Jumat, 17 November 2017

PANASNYA LANGIT DEMAK 12 (27-30)

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 27
oleh : Marzuki

   Menanggapi sikap yang ditunjukan oleh orang - orang Demak, membuat ketiga perwira Jipang kesal. Mereka menganggap apa yang selama ini dilakukan untuk memancing gara - gara selalu tidak dihiraukan sama sekali. Hal itu memnjadikan luapan kekesalan semakin membesar dan tidak mampu lagi dibendung. Bobol sudah endapan terdalam penuh dengki terhadap orang - orang Demak dan hanya bisa tersalurkan atau terpuaskan melalui benturan wadag saja.

   Terutama yang paling besar dirasakan oleh Lurah Mintorogeni, seorang Lurah berperawakan tambun namun memiliki bekal ilmu yang mumpuni. Usia muda dirinya menambah gelora api begitu besar dan ganas. Tanpa pikir panjang selalu pertama dalam hal menyatakan pendapatnya untuk berterus terang menantang tiga orang Demak.

   Dan Lurah Poleh selaku orang tertua dari perwira Jipang, menyetujui usul dari Lurah Mintorogeni. Maka sudah diputuskan apabila satang yang ditumpanginya sampai di seberang, ia akan segera menyampaikan tantangan mereka. Tidak hanya dimulut semata apa yang sudah disepakati, sesampainya di tepian yang dituju dan setelah memberi upah kepada tukang satang, Lurah Poleh memimpin kawan - kawannya mendekati Lurah Arya Dipa dan lainnya, yang sudah menunggu di atas tanggul.

   "He, Lurah Arya Dipa !" serunya, "Tak perlu panjang lebar, di tempat ini untuk membuktikan kalau kita sama - sama prajurit, kami menantang bergulat !"

   Dahi Lurah Arya Dipa mengernyit. Ia tidak mengira jika orang - orang Jipang berlaku seperti itu. Tindakan ini bila merujuk pada aturan yang sudah diterapkan dikitab olah keprajuritan, akan mendapat sangsi yang tak olah - olah. Apalagi disaat mengemban tugas seperti ini. Akan tetapi sebelum Lurah Arya Dipa angkat bicara, kawannya sudah mendahului.

    "Benar bukan, kakang Lurah. Gerak - gerik mereka sejak awal sudah mencurigakan. Ternyata inilah niat yang terkandung setelah sekian lama terpendam." kata Lurah Swantantra, "Tapi itu tidak masalah. Malah ini yang aku tunggu sejak pertama keluar dari kediaman Senopati Jipang."

   "Huh.. Angkuh sekali kau, Lurah Swantantra ! Baiklah biarlah diriku yang pertama berhadapan dengan dirimu, ingin cepat - cepat rasanya aku membuatmu menyalangkan mata saat kau terdesak akan kekuatanku !" Lurah Mintorogeni berkata lantang.

   Sangatlah sulit mencoba melerai dua Lurah berjiwa muda itu untuk tidak berlaku seperti itu, karena keduanya sudah meloncat saling menerjang. Kaki Lurah Mintorogeni terjulur lurus mengarah lambung Lurah Swantantra, tetapi kaki tiada menemui sasaran yang diinginkan karena Lurah Swantantra sudah menghindar. Giliran Lurah Swantantra membalas serangan menggunakan pukulan tangan kanan, dan sekaligus tendangan jika lawan menghindar dari serangan pertama. Dan terjadilah pergulatan seru dan sengit antara kedua prajurit beda telatah itu.

   Di luar kalangan, Lurah Arya Dipa hanya dapat menarik napas mendapati kejadian yang tidak bisa dilerainya secara halus. Bila menggunakan tindakan kasar sebenarnya bisa saja, tetapi hal itu akan menimbulkan sesuatu yang lebih berbahaya. Maka jalan yang harus dilalui hanya sebatas mengikuti saja dan tidak meninggalkan kewaspadaan apabila diperlukan tindakan untuk mencegah sesuatu yang lebih berbahaya.

