangan Kalimangkak. Pada saat itu, matahari tepat berada dipuncaknya, sehingga sinar teriknya membuat panas tak terkira, untunglah diujung bulak masih ditumbuhi pohon - pohon rindang untuk tempat berteduh. Selain itu, tak jauh dari tempat mereka melepas lelah, terdapat parit yang teraliri air jernih.
Seiring berjalannya sang surya yang sudah menggelincir dan terik sinarnya semakin mereda, serta dirasa pasukan Demak kembali dalam keadaan segar, ki Panji Priyambudi memerintahkan agar perjalanan segera dilanjutkan. Dan iringan itu mulai beranjak pergi, tentunya perjalanan itu sangatlah memerlukan waktu yang panjang. Pada hari menjelang petang ternyata iringan pasukan ki Panji baru memasuki kademangan di sisi barat-daya telatah perguruan Candra Bumi, dan harus sekali lagi bermalam di kademangan itu. Baru keesokan harinya ki Panji dan seratus prajuritnya, serta prajurit Sandirana melanjutkan sisa perjalanan.
Di tempat berbeda, ki Lurah Arya Dipa telah kedatangan seorang prajurit telik sandi dari kotaraja. Warta gembira dari petugas itu membuatnya gembira, yaitu warta berupa lahirnya buah hatinya dengan istrinya.
"Selamat, Anakmas. Kau mendapat karunia berupa putri yang tentu cantik seperti ibunya." kata Kyai Jalasutro.
"Terima kasih, Kyai." ucap ki Lurah Arya Dipa, penuh kegembiraan.
"Ki Lurah, kanjeng Adipati Anom memohon maaf karena diwaktu seharusnya ki Lurah menyaksikan kehadiran si jabang bayi, harus berada di telatah seperti ini." kata prajurit penghubung.
"He.. Sebegitukah sikap kanjeng Adipati Anom ? Oh, tolong sampaikan kepada kanjeng Adipati Anom, bahwa beliau tidak usah berlaku begitu." kata ki Lurah Arya Dipa.
"Baik, ki Lurah. Kalau begitu aku pamit dahulu. Adakah ki Lurah menitipkan pesan yang aku sampaikan kepada keluarga ki Lurah di kotaraja ?" kata petugas penghubung.
"Baiklah. Sampaikan permintaan maafku kepada istri dan eyang Jambul Kuning. Aku hanya menitipkan sebuah nama bagi putriku, yaitu Dyah Niken Sari."
"Hm... Nama yang indah, Anakmas." Kyai Jalasutro mengungkapkan persetujuannya.
Sejenak kemudian petugas penghubung itu mulai beranjak meninggalkan ki Lurah Arya Dipa dan Kyai Jalasutro.
Sepeninggal prajurit tadi, ki Lurah Arya Dipa masih membayangkan buah hati yang baru lahir tanpa kehadirannya. Tentu saja rasa menyesal karena tidak menunggui istrinya saat - saat melahirkan, begitu menyedihkan, tetapi keadaan memang tak memungkin. Dirinya sadar akan tugas yang diemban adalah tugas penting menyangkut keutuhan dan keamanan Demak Bintoro. Tiada jalan yang pantas kecuali meletakan semua itu kepada alur tuntunan Yang Maha Kuasa.
Dirasa hatinya sudah mantap dan tidak terseret arus perasaannya, ki Lurah Arya Dipa memusatkan perhatiannya dalam melakukan tugasnya. Perguruan Candra Bumi dalam hanya semalam telah terjadi kemelut di dalamnya. Sedikit banyak kedua orang itu sudah mendengar akan apa yang terjadi dua malam yang lalu, yaitu kejadian mengejutkan adanya perang tanding antara dua pemimpin yang merebutkan senopati di perguruan Candra Bumi. Meskipun Sambu berusaha menutupi kejadian tewasnya Bajang, tetapi mulut pengikutnya sulit untuk membisu dan mempergunjingkannya yang mengakibatkan kejadian tersebut merembes keluar dari pagar perguruan yang kini telah dijadikan barak prajurit.
"Ini semakin membuktikan gerakan mereka, Kyai." kata ki Lurah Arya Dipa, "Dan orang - orang yang sebenarnya sebagai penghuni perguruan Candra Bumi, hampir - hampir tak tersisa, kecuali Lurah Sambu."
"Apakah pembicaraan yang kita dengar kemarin tidaklah hanya perkataan kosong saja, Anakmas ? Seperti saat tiga prajurit yang sempat tertangkap di tepian kali ?"
Lurah prajurit dari Wira Tamtama itu, menggeleng, "Aku rasa tidak, Kyai. Mereka berkata sungguh - sungguh."
"Lalu bagaimana selanjutnya ?"
Belum lagi ki Lurah Arya Dipa menjawab, terdengar sebuah isyarat menirukan suara burung. Ki Lurah Arya Dipa membalas isyarat seperti yang disepakati. Tak menunggu waktu lama, dari balik rimbunnya semak muncul tiga orang yang salah satunya sudah dikenali oleh ki Lurah Arya Dipa. Yaitu prajurit telik sandi Sandirana dan dibelakangnya seorang lelaki berpakaian prajurit bercirikan pakaian seorang Panji serta pengawalnya.
"Prajurit Sandirana," sambut ki Lurah Arya Dipa, dan memperhatikan orang yang bersama prajurit itu, "Selamat datang, ki Panji Priyambudi."
Terlihatlah ki Lurah Arya Dipa bersikap selayaknya sebagai prajurit dua tingkat dibawah ki Panji Priyambudi, dan menaruh hormat dengan sungguh - sungguh. Hal itu membuat kagum ki Panji Priyambudi atas sikap yang ditunjukan oleh ki Lurah Arya Dipa, meskipun sangat dekat dengan kanjeng Adipati Anom dan juga Adipati Hadiwijaya di Pajang, tak membuatnya angkuh. Dan pembicaraan singkat mengenai tugas rahasia yang diemban ki Lurah Arya Dipa disampaikan kepada ki Panji Priyambudi, guna ikut membantunya demi mulusnya jalan yang dilalui, oleh karena itulah mengenai keadaan yang terjadi di telatah perguruan Candra Bumi-pun tak lepas juga disampaikan kepada ki Panji Priyambudi.
"Upaya pertama ki Panji dan aku disertai lima prajurit akan memasuki perguruan itu dengan baik - baik. Yaitu dalam tugas menanyakan maksud daripada pasukan Jipang di perguruan itu." ki Lurah Arya Dipa mencoba menerangkan jalannya siasatnya.
"Tunggu dulu, ki Lurah. Perguruan Candra Bumi berada diatas tanah yang masih telatah Jipang. Itu akan membuat meraka dapat menyalahkan wewenang kita bila ikut campur mengenai ketata-prajan mereka." sela ki Panji Priyambudi.
"Begini, ki Panji. Bukankah prajurit Sandirana telah menunjukan lencana yang aku titipkan ?"
"Oh.. Iya, ki Lurah. Prajurit Sandirana sudah menunjukan lencana itu." jawab ki Panji Priyambudi, ingat akan lencana khusus milik ki Lurah Arya Dipa, "Jadi.... "
"Benar, ki Panji. Lencana khusus itu akan berlaku keseluruh kadipaten dibawah kekuasaan Demak." ki Lurah Arya Dipa meneruskan apa yang akan dikatakan oleh ki Panji.
Kemudian dengan terperinci ki Lurah Arya Dipa mengungkapkan jalannya tindakan yang akan dilakukan oleh ki Panji Priyambudi. Yaitu seperti yang dikatakan diawal, ki Panji Priyambudi dan ki Lurah Arya Dipa, diiringi lima prajurit akan memasuki perguruan Candra Bumi, dengan maksud mempertanyakan keberadaan seratus prajurit di perguruan Candra Bumi. Nantinya jika benar apa yang diperhitungkan oleh ki Lurah Arya Dipa terjadi, yaitu prajurit Jipang mulai melakukan tindakan kekerasan, pasukan Demak yang berada diluar lingkup perguruan langsung bergerak mengepung perguruan tersebut. Dan bersamaan terjadinya kekisruhan, Kyai Jalasutro harus muncul bersama sahabatnya, yang merupakan kunci utama memojokan senopati Jipang Panolan. Selain itu, perhitungan yang lain-pun juga dipersiapkan bila adanya ketidak-samaan perhitungan awal.
"Baiklah ki Lurah, aku setuju dengan apa yang telah kau uraikan tadi. Di sini aku hanya sekedar membatumu saja, karena pada pokoknya, kaulah yang nantinya bertanggungjawab." ujar ki Panji Priyambudi.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 19
oleh : Marzuki
Seorang prajurit Jipang tergopoh - gopoh akan menghadap senopati Lurah Sambu, tiada lain hal itu karena di depan regol perguruan Cadra Bumi yang kini dijadikan barak bagi prajurit Jipang, telah kedatangan enam prajurit Demak dengan maksud menemui senopati pimpinan prajurit Jipang yang ada di situ. Tetapi saat menaiki tlundak balai utama, prajurit itu hampir menubruk kepala kelompok prajurit, Bonggol. Dan mengalami caci maki membuat prajurit tadi gemetar dan bertambah gelisah.
"Edan, matamu kau taruh mana, he !" bentak Bonggol, yang melotot sambil menuding prajurit tadi.
"Ampun, kakang Bonggol. Ketiwasan.... " ucap prajurit itu, dengan wajah pucat karena takut.
"He ! Kau itu prajurit. Walau ada musuh menyerang harusnya kau bisa menguasai keadaan, tidak sembrono seperti ini !" seru Bonggol, "Coba katakan apa yang sebenarnya terjadi."
Prajurit itu mencoba menenangkan diri, dan katanya kemudian, "Kakang, di depan regol ada prajurit Demak."
"Oh... " hanya itu tanggapan dari Bonggol, "Persilahkan mereka masuk. Aku akan memberitahukan kedatangan mereka kepada ki Lurah."
"Baik, kakang."
Prajurit itu lantas berlari menuruni tlundak dan melalui halaman depan mengarah ke pintu regol. Sesampainya pintu regol, prajurit tadi mempersilahkan iringan prajurit Demak dibawah pimpinan ki Panji Priyambudi. Dibawanya iringan tamu itu ke dalam lingkungan barak dan setelah ke-enam prajurit Demak turun dari kuda - kuda mereka, dihantarkanlah menuju balai utama. Rupanya disana sudah ada Sambu dengan beberapa prajurit.
"Selamat datang, tuan. Aku Sambu, Lurah prajurit dan juga senopati yang bertanggung-jawab atas seluruh pasukan di barak ini." Sambu telah memperkenalkan dirinya.
Menanggapi itu, ki Panji Priyambudi terlihat ramah dan kemudian memperkenalkan dirinya, "Terima kasih atas sambutannya, ki Lurah. Aku Panji Priyambudi dari kesatuan Wira Manggala Demak dan disampingku ini ki Lurah Arya Dipa dari Wira Tamtama."
Dipandangilah Lurah Arya Dipa oleh Lurah Sambu, orang itu mengernyitkan alisnya karena merasa pernah melihat atau bertemu dengan Lurah Arya Dipa. Tapi entah mengapa sangat sulit mengingat dimana dirinya pernah bertemu. Lantas Lurah Sambu mencoba menghalau rasa curiganya itu dan menganggap angin berlalu saja. Selanjutnya Lurah itu mempersilahkan tamunya duduk beralaskan tikar mendong.
Sejenak kemudian terdengar ki Panji Priyambudi mengatakan perihal maksud kedatangannya ke barak yang dahulunya adalah perguruan Candra Bumi itu. Dan Lurah Sambu mendengarkan dengan sungguh - sungguh tanpa melewatkan setiap kata yang meluncur dari Panji Priyambudi. Awalnya cukup tenang dan terkesan hanyalah pembicaraan sepele saja, tapi lambat laun suasana mulai hangat memperlihatkan kesan - kesan adanya pertentangan. Dan itu memang diharapkan oleh Lurah Sambu yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya berdasarkan perintah dari senopatinya yang berada di Jipang. Tetapi dari semuanya itu, Lurah Sambu tidak tahu kalau siasat yang sudah dipersiapkan oleh pihak Jipang sudah diketahui oleh Lurah Arya Dipa.
"Maaf, ki Panji. Wewenang apa yang membuat pihak Demak ikut campur akan tindakan nayaka praja Jipang yang jelas - jelas bertindak ditelatahnya sendiri ?" kata Lurah Sambu, "Atau jangan - jangan ki Panji saat ini bertindak atas nama pribadi agar mendapat pujian ?"
"Hahaha... Ki Lurah terlalu berlebihan dalam bersenda-gurau. Mana mungkin aku yang hanya seorang Panji berlaku sembrono seperti ini hanya ingin mencari pujian belaka. Malah - malah jika aku salah melangkah, kepalaku inilah yang menjadi taruhannya atas kesalahanku." sahut ki Panji Priyambudi, masih dalam sikap wajar.
"Jika begitu lebih baik ki Panji tidak usah mempertanyakan keberadaan pasukan kami. Itu akan menempatkan diri ki Panji ditempat yang lapang."
"Hm... " desuh ki Panji, "Jadi inikah sikap dari senopati pasukan pangatus Yuda Murda ?"
Nampak kerut dalam menghiasi dahi Lurah Sambu. Dirinya tak mengira kalau pihak Demak mengetahui adanya kesatuannya itu. Yang dipikirkan oleh Lurah Sambu hanyalah menempatkan kesatuannya di perguruan Candra Bumi tanpa memperkenalkan dan memasang umbul dari kesatuannya, sebagai pengalihan saja. Tapi kini malah pihak Demak mengetahui kesatuan khususnya yang juga disamarkan agar tak diketahui oleh pihak Demak.
"He... Apa maksud ki Panji menyebut kesatuan Yuda Murda ? Dan tuan arahkan kemana pertanyaan tadi ?"
Ki Panji tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Lurah Sambu, melainkan menoleh ke-arah Lurah Arya Dipa yang duduk di sebelahnya, dan katanya, "Silahkan ki Lurah Arya Dipa terangkan.
Sebelum menerangkan, Lurah Arya Dipa merapikan kain panjangnya dan kemudian terdengarlah suaranya, "Begini, ki Lurah Sambu. Mengenai pembentukan pengawal khusus hingga kesatuan - kesatuan prajurit di seluruh telatah Demak, yang berarti juga mencangkup kadipaten, tanah perdikan dan kademangan, itu semuanya dibawah tanggung-jawab Tumenggung Wira Tamtama. Karenanya jika salah satu kadipaten, tanah perdikan atau kademangan membentuk kesatuan prajurit atau pengawal, hendaknya diketahui dan mendapat persetujuan dari Tumenggung Wira Tamtama."
Sejenak Lurah Arya Dipa berhenti demi memperhatikam kesan yang ditimbulkan wajah Lurah Sambu. Tetapi Lurah Sambu berusaha menyamarkan rona diwajahnya, dan malah angkat suara.
"Lalu apa hubungannya semua itu dengan kami dan kesatuan yang terdengar ngayawara tadi ?" Lurah Sambu berpura - pura tak mengerti.
"Ki Lurah, Jipang yang merupakan salah satu kadipaten dibawah pemerintahan Demak hendaknya terus terang manakala menjalankan tugas - tugasnya tanpa terkecuali. Namun rupanya beberapa pemimpinnya berlaku kurang pada tempatnya.. "
"He, ki Lurah ! Jaga omonganmu !" seru Lurah Sambu, memotong uraian daripada Lurah Arya Dipa.
"Hm.. Tenanglah ki Lurah Sambu. Aku belum menyelesaikan kata - kataku." kata Lurah Arya Dipa, "Bukankah pada awalnya pembentukan kesatuan Yuda Murda merupakan usulan dari Tumenggung Harya Kumara dan mendapat dukungan sepenuhnya dari Tumenggung Sardulo ?"
Wajah Lurah Sambu seketika berubah. Orang itu terkejut mengetahui adanya seseorang yang dapat membongkar seluk beluk dari lahirnya kesatuan Yuda Murda. Tetapi dengan cepat Lurah itu menghapus kesan dari wajahnya dan berusaha untuk tenang.
"Selain itu, untuk menutupi kesatuan Yuda Murda dari kalangan umum, nayaka Jipang telah mendapat kunjungan khusus dari Tumenggung Prabasemi dari Demak. Semua orang tua siapa Tumenggung satu ini, yaitu salah satu Tumenggung Wreda bertugas sebagai penghubung kesegala kesatuan." Lurah Arya Dipa mulai melanjutkan kata - katanya, "Dan disinilah mulai dilakukan upaya pengelabuan pihak Jipang melalui peran dari ki Tumenggung Prabasemi, yaitu seolah - olah menyerahkan laporan itu agar dilaporkan kepada Tumenggung Wira Tamtama. Tetapi pada kenyataannya malah tidak sampai."
"Hahaha... Lurah Arya Dipa. Uraian yang kau sampaikan bila didengarkan hanya sekilas, membuat semua orang diam dan sejalan denganmu. Tetapi buat apa pemimpin Jipang menutupi itu dari kalangan umum ?" sanggah Lurah Sambu.
"Begini, ki Lurah. Ibarat perahu, sang juru perahu mengharapkan seluruh penumpangnya harus satu arah dan tujuan dengan perahu itu, walau jalan yang dilalui melewati badai. Begitu juga dengan para pemimpin Jipang, karena adanya segelintir senopati dan perwira yang bersungguh - sungguh mengabdikan dirinya untuk jalan yang benar menurut paugeran, para pemimpin itu merasa tidak tenang dalam segala tindakannya. Maka mereka membentuk sebuah kesatuan khusus yang tak lain digunakan untuk membungkam perwira dan senopati yang berpendirian lurus, dan agar tak menimbulkan kecurigaan maka satu - satunya jalan ialah bekerjasama dengan Tumenggung Prabasemi."
Mulut Lurah Sambu seketika terbungkam akan kenyataan yang dihadapinya. Bagaimana bisa tugas dari kesatuan Yuda Murda bisa diendus oleh pihak Demak ? Jika itu benar - benar terungkap, akan menimbulkan malapetaka bagi Jipang. Oleh sebab itulah tiada jalan lain kecuali membungkam orang - orang Demak ini, dan kemudian sebuah isyarat telah ia lakukan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 20
oleh : Marzuki
Seketika orang bawahan Lurah Sambu bersiaga dimana tangan - tangan mereka sudah menarik senjata dan terhunus ke-arah Panji Priyambudi dan Lurah Arya Dipa beserta prajurit Demak lainnya. Terasa hawa panas melingkupi balai utama dengan adanya sikap yang ditunjukan oleh Lurah Sambu dan pengikutnya. Tinggal bagaimana sikap dari orang - orang Demak, apakah menanggapi ancaman itu berupa mencabut senjata mereka atau pasrah menerima kematian ? Saat itulah terdengar Panji Priyambudi bersuara rendah.
"Janganlah ki Lurah bersikap ceroboh seperti ini. Aku adalah utusan kesultanan Demak dengan pertanda lencana ini, ki Lurah." kata ki Panji Priyambudi, seraya memperlihatkan lencana khusus yang dipinjamkan oleh Lurah Arya Dipa.
Mata Lurah Sambu seketika melotot dan terperangah mengetahui tangan Panji Priyambudi yang memegang lencana khusus. Keringat dingin dirasakan mengembun di dahinya, tetapi lekas disapunya. Dibulatkan hatinya untuk tetap melawan dan mengacuhkan pertanda khusus prajurit Demak. Lantas saja Lurah Sambu berteriak keras sebagai isyarat prajuritnya untuk mencincang Panji Priyambudi dan prajuritnya.
Menanggapi tindakan Lurah Jipang yang tak mengindahkan peringatan yang telah diberikan, Panji Priyambudi menoleh ke-arah Lurah Arya Dipa, dan Lurah Arya Dipa mengerti maksud dari Panji Priyambudi. Cepat tangan Lurah Arya Dipa bergerak menempel ke mulut dan tak lama kemudian terdengar suitan keras dari mulutnya. Isyarat telah diluncurkan menembus pagar barak prajurit Jipang, dan didengar oleh Lurah prajurit Demak yang sudah bersiaga dibalik semak luar pagar.
Berhamburanlah seratus prajurit Demak memasuki regol barak yang hanya dijaga segelintir prajurit Jipang, yang lari tak ingin tercincang oleh senjata prajurit Demak. Namun rupanya prajurit Demak tidaklah sebuas yang disangka oleh prajurit Jipang, karena sesampainya dihalaman barak seratus prajurit tadi berhenti dan berdiri melebar semata. Mereka mematuhi perintah yang sudah diberitahukan oleh Panji Priyambudi sejak masih berada di luar.
Kini yang terkejut adalah Lurah Sambu dan prajuritnya yang masih mengepung prajurit Demak di balai utama. Lurah itu tak mengira kalau utusan Demak telah membawa pasukan pengawal yang jumlahnya sangat banyak. Pikirannya kini menjadi bimbang, antara memilih membenturkan pasukannya dengan pihak Demak, ataukah membiarkan dirinya saja terikat dibawa ke Demak ? Karena dia yakin akibat yang sudah ia timbulkan merupakan melanggar paugeran dibidang keprajuritan dan juga melawan prajurit Demak, berarti tindakan itu termasuk kejahatan terbesar dengan hukuman mati.
"Akankah ki Lurah ingin membenturkan kekuatan yang bisa saja merugikan ki Lurah dan seluruh prajurit di barak ini ?!" seru Panji Priyambudi.
"Apa boleh buat, ki Panji. Kami sudah berada ditengah aliran sungai, sudah terlanjur basah !" balas Lurah Sambu.
"Tunggu dahulu, ki Lurah." kini giliran Lurah Arya Dipa angkat bicara, "Lihatlah, seseorang yang sangat kau kenal berada diantara prajurit Demak."
Tanpa disadari Lurah Sambu mencoba melihat dikerumunan prajurit Demak. Seorang yang sudah memasuki usia senja terlihat berdiri tersenyum kepada Lurah Sambu, seorang yang sangat dikenalinya semenjak dirinya menjadi murid ki Ageng Candra Bumi.