   Dalam pada itu tangan dari Lurah Swantantra mencoba membelit leher lawannya. Jika saja lawannya tidak lekas menjatuhkan diri dan melenting menjaga jarak, leher itu akan sempal terkena belitan tangan kokoh daripada Lurah Swantantra. Namun dengan tangkas Lurah dari Wira Manggala itu tidak begitu saja melepaskan mangsanya, sepasang kakinya bergerak seperti menggenjot tanah, dan tubuh itu sudah melayang deras mengarah lawannya sembari menjulurkan sepasang tangannya.

   Di depan Lurah Mintorogeni tidak tinggal diam. Dirinya tidak ingin dadanya amblong terhantam pukulan lawan. Oleh karena itu dengan sikap penuh percaya diri, Lurah berbadan tambun itu sudah mempersiapkan kedua tangan saling menyilang di depan dada. Begitu-pun dengan sepasang kaki memasang kuda - kuda yang kokoh, seakan - akan sepasang kaki tersebut mengakar ke dalam tanah. Ini pertanda kalau perwira Jipang itu melepas ilmu pemberat tubuh yang dikenal, aji Dhanapala.

   Sekejap kemudian sebuah benturan tak dapat dihindari. Lurah Swantantra mental cukup deras, walau agak terhuyung - huyung dirinya mampu bertahan. Sementara di depan Lurah Mintorogeni mampu mengaitkan kedua kakinya tanpa tergeser sedikit-pun.

   Sejenak Lurah Swantantra mengumpulkan kembali kekuatannya. Dan telapak tangamnya masih terasa nyeri akibat benturan yang terjadi. Rasa takjub menggelayuti sanubari Lurah muda itu, melihat dan merasakan kalau lawannya benar - benar memiliki bekal yang sangat mumpuni. Karenanya untuk selanjutnya ia harus lebih berhati - hati agar tidak menyesal diakhir perkelahian.

   "Hehehe.. Lumayan juga seranganmu tadi, Lurah Swantantra. Tetapi itu belumlah cukup untuk menggoyahkan aji Dhanapalaka." ucap Lurah Mintorogeni.

   Tiada tanggapan yang diutarakan oleh Lurah Swantantra. Lebih baik saat seperti itu ia gunakan untuk memperbaiki aliran darah ditubuhnya agar tidak mengalami kebuntuan. Dan juga sesudah itu persiapan ke tataran selanjutnya berupa ilmu cadangan akan ia ungkap, diawali berupa ilmu meringankan tubuh.

   Cepat bagai belalang tubuh Lurah Swantantra melenting ke depan. Tangan mengembang menyambar tubuh tambun yang hampir dikenainya. Dan sekali lagi serangan susulan diluncurkan bertubi - tubi, membuat lawannya harus mundur beberapa langkah.

   "Edaaaan.. !" damprat Lurah Mintorogeni, tatkala pundaknya ngilu akibat terhantam tangan lawan.

   Tidak hanya sekali atau dua kali serangan Lurah Swantantra berhasil mendarat di tubuh Lurah Mintorogeni, hampir setiar pergerakan tubuh itu menjadi sasaran empuk. Hingga hampir saja tubuh itu terlempar apabila sebuah dahan menghalangi laju dari pada ki Lurah Swantantra. Keberuntungan rupanya menghampiri Lurah berbadan tambun tadi, sewaktu dirinya hampir terkena tendangan, sebatang pohon yang rapuh jatuh terkena angin dan tepat di depan Lurah Swantantra.

   "Hampir saja.. "desis Lurah Wasi dan Poleh, berbarengan.

   Usai memperbaiki pertahanannya, Lurah Mintorogeni siap membalas kekalahan yang menghampirinya tadi. Terlihat tangannya samar - samar membara, menunjukan ilmu Tapak Geni sudah ia terapkan. Dirinya tak ambil pusing bila harus mengorbankan nyawa lawannya. Tidak perduli jika dua kawan lawannya tidak terima dan ingin bersama - sama mengeroyoknya, malah itu menjadikan pekerjaannya cepat usai. Tetapi dugaannya tidak semuanya benar, memang Lurah Arya Dipa dan prajurit Sandirana cemas ketika menyaksikan perang tanding itu mulai merambah ilmu yang nggegirisi, tetapi mereka yakin jika Lurah Swantantra dapat mengimbanginya.

   Seperti yang diharapkan oleh Lurah Arya Dipa dan prajurit Sandirana, Lurah Swantantra yakin kalau dirinya bisa melayani ilmu lawannya. Dirinya bukanlah seorang yang kosong melompong saat mengikuti pendadaran keprajuritan. Gurunya walau tidak cukup terkenal namun memiliki ilmu pamungkas yang cukup mumpuni. Aji bersumber dari inti air telah ia terima setelah sekian lama tapa gentur dalam lelaku.

   Dipersiapkan dirinya memusatkan nalar budi meminta kepada Dzat Suci untuk menjaganya saat ilmu atau aji Tapak Tirta ia ungkap. Tangan yang awalnya saling beradu di depan dada mulai terurai bersaman kaki kiri bergeser ke belakang. Dan dibarengi teriakan membahana Lurah dari Wira Manggala itu meloncat ke depan menyongsong sepasang tapak yang membara.

   "Byaaaaar...... !"

   Ledakan dahsyat terdengar di dekat tepian Bengawan Sore. Dua ilmu puncak berbeda sumber saling bertemu mengakibatkan kedua penggunanya mencelat ke belakang.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 28
oleh : Marzuki

   Napas Lurah Mintorogeni kembang kempis akibat dari benturan yang terjadi. Wajahnya pucat, darah merembes membasahi sela - sela bibirnya. Dengan memegangi dadanya yang sesak orang berbadan tambun itu mencoba mengatur peredaran darah yang sempat terganggu. Di sampingnya Lurah Wasi duduk jongkok menahan tubuhnya yang terduduk.

   Tidak berbeda jauh dengan Lurah Mintorogeni, Lurah Swantantra-pun mengalami nasib yang sama, dadanya terasa panas bukan main. Untung saja ilmu bersumber dari inti air yang ia miliki dapat mengurangi rasa panas menyengat itu perlahan demi perlahan. Bergegas ia duduk bersila memusatkan nalar budinya demi mengatur ilmu prana memulihkan peredaran darah beserta luka dalam yang dideritanya.

   Mengetahui akhir hampir atau dibilang seimbang itu, Lurah Arya Dipa kemudian berkata, "Selesai sudah pada akhirnya, ki Lurah Poleh. Adi Swantantra dan ki Lurah Mintorogeni sama  - sama mengalami luka dalam yang memberatkan keduanya untuk melanjutkan perkelahian ini. Itu juga menandakan kalau tindakan itu pada akhirnya tidak membawa manfaat apa - apa."

   "Kau salah, Lurah Arya Dipa. Justru putaran kedua harus dilakukan untuk menentukan siapa diantara kita yang menang." sanggah Lurah Poleh.

   Rasa was - was merasuki hati Lurah Arya Dipa. Bila dirinya tidak mau menerima tantangan itu, ia takut jika prajurit Sandirana malah menerimanya. Oleh sebab itu agar tidak menimbulkan akibat yang justru membahayakan, Lurah Arya Dipa menerima tantangan tersebut. Tetapi sebelum memulainya ia telah meminta persyaratan yang harus disetujui oleh pihak Jipang.

    "Hm.. Apa yang kau inginkan, Lurah Arya Dipa ?" tanya Lurah Wasi.

   "Jika salah satu dari kalian saat menghadapi diriku dan seorang yang tersisa merasa tidak puas, aku membolehkan kalian bersama - sama menghadapiku." kata Lurah Arya Dipa, yang tidak seperti biasanya berlaku menyombongkan diri.