"Ki.. Candra Asih.. " desis perlahan Lurah Sambu dan selanjutnya juga mengenali orang satunya lagi, "Kyai Jalasutro... "
"Benar, ki Lurah. Keduanya mencoba untuk menyadarkan akan kesalahan yang kau buat terhadap guru dan juga saudara seperguruanmu." kata Lurah Sambu, "Berpikirlah jernih dan lihatlah akan semua yang pernah kau lakukan selama ini. Kejadian ini tak akan menyelesaikan apa yang dipikir olehmu serta senopati atasanmu.'
"Apa maksudmu ?"
"Hm... Aku sudah tahu siasat yang diterapkan oleh pimpinanmu. Yaitu memancing pihak Demak memasuki telatah Jipang agar pasukan kamilah yang disalahkan. Tetapi hal itu tidak berjalan semestinya, karena kami mempunyai lencana khusus dan juga saksi dari penghuni perguruan Candra Bumi, yaitu ki Candra Asih." kata Lurah Arya Dipa.
Lurah Sambu terdiam. Apa yang dikatakan oleh Lurah Arya Dipa benar semua. Tiada lagi yang harus ia lanjutkan kecuali akan membuat pasukannya hancur. Oleh karena itu, Lurah Sambu mengisyaratkan kepada prajuritnya untuk menyarungkan senjata mereka. Walau agak kecewa, prajuritnya terpaksa mengikuti perintah senopatinya dan siap menanggung akibat dari kesalahan mereka.
Darah membasahi senjata dan tanah serta pekikan bengis, jeritan menyayat dan tingkah laku layaknya hewan buas, terhindar mewarnai barak diatas tanah perguruan Candra Bumi.
Hari itu juga ki Panji Priyambudi segera mengamankan barak prajurit Jipang dengan mengumpulkan pasukan itu di dua tempat dengan pengawasan ketat dan tentunya melucuti senjata mereka. Selanjutnya pembagian tugas berupa upaya pemulangan pasukan Jipang dan juga pengembalian perguruan Candra Bumi kepada ki Candra Asih juga akan segera dilakukan. Karenanya ki Panji Priyambudi berniat menuju pusat kadipaten Jipang Panolan, akan tetapi Lurah Arya Dipa menganjurkan agar bukan ki Panji sendiri yang harus ke-sana.
"Biarkanlah aku saja, ki Panji." kata Lurah Arya Dipa, "Lebih baik ki Panji tetap berada di perguruan Candra Bumi bersama pasukan ki Panji."
Setelah memikirkan dengan matang, ki Panji menyetujui usulan Lurah Arya Dipa, selain itu tidak ketinggalan mengutus seorang prajurit untuk melaporkan segalanya di kotaraja Demak, khususnya kepada perwakilan panglima Wira Tamtama . Maka yang akan menuju ke pusat kadipaten Jipang adalah Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra, sedangkang prajurit Sandirana selaku prajurit telik sandi yang ditunjuk untuk menghubungi perwakilan panglima Wira Tamtama. Sementara itu Kyai Jalasutro yang sebenarnya ingin juga menemani Lurah Arya Dipa, diminta oleh ki Candra Asih untuk menemaninya sebagai kawan membenahi perguruan yang dikoyak oleh murid perguruan itu sendiri.
*******
Perjalanan menuju Jipang bukanlah perjalanan yang mudah, meskipun Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra sudah berada di telatah pinggirannya. Lembah dan ngarai terjal telah menjadi benteng alam yang memisahkan telatah terdalam yang harus dilalui. Belum lagi aliran sungai bengawan sore yang saat itu meluap akibat hujan yang terus turun pada akhir - akhir ini. Terpaksa Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra mencari jalan agak memutar supaya menemukan tepian yang sempit dan terlalu deras arus airnya. Dan upaya itupun menemukan hasil saat dibagian hulu bengawan, air tidak terlalu deras dan terlihat adanya tukang satang sedang duduk menunggu calon penumpang. Lantas saja keduanya menuruni tanggul dan mendekati tepian dan mendekati tukang satang yang menunjukan wajah sumringah akan kedatangan keduanya.
"Mari Denmas, " sapa tukang satang itu, mempersilahkan.
Naiklah Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra beserta kuda mereka keatas satang. Tak lama kemudian tukang satang melepas tali pengikat dari patok pinggir tepian. Perlahan namun pasti satang itu bergerak semakin ke tengah bengawan. Semakin ke tengah, satang agak terguncang karena terjangan arus, namun tukang satang cukup lihai mengendalikannya.
Sambil memperhatikan sekitar bengawan, Lurah Arya Dipa menyempatkan berbicara dengan tukang satang.
"Kisanak, ramaikah jalur ini dimusim - musim seperti ini ?"
"Hmm.. Tidak, Denmas. Kebanyakan orang yang lalu lalang senang menyeberang di bagian kelokan di hulu."
"Oh, ada lagi penyeberangan di sana ?"
"Iya, Denmas."
Tak terasa tepian ujung seberang sudah semakin dekat, dan sampailah satang itu menepi dengan selamat. Setelah memberikan upah, Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra menaiki kudanya dan memacunya menapaki tepian bengawan. Dua kuda dengan gagah berlari menaiki tanggul terus memasuki jalan setapak yang membelah rimbunnya semak belukar.
memakan waktu cukup lama juga keduanya sampai di pintu gerbang kadipaten Jipang Panolan, yaitu saat matahari sudah berada dalam peraduannya. Di atas panggungan obor baru saja dinyalakan oleh prajurit yang bertugas, dan pintu hampir saja tertutup bila Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra tidak menyeru petugas penjaga. Untunglah prajurit penjaga cukup mengenali pakaian yang dikenakan oleh keduanya dan mempersilahkan memasuki pintu gerbang.
Agar tidak mengalami kejadian yang tak diinginkan, kedua Lurah itu mencari penginapan untuk bermalam di hari itu. Dipilihlah penginapan tak terlalu besar yang berada dekat pintu gerbang kotaraja, penginapan sederhana namun cukup terawat serta menyediakan makanan untuk sekedar mengisi perut. Tak disangka penginapan itu juga menyediakan makanan bagi kuda pelanggan mereka, bertambah lega-lah kedua Lurah itu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 21
oleh : Marzuki
Di ruang depan penginapan terlihat kurang lebih sepuluh orang pelanggan duduk berkelompok melingkari meja masing - masing. Saat Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra memasuki ruangan itu, selintas orang - orang itu memperhatikan, namun kemudian tak mengacuhkan lagi. Sementara Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra juga tak memperdulikan orang - orang itu, dan berjalan ke tempat yang kosong. Sebuah meja kosong dekat pojokan serta di dindingnya terdapat lubang angin sebesar tiga jengkal, bagi keduanya sangatlah cocok untuk melepaskan penat.
Seorang pemuda sekaligus pelayan penginapan datang menghampiri dua Lurah itu, "Mau makan apa, Denmas ?"
"Sediakan nasi megono beserta minuman hangat, kisanak." kata Lurah Swantantra.
"Baik, Denmas. Mohon ditunggu sejenak." lalu pelayan itu meninggalkan keduanya untuk mempersiapkan makanan yang dipesan.
Sambil menunggu makanan yang dipesan, Lurah Arya Dipa memperhatikan orang - orang yang berada dalam satu ruang itu. Tiada yang aneh atau mencurigakan dari sekian orang yang sedang makan atau bercakap diantara mereka. Lalu pandangan Lurah Arya Dipa bergeser menembus lubang angin didekatnya, dari situ jalan depan penginapan terlihat walau agak samar, dikarenakan malam semakin berkuasa. Walau begitu penglihatan Lurah Arya Dipa cukup tajam ketika mengenali dua orang melintasi jalan tadi.
"Raden Sajiwo dan eyang Wanapati.." gumam Lurah Arya Dipa, lirih.
Tak sengaja Lurah Swantantra mendengar gumam Lurah Arya Dipa dan mencoba bertanya, "Siapa kakang Lurah ?"
"Keduanya bangsawan dari Kadiri, Adi." jawab Lurah Arya Dipa, tapi malah mempertanyakan kehadiran dua orang tadi, "Ada apa mereka di Jipang kali ini ?"
Tentu saja Lurah Swantantra tak tahu jawabnya, kecuali mengernyitkan alisnya dan tak ingin mengejar dengan pertanyaan susulan. Lebih baik bagi Lurah Swantantra tak ikut campur dengan urusan orang lain.
Sedangkan dalam pada itu, Lurah Arya Dipa sangat penasaran dengan kehadiran dua orang yang melintas di jalan depan penginapan tadi. Baginya, kedua orang tadi merupakan orang - orang yang harus mendapat perhatian khusus, karena disetiap tindakan yang mereka lakukan mempunyai sesuatu yang tersembunyi. Masih jelas ingatan Lurah Arya Dipa tatkala menjalankan tugas di timur telatah perdikan Anjuk Ladang, Raden Sajiwo bersama Raden Sanjaya beserta pengikutnya ikut merebutkan peninggalan Wilatikta, sehingga ditepian kali terjadi perkelahian hebat. Sedangkan satunya lagi Bagus Wana atau ki Wanapati tiada lain dan bukan adalah kembaran eyangnya sendiri, yang telah membunuh ayah dan ibunya. Bahkan kakek tua itu juga berniat ingin memusnahkan siapa saja yang berhubungan dengan Begawan Jambul Kuning, yang berarti termasuk Lurah Arya Dipa itu sendiri.
Lamunan Lurah Arya Dipa buyar manakala pelayan penginapan datang menghidangkan makanan yang dipesan tadi. Sejenak Lurah Arya Dipa berusaha melupakan kehadiran Raden Sajiwo dan ki Wanapati, dan lebih memusatkan untuk menyantap makanan. Setelah usai barulah keduanya menuju bilik yang disediakan untuk bermalam.
Bilik penginapan cukup tertata dan bersih. Di dalam tidak terlalu banyak perabot melainkan hanya amben untuk tempat berbaring, meja kecil untuk tempat kendi beserta dua gelas dari tanah liat, dan sebuah dian yang menempel di tembok bilik. Cukup memadai bagi pelanggan penginapan untuk melepaskan lelah dimalam hari.
Keduanya langsung berbaring diamben dan memejamkan mata. Tetapi baru sejenak melelapkan diri, terdengar sesuatu yang mencurigakan di bilik sebelah. Keduanya membuka mata dan saling memandang satu sama lain, mencoba bangkit dari tempat pembaringan untuk mendekati dinding bilik.
"Hehehe.. Lurah Sambu hanyalah tumbal belaka, adi Wuragu." terdengar suara dari bilik sebelah.
"Hm... Ah, pasti tidak begitu kakang Lemung. Pasti para senopati akan berusaha memberikan bantuan agar Lurah Sambu bebas dari hukuman." sahut orang satunya lagi.
Lemung tertawa tawar sambil membelai jengotnya. Sedangkan kawannya heran akan sikap yang ditunjukan oleh Lemung, karena tak biasa menyaksikan perilaku kawannya itu.