   "E.. Tobat, sumbarmu setinggi gunung Merapi !" seru Lurah Wasi, dan kemudian menoleh kepada Lurah Poleh, "Biarlah aku saja yang membereskannya, kakang."

   Lurah Poleh mengangguk menyetujui kesanggupan dari Lurah Wasi. Dirinya percaya akan kemampuan yang dimiliki oleh Lurah Wasi, salah satu murid ajar dari pulau Nusa Barung. Yang memiliki segudang ilmu kadigdayan dan kawijayan. Terutama aji kebal akan senjata tajam ataupun pukulan.

   "Ayo, Lurah Arya Dipa, kita mulai permainan ini dengan segera" ajak Lurah Wasi sembari memasang kuda - kuda.

   Lurah Arya Dipa beranjak mendekati lawannya. Baru saja ia sampai, sebuah serangan dengan tiba - tiba telah dilayangkan oleh lawannya. Serangan cukup mengerikan dan berbahaya, tetapi Lurah Arya Dipa sejak awal sudah menyadari dan mewaspadai dengan menerapkan ilmu pangrasanya. Getaran sedikit saja dari gerakan yang ditimbulkan lawan dapat ditangkap melalui indera telinga dan dengan sigap dapat dihindarinya.

   "Hehehe.. Tangkas juga kau rupanya !" puji Lurah Wasi, menyertai dengan gerakan tangan menggaplok kepala lawannya.

   Tetapi sekali lagi lawannya dapat lolos. Sehingga hal itu menimbulkan rasa penasaran mengapa lawannya sangat sulit dikenai. Meskipun dari awal sudah disadari akan kemampuan dari lawannya, ia tak mengira jika lawannya benar - benar merepotkannya. Sudah hampir sepuluh tata gerak dimainkan, tak satupun serangan yang diupayakan dapat menyentuh kulit lawannya. Maka tataran dari apa yang diterapkan mulai ditingkatkan lebih tinggi.

   Tata gerak rumit penuh kembangan menderu hebat layaknya ribuan kincir yang mengurung mangsa. Tetapi yang diburu adalah seekor burung yang memiliki kemampuan terbang sangat lihai dan bahkan mampu mengendalikan udara disekitarnya. Kincir yang berjumlah ribuan lambat laun rompal tersambar hebatnya sayap burung, menyisakan keretakan disana - sini.

   "Setan alas, ilmunya masih dapat mengimbangiku." gerutu Lurah Wasi dalam hati.

   Tidak hanya Lurah Wasi saja yang heran, begitu juga dengan Lurah Poleh yang berada di luar kalangan. Malah Lurah Poleh lebih tahu akan keunggulan yang diterapkan oleh Lurah Arya Dipa dibandingkan Lurah Wasi. Padahal di Jipang Lurah Wasi merupakan seorang perwira yang memiliki bekal kanuragan melebihi seorang senopati, tetapi menghadapi seorang Lurah yang masih muda, dibuat berkeringat.

   "Itu mungkin adi Wasi belum bersungguh - sungguh." kata Lurah Poleh, mencoba menghibur hatinya.

   Tataran demi tataran menanjak naik dengan seiringnya waktu berjalan. Kemampuan tata gerak aneh dan dibumbui tipuan selalu menghantarkan rasa ngeri bila memandangnya. Tetapi semua itu bagi seorang prajurit sudah merupakan hari - hari yang terlewati tanpa mengindahkannya lagi. Masih puluhan bahkan ratusan kengerian yang harus dilalui dan dilewati jika ingin hidup lebih mukti. Karena bagi seorang prajurit, pembaringan adalah tajamnya pedang dan hamparan pedang adalah tempat yang nyenyak untuk berbaring.