"Oooo... " Lemung terlihat menguap, tetapi selanjutnya orang itu bergumam, "Besok ada tugas berat."
"Siapa lagi sasaran yang harus dilenyapkan, kakang ?" tanya Wuragu.
"Kali ini cukup menantang, Adi Wuragu. Ki Sentanu dari barak utara yang harus dilenyapkan." jawab Lemung.
Wuragu mengernyitkan alisnya, "Ki Sentanu orangnya cukup terbuka dan ramah, tegakah kakang untuk membunuhnya ?"
Lemung dengan wajah datar menjawab, "Wuragu, sebagai prajurit Surengpati kita dituntuk untuk tidak menggunakan perasaan didalam bertindak. Cukup kali ini saja kau berkata seperti itu, agar nyawamu tidak disambar Senopati Surengpati."
Wuragu menelan ludah. Dirinya baru menyadari kalau telah kelepasan bicara. Ia tahu betul akan ucapan yang berbau peringatan dari Lemung tadi, kalau tadi ia berbicara dengan anggota Surengpati lainnya, tentu masalah besar pasti menimpa dirinya. Dalam tubuh kesatuan Surengpati yang ia masuki tiada kata atau tindakan berdasarkan perasaan. Semua tindakan dari Surengpati adalah tugas khusus yang mendekati atau berbau kematian.
Pembicaraan itu membuat Lurah Arya Dipa dan Swantantra yang berada di bilik sebelah saling pandang. Kecurigaan timbul dalam hati keduanya mengingat adanya pembicaraan yang menyangkut nasib Lurah Sambu yang dikatakan hanyalah untuk tumbal. Lalu selanjutnya mengenai tetenger Surengpati yang sangat janggal bagi telinga kedua Lurah Demak itu. Namun untuk membicarakan pada malam itu dan di bilik, sangatlah tidak memungkinkan bagi keduanya, oleh sebab itu keduanya menunggu apabila di bilik sebelah masih ada kelanjutan pembicaraan, namun setelah ditunggu tiada lagi terdengar suara. Kemudian keduanya dengan isyarat memutuskan untuk berbaring dipembaringan.
Malam-pun semakin dalam. Jauh di luar tepatnya di gardu perondan, petugas mulai memukul kentongan untuk menandakan wayah tengah wengi. Kesunyian malam membawa suara kentongan jauh menembus dinginnya udara. Kebanyakan para penghuni kotaraja terlelap dengan buaian mimpi dan menyerahkan keamanan mereka kepada para prajurit peronda.
Tanpa disadari oleh Lurah Swantantra, Lurah Arya Dipa bangun dari pembaringan dan melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju pintu bilik. Derit halus menandakan pintu terbuka membawa Lurah Arya Dipa untuk melewatinya, tak lupa menutup rapat pintu bilik. Sepasang kakinya diayunkan penuh hati - hati demi mencapai pintu keluar penginapan. Cukup mulus Lurah Arya Dipa sudah berada di luar, dan sekali menjejak tanah tubuh itu terbang ke atas bangunan dan hinggap sangat halus di atap.
Dicarilah atap dimana dua orang yang mencurigakan tadi berada, pastinya setelah meniadakan hawa keberadaannya melalui suara dari gesekan tubugnya. Pelan tangannya mulai menotol atap yang terbuat dari anyaman bambu dan alang - alang untuk membuat lubang sebesar ibu jari. Setelah berhasil diintiplah isi dari bilik, dimana dua orang terlihat tertidur pulas dibarengi dengkur keras. Diamati keduanya dengan seksama, seorang berbadan gempal dan satunya lagi tinggi, wajahnya sangar dihiasi jenggot runcing.
"Surengpati.. " batin Lurah Arya Dipa.
Dirasa cukup melakukan pengamatan, Lurah Arya Dipa mulai beringsut meninggalkan atap dan turun kembali untuk memasuki bangunan penginapan, berlanjut ke biliknya. Pintu bilik masih tertutup rapat, Lurah Arya Dipa menggapainya dan memasuki bilik tersebut tanpa sepengetahuan Lurah Swantantra yang tertidur pulas. Sejenak Lurah muda itu mengibaskan pakaiannya dari debu yang menempel, barulah ia berbaring dan memejamkan matanya untuk mengistirahatkan wadagnya dalam sisa - sisa malam itu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 22
oleh : Marzuki
Saat Lurah Arya Dipa dan Swantantra menikmati hidangan di pagi hari, dua kuda terlihat keluar dari regol penginapan. Kedua Lurah itu tahu betul jika dua penunggang tadi adalah dua orang penghuni bilik sebelah, namun keduanya tetap menyantap nasi beserta lauk sederhana di atas meja, seakan - akan mengacuhkan atas kepergian mereka. Keduanya lebih memilih untuk bersikap hati - hati dan tak ingin menimbulkan masalah.
Usai menyatap makan pagi, juga sudah membayar makanan beserta bilik penginapan, keduanya memutuskan langsung ke pura kadipaten. Lorong jalan kala itu cukup ramai dengan hilir mudik penghuni pura kadipaten dan juga prajurit yang menjalankan tugasnya dipagi menjelang siang. Sekali - kali Lurah Swantantra bertanya kepada salah seorang penghuni jikalau arah yang dituju agak membingungkan. Lambat laun setelah mengikuti ancer - ancer yang diberitahukan, sebuah pintu gerbang yang terbuka terlihat oleh keduanya.
Tidak cukup sulit keduanya memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh prajurit pengawal, apalagi keduanya mengenakan pakaian keprajuritan. Dengan diantar oleh seorang prajurit, dua Lurah Demak dipertemukan dengan seorang prajurit dalam pura. Lalu oleh prajurit dalam dibawa ke sebuah bangunan dan dhadapkan kepada senopati Jipang yang berwenang mengurusi keprajuritan.
Mulailah Lurah Arya Dipa dan Swantantra mengenalkan diri mereka dan sekaligus menjelaskan maksud kedatangan keduanya ke Jipang, yang tiada lain ingin mempertanyakan surat kekancingan dari pembentukan kesatuan Yuda Murda. Tetapi sikap dari senopati Jipang kurang bersahabat dan terkesan angkuh saat bertutur kata, walau begitu Lurah Arya Dipa tetap merendah dan mengendapkan isi hatinya. Berbeda dengan Lurah Swantantra, sikap dari senopati Jipang membuat jantungnya seakan meledak saja andaikata tidak lekas digamit oleh Lurah Arya Dipa.
"Aku tak mengerti akan aturan di Demak yang sembrono hanya mengutus seorang Lurah prajurit dalam menangani sebuah kesatuan." kata Senopati Jipang, ketus.
"Nanti dulu, tuan Senopati. Tuan sepertinya kurang tepat berbicara seperti itu, karena sudah kukatakan sejak awal maksud kedatangan kami hanyalah menyampaikan pesan dari ki Panji Priyambudi, selaku senopati Demak yang saat ini berada di perguruan Candra Bumi." suara Lurah Arya Dipa terkesan lunak.
"Huh.. " dengus Senopati itu, "He, Lurah prajurit. Urusan kesatuan Yuda Murda berada di perguruan Candra Bumi adalah wewenang Jipang, tidak seharusnya Demak yang langsung bertindak seperti itu. Bukankan tanah yang ditempati perguruan Candra Bumi masih telatah Jipang ? Mengapa Panji itu ikut campur ?"
"Tuan Senopati, kami tidak akan segera bertindak andaikan di perguruan Candra Bumi pasukan Yuda Murda tidak berlaku kurang tata terhadap penghuni perguruan dan bahkan terhadap nayaka Jipang sendiri."
"He, apa maksudmu, Lurah prajurit ?"
Sejenak Lurah Arya Dipa menggeser tempat duduknya, "Bila penempatan oleh kesatuan Yuda Murda di perguruan Candra Bumi tiada paksaan, itu dapat dimengerti, Tuan Senopati. Namun kenyataan berkata lain, ki Ageng Candra Bumi dan beberapa muridnya menjadi korban dalam perampasan itu.. "
"Kau keliru dan mengada - ada, Lurah Arya Dipa. Tewasnya ki Ageng Candra Bumi bukan tindakan kesatuan Yuda Murda, melainkan perseteruan antara guru dan murid." Senopati itu menyela.
Tapi Lurah Arya Dipa tidak tinggal diam, "Benar itu sebuah perseteruan jika Lurah Sambu dan Bajang bukanlah perwira dari kesatuan Yuda Murda, tuan Senopati. Tapi keduanya nyata - nyata perwira Jipang yang diakui oleh ki Patih Mentahun sendiri."
Terdiam mulut Senopati itu.
Sementara Lurah Arya Dipa masih melanjutkan perkataannya, "Meskipun sebelumnya pihak Jipang menyamarkan dengan membawa ki Soca Welirang yang telah berhasil membunuh ki Panji Tohjaya."
"Apakah yang kudengar tadi adalah ki Panji Tohjaya ?" beegegas Senopati itu bertanya untuk mempertegas.
"Benar, tuan Senopati. Ki Panji Tohjaya gugur mempertahankan pendiriannya yang teguh." Ujar Lurah Arya Dipa, sekaligus menyindir Senopati itu.
Senopati itu sebenarnya tersinggung akan ucapan dari Lurah di depannya, tetapi ia berusaha mengekang amarahnya agar kenyataan kalau dirinya tak sependirian dengan Panji Tohjaya tidak terlihat. Maka yang ditunjukan adalah kesedihan, seakan - akan ikut kehilangan seorang senopati seperti Panji Tohjaya. Lalu terlihat Senopati itu terdiam, seakan merenungi sesuatu, dan kemudian terdengar suaranya yang merendah.
"Maafkan aku, ki Lurah. Kini terbukalah pikiranku dalam menyikapi apa yang kau laporkan tadi. Aku akan mengurus semua kekeliruan yang mentangkut kesatuan Yuda Murda sekaligus Lurah Sambu."
Lurah Swantantra mengerutkan dahinya, merasa janggal dan aneh atas perubahan sikap Senopati Jipang. Berbeda dengan Lurah Arya Dipa, yang dapat menyelami dan mengurai kejadian ini.
Senopati Jipang memanggil abdinya untuk membawa dua Lurah Demak ke bilik peristirahatan dan memperlakukan keduanya layaknya utusan. Sepeninggal dua Lurah Demak, Senopati tadi berjalan ke ruang dalam. Di situ rupanyanya sudah menunggu seorang lelaki yang mengenakan pakaian bercirikan kepatihan. Senopati tadi menghormat dan melaporkan apa yang terjadi di ruang depan tadi.
"Bagus. Besok bawalah sepuluh prajurit untuk menjemput pasukan Yuda Murda." kata orang itu.
"Senduko, gusti Patih." Sahut Senopati Jipang.
Malam harinya, di bilik yang disediakan oleh Senopati Jipang, Lurah Swantantra teringat akan kejadian malam sebelumnya, mengenai dua orang yang ada di penginapan. Memikirkan ucapan dari dua orang yang sangat mencurigakan, timbulah keinginannya untuk mengetahui lebih lanjut. Oleh karena itu, Lurah Swantantra mencoba membicarakan dengan Lurah Arya Dipa, siapa tahu ada kesimpulan yang harus disimpulkan melalui tindakan atau pembiaran saja. Gayung bersambut, Lurah Arya Dipa juga penasaran dengan apa yang akan dilakulan oleh Lemung dan Wuragu, Lurah Arya Dipa masih ingat jika malam ini dua orang yang menyebut diri mereka Surengpati akan bergerak ke salah satu barak pasukan Jipang.
"Aku pun juga penasaran dengan mereka, Adi Swantantra. Tetapi pengetahuan kita tentang suasana Jipang sangatlah sedikit. Jika kita bertindak dan mencoba mencari kedua orang itu, tentu menyita waktu. Dan apabila keberadaan kita tak lagi di bilik ini diketahui orang, akan mencuri perhatian pihak Jipang." kata Lurah Arya Dipa.
Kepala Lurah Swantantra manggut, mengerti jalan pikiran Lurah Arya Dipa, "Hm.. Kalau begitu hendaknya hanyalah seorang saja dari kita, Kakang Dipa."
"Baiklah, aku saja Adi." sahut Lurah Arya Dipa, "Itupun kalau kau setuju."
"Hahaha... Sebenarnya aku menolaknya, kakang Dipa. Tetapi kau lebih tinggi dalam segala hal dan aku lebih baik menikmati pembaringan ini." Lurah Swantantra menerima keputusan.
Tanpa memperpanjang waktu Lurah Arya Dipa berbenah untuk menyiapkan diri melakukan penyelidikan mengenai kebenaran dari kesatuan Surengpati, melalui dua orang yang akan bergerak ke barak barat pasukan Jipang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 23
oleh : Marzuki
Di lorong - lorong jalan Jipang Panolan, sering kali terlihat prajurit pengawal melakukan tugasnya meronda, berkelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih menyusuri setiap lorong. Meskipun keadaan di dalam pusat kadipaten aman dan terasa nyaman bagi penghuninya, prajurit - prajurit Jipang tidak pernah lengah akan tugas mereka. Mereka tidak mau kecolongan dan terbuai akan hawa tenang yang melingkupi isi kadipaten. Karena bagi prajurit Jipang, tugas keamanan telatah dalam sangatlah berat taruhannya, yaitu tidak hanya diakui sebagai prajurit lagi melainkan nyawa-pun bisa lenyap.
Dewasa itu keprajuritan Jipang sangatlah tegas dalam perjalanannya. Dari mulai jenjang atas sampai ke titik paling bawah haruslah berpegang teguh akan paugeran yang diberlakukan oleh senopati khusus. Bila terdapat secuil kesalahan entah disengaja atau tidak, tanpa adanya alasan seorang prajurit yang melanggar akan ditindak tegas. Dan inilah yang membuat prajurit Jipang tidak berlaku sembrono melanggar paugeran yang ditetapkan di dalam dunia keprajuritan. Tidak heran jika semakin malam, terlihat prajurit pengawal mengayunkan kaki mereka menyusuri setiap jengkal lorong - lorong jalan.
Akan tetapi setelitinya prajurit, pasti suatu kali ada sebuah tempat yang luput dari jangkauannya. Nampak dua orang dengan cekatan berlari sembari meloncat melompati pagar - pagar kosong, atau-pun melintasi lorong gelap tanpa sepengetahuan prajurit pengawal. Dan dua orang yang tiada bukan adalah Lemung dan Wuragu, sangatlah terampil dalam menggerakan anggouta tubuh mereka. Tanpa mengeluarkan setitik keringat, keduanya sudah berada di puluhan tombak jauhnya. Dan arah yang mereka datangi hampir sampai.
Barak prajurit bagian barat sudah terlihat dihadapan mata. Walau regol sudah tertutup rapat, diatas panggungan terdapat beberapa prajurit siaga mengamati keadaan di luar sekitar lorong atau-pun gerumbul gelap dekat regol barak. Dengan itu membuat kedua orang yang mengendap secara diam - diam, lebih hati - hati agar tidak diketahui oleh prajurit.
"Lebih baik kita memutar dan mencari pagar yang penjagaannya kurang." desis Lemung.
"Baik, kakang. Di sebelah utara dekat pohon dadap aku rasa adalah pilihan yang cocok." sahut Wuragu, sembari menunjukan jalan.
Usai menganggukan kepala, Lemug mulai bergerak meninggalkan tempat persembunyiannya, diikuti oleh Wuragu. Keduanya perlahan namun pasti mendekati pohon dadap yang berada di utara sisi luar barak. Sekalu lagi tanpa mengurangi kewaspadaan, diamati keadaan sekitar, dan setelah yakin aman keduanya bergegas menaiki pagar yang tingginya dua tombak. Tiada halangan bagi keduanya, sekali menjejakan kaki ke tanah tubuh itu melambung tinggi dan mendarat diatas pagar. Bergegas keduanya merendahkan tubuh hingga menempel pagar teratas, sembari mengamati bagian dalam pagar. Sunyi tiada penjaga, lekas Lemung dan Wuragu turun dan menyelinap di balik rimbun tanaman.
Tanpa ragu - ragu keduanya berlari mendekati bangunan kecil, terus berbelok ke sebuah bangunan agak besar dari yang pertama. Sesaat Wuragu memperhatikan keadaan di sekitar, dan tiada sesuatu yang menghawatirkan, oleh karena ia memberi isyarat kepada Lemung. Dan Lemung menganggukan kepala dan terlihat bibirnya bergerak seperi merapalkan sesuatu.
Tak lama keadaan di sekitar terasa berubah. Udara malam yang dingin terasa menyejukan, serta membuat orang nyaman dan betah berada di peraduan. Bahkan prajurit yang bertugas meronda mulai berat melangkahkan kaki dan jatuh lunglai tanpa tahu adanya hawa aneh itu. Sangat berbeda dengan kepala prajurit yang sedikit memiliki landasan dalam mengarungi dunia keprajuritan, yang mana orang itu merasakan hawa aneh menyelimuti barak, akan tetapi orang itu-pun tidak mampu mempertahankan kesadarannya. Maka semakin banyaklah prajurit penjaga dan peronda yang jatuh dalam hawa aneh tersebut.
Pulaslah mereka satu - persatu akibat dari salah satu ilmu Lemung, yaitu sirep. Untuk meyakinkan akan keampuhan ilmunya, Lemung menjumput batu kerikil dan ia lemparkan ke atap bangunan. Lalu ditunggu adakah seseorang terpancing bunyi batu yang ia lemparkan. Dan setelah ditunggu beberapa lama juga tiada adanya tanda - tanda seseorang yang menanggapinya. Barulah keduanya bangkit dan mendekati pintu bangunan yang diyakini di dalamnya terdapat ki Sentanu.
Begitu derit daun pintu terdengar saat pintu terbuka, ruang itu kosong tak ada satu-pun orang terlihat. Sehingga membuat kedua orang itu saling pandang penuh tanda tanya. Padahal keduanya sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, juga pengamatan tak hanya sehari atau dua hari.
"Siapa yang kalian cari, kisanak ?" terdengar suara dari luar bangunan.
Lemung dan Wuragu mengerutkan alis menyadari adanya seseorang yang lolos dari pengaruh sirep yang telah mereka lontarkan. Semakin berhati - hati keduanya dalam menyikapi kejadian di luar siasat mereka. Akan tetapi sebagai anggota dari prajurit khusus, keduanya bergegas ke luar menemui orang yang mereka sangka ki Sentanu. Tetapi yang mereka angan - angankan juga salah, melainkan seseorang berpakaian kuning kecoklatan tanpa tahu persis akan wajah dari orang itu.
"He, siapa kau ? Berani memasuki barak prajurit !" Wuragu berseru kepada orang yang mencoba menyamarkan dirinya itu.
"Hohoho... " tawa lepas malah terdengar dari orang itu.
"Bangsat tak tahu diri !" bentak Lemung, merasa disepelekan.
"Inikah Surengpati andalan Jipang. Yang memasuki sarang sendiru layaknya maling padukuhan." ejek orang bertopeng, sambil menengadahkan kepalanya.
Demi disebutnya Surengpati, membuat Lemung dan Wuragu heran sekaligus bertanya - tanya siapa sebenarnya orang itu.Tidak mungkin orang itu ki Sentanu, yang jelas - jelas berbeda perawakannya. Lalu siapa kalau begitu ? Daripada bertanya - tanya dan tiada juntrungannya, lebih baik untuk meringkus orang itu.
"Biar aku saja, kakang." Wuragu telah meloncat dengan terkaman.
Nampak jelas kalau Wuragu ingin cepat - cepat mengakhiri semuanya dan membuat orang bertopeng itu akan menyesali perbuatannya. Tetapi betapa tercengang Wuragu manakala terkamannya hanya menemui udara kosong, di situ tiada lagi sosok orang bertopeng. Hanya terpaut seruas dari terkamannya, tubuh lawannya bisa menghindari tanpai ia duga. Bukan itu saja, tengkuknya merasakan adanya benda lunak menempel pada kulitnya.
Kejadian itu membuat Lemung yang berada di luar kalangan sesaat mengerutkan alisnya. Rupanya kawannya dapat dikelabui oleh lawannya, serta mendapatkan tindakan yang memalukan berupa sentuhan pada tengkuk Wuragu, tanpa menyakiti. Bagi Lemung itu adalah perbuatan yang merendahkan seorang yang mempunyai ilmu kanuragan seperti dirinya dan pasti juga dirasakan oleh Wuragu.
"Setan alas, orang ini." geram Lemung.
Pada diri Wuragu sangatlah sesuai seperti perasaan Lemung mengenai kejadian tadi. Malah - malah sebagai pelaku itu sendirilah, tindakan lawannya sungguh merupakan sebuah hinaan tiada tara. Amarahnya langsung saja meluap, mendorong dirinya melakukan serangan penuh kesungguhan dengan tenaga tak olah - olah.
Sementara bagi orang bertopeng, ia lebih berhati - hati kali ini dalam menghadapi serangan lawannya yang dalam keadaan marah. Orang itu sadar telah berhasil menyulut api kemarahan lawan, akan tetapi itu juga merupakan tanda untuk dirinya lebih berhati - hati agar tidak menyesal. Karenanya dengan gerakan sebat dan langkah pendek, orang bertopeng terus menghindari serangan - serangan lawan. Ini sebenarnya untuk menilai dan menjajagi seberapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh salah satu anggota Surengpati.
Untuk selanjutnya di barak prajurit pada malam hari yang terselimuti oleh pekatnya ilmu sirep, dua bayangan bagai hantu terlihat saling hantam dan terkam penuh tenaga. Udara-pun tersibak manakala serangan meluncur tanpa ampun, tanah sebagai pijakan tidak luput terkena gempuran dari kaki - kaki. Maka betapa hebat dan luar biasa benturan dari dua tata gerak berbeda sumber dan jalur itu. Namun yang paling jelas adanya benturan itu adalah sikap ingin meraih keberhasilan dalam menekan lawan, entah nantinya lawan akan celaka.