   Suatu kali sebuah sapokan mengarah dengan kencangnya ke tubuh Lurah Wasi. Mengetahui ancaman itu, Lurah Wasi bergegas mengisarkan kakinya seraya membalas tendangan ganas. Akan tetapi lawannya cukup sebat menghindarinya sembari meloncat tinggi sambil melakukan tendangan atas. Hampir saja kepala Lurah Wasi amblas jika tidak bergegas merendah.

   Kaki dan tangan dari masing - masing prajurit itu, terampil dan cekatan. Ditambah daya tahan tubug luar biasa dan juga olah pikir dalam membaca arah serangan, menjadikan perkelahian sangat seru dan sengit. Menunjukan betapa keduanya memiliki segudang pengalaman dan peningkatan dalam setiap geraknya.

   Di pinggir Lurah Swantantra dan prajurit Sandirana terpana akan kehebatan dari Lurah yang dekat dengan Adipati Anom dan juga Adipati Pajang itu. Bahkan keduanya sempat mendengar kalau sejak awal Lurah Arya Dipa beberapa kali menolong Sultan Trenggono, disaat sang Sultan masih seorang Pangeran. Barulah keduanya benar - benar percaya akan warta itu. Di atas tanggul Bengawan Sore, keduanya menyaksikan akan kelincahan, kesebatan, dan trengginasnya seorang Lurah Arya Dipa, seorang perwira dari Wira Tamtama.

   Sudah sangat lama perkelahian itu berlangsung seru. Tanah yang mereka pijaki berubah bentuk tak karuan. Desir angin tajam menghamburkan daun - daun kering dan juga debu. Kecepatan gerak semakin lama juga bertambah meningkat lebih berbahaya dan nggegirisi. Seakan udara terkoyak oleh deru yang mereka timbulkan.

  Ilmu yang dirambah sudah mendekati ilmu cadangan. Dan pada akhirnya diterapkanlah ilmu yang hanya terpendam terdalam di wadag mereka. Udara semakin tajam dan panas. Warna aneh mulai menyelimuti tibuh masing - masing, pertanda ilmu tinggi telah menyeruak keluar. Lengah sedikit saja nyawa menjadi taruhannya. Karenanya masing - masing dituntuk berlaku waspada dan mampu berpikir jernih agar dapat mengendalikan ilmu mereka.

   Betapa ilmu dari pulau Nusa Barung memang hebat dan ngedab - ngedabi. Ilmu meringankan tubuh, membuat tubuh Lurah Wasi bagai tak berbobot, meloncat kian kemari penuh kesebatan. Belum lagi tangannya baga potongan besi gligen yang dapat meremukan batu sebasar kepala anak sapi. Ditambah lagi desir tajam disaat orang itu menyambar mangsanya. Benar - benar perpaduan ilmu yang tidak bisa dipikir dengan akal biasa.

   Disisi yang lain Lurah Arya Dipa tidak bisa dipandang sebelah mata. Sosok yang meskipun masih muda, ia memiliki bekal ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu dan juga rontal dari Panembahan Anom, serta beberapa ilmu dari Sunan Kalijaga. Perpaduan ilmu dan juga keberuntungan yang tertanam dalam dirinya, menjadikan Lurah muda itu trengginas dalam tata geraknya. Bila dia benar - benar menerapkan ilmunya, bisa saja tanggul yang ada ditepian Bengawan akan luruh seketika. Tapi sikap rendah diri sudah mendarah daging dan menahannya untuk berbuat ugal - ugalan.

   Dirinya akan bertindak jika lawan sudah berlaku melebihi batas. Itulah yang selalu terngiang - ngiang disanubarinya. Selain itu waktu untuk membuat lawannya kalah belum pada tempatnya.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 29
oleh : Marzuki

   Gerakan cepat terus meningkat lebih tajam dan berbahaya disetiap sasaran yang diincar oleh Lurah Wasi. Tangannya menjulur lurus laksana seekor ular yang siap membelit anggota tubuh lawannya. Dengan dilambari ilmu yang dimilikinya, perpaduan tata gerak aneh penuh tipuan selalu diterapkan oleh perwira Jipang itu. Meskipun lawannya terus mengelak dan menghindar, tangan itu bagai memanjang mengejar kemana-pun lawannya. Seolah - olah sebuah perpanjangan dari anggauta tubuh tersendiri.