Tataran demi tataran semakin menjulang naik. Rasa penasaran hati Wuragu bertambah besar disetiap dirinya dapat dimentahkan atau diungguli oleh lawannya. Kecepatan tata geraknya padahal sangatlah menyulitkan bila berhadapan dengan musuh - musuhnya selama ini, akan tetapi kini dirinya bagai tertumbuk batu saja. Begitu-pun dengan tenaga wadahnya yang bila menghantam kayu, pasti kayu itu akan remuk jadinya, tapi kenyataannya ketika pukulan tangannya mendarat di tubuh lawan, malah tangannya terasa pedih tak terkira. Selain itu disetiap dirinya meningkatkan ilmunya, lawannya selalu bisa berada selapis diatas ilmunya.
"Setan dari mana yang merasuki orang ini ?!" batin Wuragu, sembari meloncat menghindari sepakan kaki lawan.
Tak kalah heran juga dirasakan oleh Lemung. Malah Lemung yang berada di pinggir dapat dengan jelas menilai keadaan yang sesungguhnya. Menurut Lemung, Wuragu selalu terdesak oleh kemampuan dari orang bertopeng. Tata gerak Wuragu selalu dengan mudah dimentahkan sampai tak berdaya. Ingin sekali Lemung bergegas turun langsung dan ikut menerjang orang bertopeng. Tetapi bila Wuragu tidak memahaminya, bisa - bisa membuat Wuragu merasa direndahkan. Oleh sebab itulah Lemung berusaha menanti adanya suara dari Wuragu.
Tak berselang lama, sebuah tendangan mendarat di bahu Wuragu dan membuat orang itu terdorong jatuh. Namun Wuragu cukup cekatan dan bergegas berdiri tanpa memperdulikan rasa sakit pada bahunya.
"Maaf, Wuragu. Sebaiknya kita hadapi orang ini berdua." seru Lemung, yang sudah berdiri disamping Wuragu.
"Hmm.. Baiklah." sahut Wuragu, mengiyakan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 24
oleh : Marzuki
Dalam pada itu, ditepian kali Bengawan sore, prajurit Sandirana baru saja turun dari satang setelah menyeberangi kali Bengawan Sore dari sisi yang lain. Tanpa menunda waktu, prajurit Sandirana menaiki kudanya dan melecut meninggalkan tepian kali Bengawan Sore. Kuda itu berlari kencang bagai anak panah yang terlepas dari busur, melesat membelah jalan bulak mengarah ke jantung kadipaten Jipang Panolan. Meskipun rasa lelah sudah mulai terasa mengusik tubuhnya, prajurit Sandirana berusaha melupakannya dan lebih memusatkan tenaga itu untuk memacu kudanya, serta mempertahankan keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh dari pelana kuda.
Sekilas prajurit telik sandi itu mendongakan kepalanya ke langit. Dilihatnya sederetan bintang masih tepat di atas langit, menandakan tengah malam belum berlalu. Semakin lega hati prajurit itu karena apa yang sudah diperkirakan akan tepat pada waktunya. Kesempatan untuk menyerahkan pesan dari perwakilan panglima Wira Tamtama bisa ia sampaikan kepada Lurah Arya Dipa, yang sudah mendahului di kadipaten Jipang.
Memasuki lorong yang agak lebar, prajurit Sandirana memilih membelokan kudanya ke arah tenggara. Rupanya prajurit itu memilih jalan kecil dan jarang dilalui orang. Selain itu, jalan yang akan ia lalui pada akhirnya tidak melewati padukuhan, melainkan pinggiran hutan. Ini diambil demi mempertimbangkan supaya langkahnya tidak terhambat oleh pertanyaan pengawal peronda.
Di kala prajurit Sandirana berpacu di atas kuda, di dekat bilik yang diperuntukan bagi Lurah Arya Dipa dan Swantantra, tiga orang prajurit pengawal dengan diam - diam mengamati dan menjaganya. Ketiganya mendapat tugas untuk selalu mengawasi dua orang dari Demak, apabila melakukan tindakan yang mencurigakan. Padahal sudah semenjak tadi seseorang dari salah satunya berhasil menyelinap keluar tanpa mereka sadari. Dan di dalam bilik tinggal Lurah Swantantra sendiri.
Di dalam bilik Lurah Swantantra sempat memperhatikan tiga prajurit yang berjaga sembunyi - sembunyi di kegelapan malam. Lurah itu sempat menarik napas lega, karena melihat ketiga prajurit tadi tidak menyadari sekelebat bayangan keluar dari bilik.
"Mungkin bila tadi aku yang keluar, pasti ketiga orang itu akan menyadarinya." desis Lurah Swantantra, "Hm.. Memang hebat kakang Dipa."
Hawa berbeda terjadi di barak prajurit bagian barat kadipaten Jipang. Orang bertopeng berpakaian kuning kecoklatan saat ini meladeni tandang dari Lemung dan Wuragu. Meskipun lawannya bertambah, orang bertopeng itu masih dapat menghindari terjangan lawan - lawannya. Kecepatan dan kemampuannya bagai mendapat tambahan dua kali lipat mengungguli kerjasama lawan - lawannya.
"E..ladalah.. !" seru Lemung, manakala pundaknya malah terhantam telapak tangan lawannya.
Beruntung sekali lawannya tidak mengejarnya, melainkan menyerang Wuragu. Kesempatan itu ia gunakan untuk memperbaiki keadaannya, kemudian kembali membantu kawannya yang terseok - seok menghindari gaplokan orang bertopeng.
"Hiaat.. !" seru Lemung sembari meluncurkan tendangan kaki terbang.
Adanya serangan dari Lemung itu, membuat orang bertopeng mengurungkan niatnya untuk menggaplok Wuragu. Direndahkan tubuhnya demi menghindari tendangan yang mengarah kepala. Namun baru saja terhindar, dari arah samping Wuragu sudah menjulurkan pukulan. Bergegas orang bertopeng melenting ke samping sisi yang lain. Akan tetapi lagi - lagi sergapan dari lawan satunya sudah menghadang. Tiada jalan lain kecuali membenturkan kekuatan tangannya.
Akibat dari benturan tadi, orang bertopeng tidak terlihat mengalami sesuatu. Beda dengan Lemung, tangannya terasa panas dan sakit, hingga membuatnya meringis. Dari sini terlihat adu kekuatan tadi, menunjukan kalau Lemung masih jauh kemampuannya bila dibandingkan dengan orang bertopeng. Hanya saja bagi Lemung, kejadian tadi tidaklah menyurutkan nyalinya.
Mempertimbangkan waktu sudah berlalu dan belum juga mampu mendesak seorang pengganggu, Wuragu mulai menggerakan tangannya untuk mencabut pedangnya. Pedang tajam miliknya sudah seharusnya dapat mengakhiri ini semua, itu yang dipikirkan oleh Wuragu. Sejenak orang itu memainkan pedang, bergerak lurus lalu membelok seakan menebas udara dan meliuk - liuk lincah, dan terhenti di depan dada. Barulah Wuragu menyerang kembali lawannya menggunakan pedang yang tergenggam erat oleh tangan kanannya.
Tebasan panjang membelah penuh kengerian, tetapi lawannya bukanlah pohon pisang yang diam saja, tentu lawannya mencoba mengelak dari ganasnya pedang Wuragu. Sedangkan bagi Wuragu, tindakannya tak berhenti di satu serangan saja, melainkan serangan susulan terus mengejar kemana-pun tubuh lawan menghindar. Tidak akan berhenti jika tajamnya pedang tidak menggores kulit dan daging lawan. Ingin rasanya Wuragu mencincang orang bertopeng itu sampai arang keranjang, demi kepuasan dan mengobati rasa kesalnya.
Awalnya orang bertopeng hanya mengelak atau-pun menghindar. Tapi selanjutnya tangannya mulai meraih ikat pinggang yang terbuat dari bahan khusus. Sekali gerak ikat pinggang itu dapat membuat pedang ditangan Wuragu terpental.
Wuragu yang meloncat menjauh terkejut sembari menahan rasa nyeri pada tangannya. Dirinya tak mengira pedangnya yang terbuat dari besi gligen, dapat dimentalkan senjata lawan berupa ikat pinggang. Tak kalah tercengang adalah Lemung, bahkan orang itu yang sudah bersiap - siap dengan nanggalanya, terdiam bagai patung.
"Apakah orang itu Juru Mertani ?" batin Lemung.
Menyadari betapa hebat lawan mereka, Lemung memilih menghindar untuk sementara waktu. Terdengarlah orang itu memberi isyarat dan bergegas meninggalkan orang bertopeng. Demikian juga dengan Wuragu, ia berlari menyusul kawannya tanpa mengambil senjatanya yang jatuh entah kemana.
Kini tinggalah orang bertopeng berpakaian kuning kecoklatan yang masih berdiri memegang ikat pinggangnya. Sejenak ia mengenakan ikat pinggangnya dan memperhatikan keadaan sekitar barak. Tak lama kemudian orang bertopeng bersuara.
"Silahkan keluar, tuan."
Dari kegelapan malam seorang lelaki muncul mendekati orang bertopeng.
"Terima kasih, tuan." ucap ki Sentanu, "Apakah tuan ini Anakmas Juru Mertani ?"
Orang bertopeng itu mengerutkan alisnya, namun berkata, "Mengapa tuan senopati berkesimpulan seperti itu ?"
"Itu karena tuan menggunakan ikat pinggang sebagai senjata dalam menghalau dua orang tadi."
Orang bertopeng tertawa, "Hm... Rupanya bukan aku saja yang menggunakan ikat pinggang sebagai senjata. Juru Mertani ? Siapakah orang itu tuan ?"
Ki Sentanu mengerutkan alisnya. Benarkah orang ini benar - benar bukan Juru Mertani, anak ki Ageng Saba ? Ataukah orang ini hanya mempermainkan dirinya saja ?
"Sungguhkah tuan ini bukan Anakmas Juru Mertani putra ki Ageng Saba ?"
Terlihat orang bertopeng itu menggeleng, "Bukan tuan Senopati. Aku adalah Kilatmaya sahabat mendiang ki Panji Tohjaya."
"He... Be..narkah tuan tadi menyebut ki Panji Tohjaya ?" suara ki Sentanu agak gemetar.
"Tiada yang keliru apa yang kau dengarkan tadi, tuan Senopati. Apa yang dialami oleh mendiang ki Panji Tohjaya, hampir saja terjadi dengan diri Senopati pada malam ini." kata Kilatmaya, dan orang bertopeng itu mencoba menuturkan sedikit mengenai apa yang menimpa diri mendiang ki Panji Tohjaya.
Ki Sentanu sebenarnya sudah sejak lama mengendus sesuatu yang mencurigakan di dalam kadipaten Jipang. Tetapi baru malam ini dirinya menyadari bahaya itu mengancam nyawanya, jikalau tidak merasakan adanya hawa aneh menyergap barak prajurit, kecurigaannya semakin besar tatkala dinding biliknya ditimpuk kerikil, lantas ia mencoba keluar untuk melihat keanehan itu, akan tetapi baru saja membuka pintu, sekonyong - konyong sebuah bayangan menyergapnya dan membawanya ke tempat yang lebih gelap. Setelah semua terjadi barulah ia mengerti kalau orang tadi berniat menyelamatkan dirinya. Dan orang itu sekarang berada dihadapannya tanpa menunjukan jati dirinya.