   Menghadapi tata gerak yang begitu rumit dan aneh disertai tipuan yang membahayakan dirinya, tidaklah menjadikan Lurah Arya Dipa kesulitan. Pembelajaran akan ilmu olah kanuragan dari beberapa sumber telah mendarah daging bersamaan waktu - waktu yang dilaluinya selama ini. Kitab Cakra Paksi Jatayu, rontal dari Panembahan Anom, wejangan dari kanjeng Sunan Kalijaga dan juga Pangeran Buntaran, melebur menjadi satu saling mengisi menimbulkan tenaga dahsyat yang menggerakan tubuhnya sebat. Tangan dan kakinya begitu terampil mementahkan setiap gempuran dari musuhnya, tubuhnya lentur disetiap menerapkan tata gerak, dan panca inderanya sigap akan ancaman yang datang, sehungga dengan cepat sudah bersiap sedia untuk memberikan tanggapan.

   Memasuki puluhan dan hampir ratusan tata gerak belum juga menemui hasil, membuat Lurah Wasi mengkal dan marah. Tandangnya semakin keras berusaha untuk segera menyentuh lawannya. Ditingkatkan tataran yang ia miliki demi mewujudkan keinginannya itu. Ilmu cadangan semakin terasa menyeruak dari balik tubuhnya. Hawa aneh mulai ikut andil dengan adanya gelegak warna semburat merat mengelilingi tubuh Lurah Wasi, menandakan kalau orang itu benar - benar tak lagi mengekang ilmunya.

  Penerapan Aji Brajageni telah dibangkitkan untuk melumpuhkan lawannya yang alot. Sentuhan - sentuhannya walau belum mengenai tubuh lawan sangatlah berbahaya. Walau tangannya masih berjarak satu jengkal, udara disekitar sudah mulai terasa panas menyengat. Kalau lawannya hanyalah seorang manusia biasa, pasti penerapan ilmu itu akan membuat orang itu mati tak tahan akan udara panas tersebut.

   Berbeda dengan Lurah Arya Dipa. Mendapati lawannya sudah merambah ilmu yang berbahaya, dan tak ingin tubuhnya hangus terbakar oleh ilmu lawan, bergegas menerapkan aji Niscala Praba, warna kuning kemilau memancar melindungi seluruh tububnya. Hawa yang awalnya panas mampu diredam tergantikan hawa sejuk disekitarnya.

   "Oh... " seru Lurah Wasi, saat memperhatikan adanya cahaya aneh yang melingkupi tubuh lawannya, ketika ia menjaga jarak.

   Akan tetapi tidak berselang lama tubuh Lurah Wasi sudah menghambur menerkam lawannya. Hebat sepak terjangnya kala itu. Tubuh yang masih mengudara itu telah menggerakan kaki ke depan untuk melakukan tebasan disertai luapan ilmu Bajrageni yang sudah ditingkatkan.

   "Braaak...!"

   Terdengar adu tenaga cukup mendebarkan. Kaki yang dilambari aji Bajrageni telah terbentur tangan kanan Lurah Adya Dipa yang juga dilambari aji Niscala Praba. Tangan yang terdiri dari gumpalan daging, tulang dan darah, terasa keras layaknya besi gligen, membuat Lurah Wasi membal ke belakang. Tetapi sekali kaki sudah menginjakan tanah, secepat angin menggenjot dan membuat tubuhnya kembali mengudara. Serangan gencar dengan giatnya terus dia tunjukan terus menerus.