"Hati - hatilah, tuan Senopati. Sepertinya anggota Surengpati berniat melenyapkan senopati yang berpendirian teguh seperti tuan ini." kata Kilatmaya mewanti - wanti, dan katanya selanjutnya, "Kalau begitu aku mohon pamit."
"Oh, tuan, kenapa terburu - buru ? Singgahlah dahulu barang sejenak." Ki Sentanu mencoba menahan sang penolongnya.
Tetapi Kilatmaya menolaknya dengan halus sembari menjelaskan mengapa dirinya tidak ingin berlama - lama di barak pasukan Jipang bagian barat. Dan ki Sentanu dapat menerima alasan yang diberikan oleh Kilatmaya, dan hanya menghantar kepergian penyelamatnya dengan tatapan sepasang mata saja.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 25
oleh : Marzuki
Berhasil meninggalkan barak pasukan bagian barat, Lemung dan Wuragu berlari menyusuri lorong yang sangat jarang dilalui orang apabila di siang hari, apalagi di malam hari menjelang tengah malam. Mendekati rimbunnya pohon bambu, keduanya berhenti dan salah seorang dari mereka menyibak alang - alang setinggi lebih dari orang dewasa yang tumbuh di samping pohon bambu, dan dari balik gerumbul nampak regol, Wuragu berdiri agak ke depan sambil membunyikan isyarat. Tidak menunggu waktu lama dari dalam terdengar seseorang mendekati pintu regol dan membukakannya untuk Lemung dan Wuragu.
Siapa yang mengira jika dibalik rimbunnya pohon bambu terdapat sebuah bangunan cukup besar ditengah tanah lapang. Sangat tepat untuk menyembunyikan sesuatu yang berbau rahasia dari endusan seseorang. Tempat itu merupakan barak khusus diperuntukan bagi sekelompok prajurit dibawah kendali ki Patih Mentahun. Dikatakan khusus karena sekumpulan prajurit itu tidak terlalu dikenal oleh kesatuan - kesatuan prajurit Jipang Panolan sendiri. Dan hanya segelintir senopati saja yang mengetahuinya.
Pada saat itu jumlah prajurit Surengpati tidak lebih dari dua puluh orang saja, terdiri dari orang - orang pilihan entah berasal dari Jipang sendiri atau luar telatah Jipang. Dari dua puluh orang itu ada seorang pemuda pilihan berasal dari padepokan Liman, gunung Wilis. Grendajaya panggilannya, murid ki Ageng Liman yang terkenal akan kehebatannya disekitar kadipaten Madiun. Dan oleh ki Patih Mentahun, Grendajaya mendapatkan kepercayaan besar sebagai Lurah di barak tersebut.
Kedatangan Lemung dan Wuragu pada tengah malam telah ditunggu - tunggu oleh Lurah Grendajaya. Sudah sejak tadi Lurah Grendajaya menanti kedatangan anggota prajuritnya di balai utama ditemani segelas wedang sere dan sepiring makanan kecil. Seperti hari - hari yang lalu, Lurah Surengpati itu sudah memastikan kalau anak buahnya pasti sanggup melakukan tugas - tugas yang diberikannya. Begitu terdengar isyarat dan terbukanya pintu regol, Lurah Grendajaya bangun dari duduknya dan berjalan mendekati tlundak. Dari situ dirinya dapat melihat dua orang baru saja, yaitu Lemung dan Wuragu.
Lemung dan Wuragu berjalan pelan, namun dengan pasti setiap langkahnya semakin mendekati tlundak balai utama. Debar jantung keduanya terasa lebih keras disetiap kali pandangan mata mereka melihat ke arah Lurah Grendajaya yang berdiri di atas tlundak. Tetapi walau begitu keduanya mencoba menguatkan hati mereka dan siap mendapat dampratan atau-pun kemarahan pemimpin Surengpati.
"Ah.. Lama sekali kalian malam ini. Rasa - rasanya malam ini seperti tak berujung saja. Ayo naik ke balai, kakang Lemung dan Wuragu." sambut Lurah Grendajaya.
Keduanya mengikuti Lurah Grendajaya yang berjalan mendekati tikar pandan yang tergelar di tengah balai utama. Lurah Grendajaya duduk yang diikuti oleh Lemung dan Wuragu. Senyum ramah menghiasi wajah Lurah Grendajaya, tanpa menyadari apa yang dialami oleh dua orang prajuritnya. Bahkan Lurah itu memberikan isyarat kepada anak buahnya yang lain untuk mengambil gelas diperuntukan bagi Lemung dan Wuragu.
"Minumlah dahulu, kakang. Tak usah kau buru - buru melapor." kata Lurah Grendajaya.
"Tapi... "
"Ah, Janganlah kau menunda - nunda minuman yang akan menghapus rasa dahaga setelah menyelesaikan ki Sentanu." potong Lurah Grendajaya.
Terpaksalah Lemung dan Wuragu meneguk gelas berisi air yang sudah disodorkan. Tegukan demi tegukan mengalir membasahi kerongkongan yang hampir kering, bukan hanya haus semata melainkan timbul dari kegelisahan akibat kegagalan tugas malam itu. Entah bagaimana untuk mengawali ucapan pahit setelah gelas sudah ditaruh kembali, Lemung terlihat tidak seperti malam - malam sebelumnya, yang selalu percaya diri. Tetapi jika kenyataan yang harus dilaporkan tertunda, malah membuatnya susah untuk bernapas barang sekejap.
Raut wajah gelisah dari Lemung atau-pun Wuragu tidak selamanya dapat disamarkan dari Lurah Grendajaya. Kerut dahi dalam Lurah Grendajaya terlihat seiring munculnya dugaan yang harus ia ketahui. Lantas saja pemimpin kesatuan Surengpati itu bertanya.
"Kakang berdua, mengapa sejak tadi duduk kalian tidak tenang ? Adakah setan dari ki Sentanu menghantui kalian berdua ?"
Keduanya bingung akan berbicara apa. Ditunggu - tunggu keduanya masih sulit bersuara, hal itu membuat Lurah Grendajaya agak kesal akan tingkah laku dari keduanya. Mendadak Lurah Grendajaya membentak keras hingga membuat kedua bawahannya hampir loncat dari duduknya.
"A..ampun, ki Lurah. Hukumlah kami berdua yang tak becus melaksanakan tugas kali ini.. " Lemung memohon.
"Su..sungguh a..ampuni kesalahan kami, ki Lurah.. " begitu juga dengan Wuragu.
Wajah yang awalnya cerah laksana purnama, lenyap seketika adanya awan berarak menutupinya. Gemeletuk geraham saling beradu terdengar dari Lurah Grendajaya yang menahan luap amarahnya. Tidak habis pikir jika dua bawahannya yang tergolong cukup hebat dalam olah kanuragan, tidak bisa menyelesaikan seorang seperti ki Sentanu, yang hanya perwira rendah.
"Bagaimana mungkin kalian berdua kalah dengan orang itu ? Padahal sebelumnya kalian mampu melenyapkan Wong Rampah, kakak seperguruannya ?" tanya Lurah Grendajaya.
Lemung memberanikan diri untuk menjelaskan duduk persoalannya, "Bukan begitu, ki Lurah. Melainkan yang kami temui orang lain."
Alis Lurah Grendajaya terangkat, "Maksudmu ?"
Lalu Lemung mencoba menuturkan apa yang sebenarnya terjadi. Mulai dari pengamatan di barak selama beberapa hari. Di malam hari keduanya menghampiri barak dan menyelinap menggunakan ilmu sirep. Awalnya semua yang diharapkan berjalan cukup mulus, hingga tanpa diduga - duga muncul seorang berpakaian kuning kecoklatan dan juga menutupi jati dirinya menggunakan topeng. Tidak lupa Lemung juga mengatakan kalau dirinya bersama Wuragu sempat berhadapan dengan orang bertopeng itu. Dan ternyata kemampuan orang bertopeng sangatlah hebat dan nggegirisi, hanya menggunakan ikat pinggang sebagai senjata mampu membuat pedang Wuragu terlepas dari tangan.
"Orang bertopeng ?" ucap Lurah Grendajaya, lirih.
"Benar, ki Lurah. Dan aku mengira kalau orang itu putra ki Ageng Saba."
"He.. Juru Mertani !?"
"Itu yang aku duga, karena dahulu aku pernah melihatnya saat Juru Mertani menghadapi begal hanya menggunakan ikat pinggang." tutur Lemung.
Adanya orang bertopeng yang menggagalkan pembunuhan ki Sentanu, telah membuat Lurah Grendajaya terdiam demi memikirkan ke-ikut-campuran pihak lain. Terlintas dipikiran Lurah Grendajaya dengan sosok Juru Mertani, yang ia ketahui ada sangkut paut dengan orang - orang Pajang. Siapa yang tidak mengenal seorang pemuda yang sering melalang buana sebagai pengembara itu ? Sangatlah jelas bagi Lurah Grendajaya untuk membayangkan akan pemuda yang sepantaran dengan dirinya itu.
"Mungkinkah dia ? Tetapi jika benar - benar Juru Mertani, Pajang sudah mengendus keberadaan Surengpati ?" batinnya.
"Baiklah, kalian boleh kembali." Lurah Grendajaya membolehkan kedua bawahannya kembali.
Tinggalah dirinya sendiri di balai utama.Dirinya masih memikirkan akan adanya orang bertopeng bercirikan senjata ikat pinggang. Rasa penasaran menggelayuti pikirannya, sejenak terlintas adanya sosok - sosok lain.
"Hm.. Juru Mertani, Sadewo, Orang Bercambuk ataukah orang lain yang berpihak terhadap Pajang ?" desisnya, lirih.
Sementara itu tidak jauh dari barak rahasia Surengpati, orang bertopeng yang mengaku dirinya Kilatmaya, terlihat termangu - mangu ketika sewaktu menyaksikan adanya gerumbul pohon bambu. Sempat terlintas akan mencoba memasukinya, akan tetapi atas pertimbangan lain ia mengurungkan niatnya. Terlihat Kilatmaya membalikan badan dan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kediaman Senopati Jipang.
Pergerakannya yang didukung ilmu meringankan tubuh membuat Kilatmaya atau Lurah Arya Dipa telah sampai di depan kediaman Senopati Jipang. Sejenak dilepas topeng yang menutupi wajahnya dan tak ketinggalan melepas pakaian luarnya. Selesai semuanya dengan sangat cepat layaknya kilat, tubuh itu menyelinap tanpa diketahui oleh prajurit penjaga.
"Oh.. Kau mengagetkan saja, kakang."
"Kau masih terjaga, Adi Swantantra ?"
"Sudah dua kali aku terbangun." sahut Lurah Swantantra, "Apa yang kau temukan, kakang ?"
Lalu Lurah Arya Dipa mengatakan seperlunya saja agar tidak menimbulkan kegaduhan.
"Sudahlah, esok aku teruskan. Badanku letih setelah menggerakan tubuhku di malam hari ini."
"Hm... Tidurlah. Aku akan berjaga disisa malam ini."
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 26
oleh : Marzuki
Malam yang memasuki dini hari itu tiada sesuatu terjadi. Ketenangan di kediaman Senopati Jipang berlanjut hingga fajar merekah di atas langit timur. Tiga prajurit yang bertugas mulai meninggalkan tempat berlindung dibalik semak tanpa menemui kejanggalan barang sedikit. Utusan dari Demak dalam pengintaian yang mereka lakukan semenjak wayah sepi bocah, tidak diketahui jika salah satunya sempat menyelinap keluar, hingga sampai di barak pasukan bagian barat serta mendekati tempat persembunyian pasukan Surengpati.
Dalam pada itu, dari depan regol terdengar kaki kuda mendekati kediaman Senopati Jipang. Penunggang itu turun dari kudanya dan menghampiri prajurit yang berjaga di pintu regol. Terlihat penunggang kuda itu memperlihatkan tanda keprajuritan serta berbicara akan maksud kedatangannya. Dan salah seorang prajurit penjaga memperbolehkan penunggang kuda untuk memasuki kediaman Senopati Jipang.
Dengan diantar oleh prajurit lainnya, penunggang kuda yang tiada lain prajurit Sandirana, dipertemukan dengan Lurah Arya Dipa dan Swantantra yang duduk di pringgitan. Prajurit Sandirana melaporkan akan tugas yang diembannya atas perintah Lurah Arya Dipa untuk meminta surat khusus dari senopati Wira Tamtama yang menggantikan kedudukan Tumenggung panglima Wira Tamtama. Diserahkan surat itu kepada Lurah Arya Dipa beserta pesan - pesan dari senopati Wira Tamtama. Tentu bagi Lurah Arya Dipa, pesan itu telah diresapi dengan sungguh - sungguh agar tidak salah dalam penyelaksanakannya.
"Semuanya sudah ada. Untuk selanjutnya akan aku serahkan kepada Senopati Jipang." kata Lurah Arya Dipa.
Tidak beberapa lama seorang prajurit menghampiri pringgitan untuk menyampaikan pesan dari Senopati Jipang untuk Lurah Arya Dipa dan Lurah Swantantra, agar memasuki balai utama. Keduanya sejenak merapikan pakaian dan berdiri mengikuti prajurit tadi. Sedangkan untuk prajurit Sandirana tetap dipringgitan menunggu kedua Lurah selesai dalam menghadap Senopati Jipang.
Pertemuan di balai utama tidak hanya ada Senopati Jipang saja, melainkan beberapa punggawa dalam bidang keprajuritan juga ada. Cukup alot pembicaraan yang berlangsung, bahkan sempat memanas barang sesaat. Pihak Jipang ternyata sangatlah angkuh dan tinggi hati untuk mengakui akan kesalahannya dalam menempatkan pasukan Yuda Murda di perguruan Candra Bumi. Tetapi Lurah Arya Dipa dengan sabar telah membeberkan dengan jelas dan kuat, sehingga membuat punggawa Jipang terdiam. Apalagi melalui surat dari senopati Wira Tamtama Demak sudah memberikan bukti sekaligus sangsi akan pelanggara yang dilakukan oleh pihak Jipang jika masih membandel.
"Hm.. Sudah diputuskan mengenai diri Lurah Sambu, yaitu dia harus mendapatkan hukuman sesuai kesalahan yang ia lakukan. Selain itu untuk kesatuan Yuda Murda harus dibubarkan, dimana bekas prajurit itu akan dilebur ke-kesatuan yang lain yang sudah mendapat pengakuan dari panglima tertingga Wira Tamtama." kata Senopati Jipang.
Lurah Arya Dipa menggangguk, sedangkan Lurah Swantantra sebenarnya masih ragu akan keputusan dari Jipang.
"Seperti janjiku kemarin, hari ini tiga perwira ini akan menjemput pasukan Yuda Murda di perguruan Candra Bumi. Karena itu bukan maksudku untuk mengusir kalian, tetapi bila ketiganya tiada yang mengiringi, tentu akan menimbulkan kecurigaan dari ki Panji Priyambudi yang bertanggung jawab menunggui di perguruan itu." kata Senopati Jipang.
"Tidak mengapa, tuan Senopati. Kami juga berniat lekas kembali jika persoalan yang kami sampaikan sudah terang dan tuntas. Akan tetapi... " Lurah Arya Dipa mencoba tidak langsung keintinya, dan hal itu membuat Senopati Jipang dan tiga perwira lainnya mengernyitkan alisnya tanda penasaran.
"Akan tetapi apa, ki Lurah ?"
"Hm.. " desuh Lurah Arya Dipa, perlahan, "Adakah sesuatu yang tersimpan dibalik serumpun bambu yang tumbuh tak jauh dari pura Jipang ini, tuan Senopati ?"
"He... Apa yang kau maksud, ki Lurah ? Janganlah kau mudah berpikiran yang tidak - tidak !" suara Senopati itu agak meninggi.
"Mohon maafkan akan kelancanganku, tuan Senopati. Ini hanya rasa penasaran yang bertepatan dengan mimpiku saja." sahut Lurah Arya Dipa, "Entah itu hantu atau-pun barang halus telah sembrono memasuki sarang harimau yang nyata - nyata milik tuannya sendiri."
Dahi Senopati itu mengernyit, bibirnya mulai bergerak, akan tetapi telah didahului oleh salah seorang perwira.
"Hahaha.... Mimpi ki Lurah sangatlah menghibur. Hingga aku tak tahan untuk mrnahan tertawa, hahaha.. "
Lurah Swantantra sedikit kesal akan tingkah laku perwira itu, tetapi dengan cepat Lurah Arya Dipa menggamitnya.
"Syukurlah jika itu cukup menghiburmu, tuan. Bila suatu hari kita jumpa lagi, marilah menyempatkan diri untuk saling berkelakar." ucap Lurah Arya Dipa.
Perwira itu menyunggingkan bibirnya seraya mengelus jenggotnya.
Dan seperti yang dikatakan oleh Senopati Jipang, pada hari itu juga tiga perwira akan menjemput pasukan Yuda Murda. Terpaksa Lurah Arya Dipa dan Swantantra juga prajurit Sandirana mengiringi ketiganya. Keberangkatan mereka tepat setelah wayah temawon, ke-enam kuda terlihat keluar dari regol kediaman Senopati Jipang. Debu-pun mengepul mengiringi langkah iringan kuda, diiringi tatapan dua pasang mata dari pinggir jalan.
"Tak salah lagi, ki. Itu cucu Begawan Jambul Kuning." desis seorang lelaki tampan.
"Hm.. Aku tak mengira jika dia berada disekitar sini." sahut orang disampingnya.
"Akankah ki Wanapati bertindak sekarang ?"
Ki Wanapati menggeleng, "Aku tidak terburu - buru, Raden. Hanya dengan sekali gerak cucuk kembaranku itu tentu dapat aku lumatkan."
"Hm, Aku percaya itu, ki." timpal Raden Sajiwo, "Baiklah kalau begitu, kita lanjutkan menemui Raden Arya Mataram."
Lantas keduanya berlalu.
******
Iringan kuda baru saja melewati pintu gerbang kadipaten Jipang Panolan, terdiri dari tiga prajurit Demak dan tiga prajurit Jipang. Karena jalan masih terdapat orang - orang berlalu lalang, kuda - kuda yang mereka tunggangi berjalan pelan. Hingga suatu kali sampailah iringan melewati jalan tak seramai pada awalnya. Begitu juga dengan lorong jalan semakin menyusut, tersisa hanya cukup dua kuda saja. Dan jalan tidak serata waktu di pura kadipaten atau-pun kademangan.
Sebuah kenyataan yang terlihat diantara iringan itu, sangat kentara adanya jarak yang memisahkan antara prajurit Demak dan prajurit Jipang. Seakan - akan terlalu sulit bagi iringan itu untuk saling berbaur, terutama bagi iringan prajurit Jipang, yang memilih menjalankan kuda agak pelan. Untung saja prajurit Demak tidak terlalu memasukan ke hati.
Pada waktu menjelang senja, iringan kuda itu mulai mendekati tepian Bengawan Sore. Kali ini yang dipilih sebagai tempat penyeberangan agak menjorok ke hulu, sebuah penyeberangan terbilang cukup ramai walau hari hampir memasuki peraduannya. Terlihat tiga satang berlabuh dengan tukangnya yang berteriak memanggil pelanggan yang akan menyeberang. Karena yang masih luang hanya satang paling ujung, ki Lurah Arya Dipa mendahului untuk menghampiri satang tersebut. Dan Lurah Arya Dipa memesan untuk enam orang sekaligus enam kuda tunggangan.
"Baik, tuan. Satang ini cukup besar dan kuat." tukang Satang menyanggupi.
Tetapi tiba - tiba salah seorang perwira Jipang angkat bicara, "Biarlah tiga orang itu saja. Kami bertiga akan menunggu satang dari seberang."
"Ah, itu memakan waktu terlalu lama. Satang yang pertama masih belum sampai di tengah." kata Lurah Swantantra.
"Kami tidak buru - buru." kilah perwira tadi, "bukankah begitu, kakang Wasi dan Poleh ?"
"Hm, benar, adi." sahut perwira yang jenggotnya lancip.
Lurah Swantantra jengkel akan sikap perwira itu, ia kemudian menatap Lurah Arya Dipa untuk meminta jawaban. Dan Lurah Arya Dipa bersuara sembari menarik tali kudanya.
"Kalau begitu kami bertiga akan menyeberang dahulu."
Terpaksa Lurah Swantantra mengikuti, begitu juga dengan prajurit Sandirana mulai menaiki satang. Tak berselang lama tukang satang mulai melepas tali dari patok dan mengendalikan satang untuk menuju ke seberang bengawan. Pelan namun pasti satang bergerak membelah arus air. Dengan terampil tukang satang mengendalikan penuh tanggung jawab, agar tak mengecewakan pelanggan yang sudah menyewa tenaganya. Dan semakin jauhlah tepian yang masih ditempati tiga perwira Jipang, yang berdiri tenang seakan - akan memperhatikan indahnya arus bengawan.
"Kakang, mereka sepertinya ingin membuat gara - gara." desis Lurah Swantantra.
"Bersabarlah, adi. Jangan kau pedulikan mereka." sahut Lurah Arya Dipa.
"Tapi mereka sudah keterlaluan, ki Lurah." kali ini prajurit Sandirana ikut berbicara, "Sudah tiga kali mereka mencoba memancing persoalan dengan kita. Terutama orang berbadan tambun itu."
Lurah Arya Dipa sebenarnya juga merasakan akan tingkah polah dari ketiga perwira Jipang. Tidak hanya diperjalanan, tetapi semenjak di kediaman Senopati Jipang. Walau begitu dirinya mencoba untuk menahan sesuatu yang tidak semestinya terjadi, agar persoalannya tidak semakin melebar dan runyam.