   Tebasan kaki terulang kembali, tetapi kali ini tidak langsung mengarah lawan. Apabila lawan terlihat akan menempatkan tangannya untuk menghadang, cepat - cepat Lurah Wasi menariknya dan mengganti gempuran tangan ke titik lain. Tetapi betapa kecewanya orang itu, saat tangannya yang dilambari aji Bajrageni membentur titik tubuh lawannya, yang dirasakan adalah sama. Tubuh lawannya juga terasa keras.

    Cepat Lurah Wasi meloncat jauh menjaga jarak, dan lawannya tidak berniat mengejarnya. Waktu yang diberikan oleh lawannya telah ia gunakan untuk menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Seakan - akan setiap gempurannya tidak dirasan sama sekali oleh lawannya, malah menimbulkan rasa nyeri pada tangan atau kakinya. Dan... Barulah ia sadar akan cahaya aneh yang dari tadi ia lihat.

   "Ilmu apa itu, sampai menimbulkan cahaya kuning kemilau seperti itu ?" batinnya.

   Di depan Lurah Arya Dipa berjalan selangkah dan kemudian katanya, "Bagaimana, ki Lurah ? Puaskah kau dengan permainan ini ?"

   Hanya gemuruh napas saja yang keluar dari hidung Lurah Wasi. Ada niatan dirinya untuk membenturkan aji Bajrageni pada tataran yang tinggi, akan tetapi entah mengapa dirinya ragu. Ada kecemasan jikalau serangannya akan membal ke tubuhnya sendiri. Meskipun ia juga memiliki ilmu kebal, tapi untuk menahan sangatlah sulit.

   Dalam pada itu, Lurah Poleh meloncat ke tengah.

   "Biarlah aku yang melanjutkan !"

   "Kakang... " cegah Lurah Wasi.

   "Minggurlah kau Wasi. Kini giliranku untuk bermain - main dengan perwira Demak ini !" Lurah Poleh berkeras hati.

   Desuh napas terdengar perlahan dari Lurah Arya Dipa. Tetapi semuanya harus cepat terjadi. Agar perjalanan yang tertunda cepat dilanjutkan. Tidak ingin lagi waktu terbuang sia - sia, terpaksa seorang yang selalu merendahkan diri itu, tiba - tiba meloncat jauh ke depan, dengan kecepatan layaknya tatit. Tetapi yang menjadi sasaran bukanlah tubuh Lurah Poleh, melainkan sebuah batu sebesar kerbau.

   Bunyi letusan tidak terlalu memekakan telinga mereka. Melainkan hati setiap orang merasakan desar tajam, seakan menggores seutas daging penghubung hati itu yang mengakibatkan hati mereka bagai putus. Tidak sampai di situ saja, batu sebesar kerbau yang menjadi sasaran masih terlih utuh tanpa mengalami sesuatu.

   Hampir saja Lurah Poleh yang sudah menguasai keadaan dan melihat batu sebesar kerbau tiada mengalami sesuatu, tersenyum dan akan menertawakan. Saat itulah desir angin mengalun lembut berbarengan dengan luluhnya batu menjadi debu. Matanya langsung melotot penuh kengerian yang amat sangat. Nalarnya yang awalnya runyam seketika ditetesi air yang menjadikannya mampu berpikir.

   "Batu sebesar itu dibuatnya luluh menjadi debu... "

   Bukan hanya Lurah Poleh saja yang terpesona, tetapi juga dua kawannya dan Lurah Swatantra beserta prajurit Sandirana. Seumur - umur bari kali ini mereka menyaksikan kejadian langka seperti ini. Menyaksikan keperkasaan dari seorang Lurah muda menerapkan ilmu aneh.

   Sementara Lurah Arya Dipa pada saat itu sudah berada di atas kudanya, "Tidak ada waktu lagi, ki Lurah. Lekaslah naik ke kudamu."

   Tanpa menunggu jawaban, Lurah Arya Dipa menggerakan tali kuda, agar kudanya berjalan. Sedangkan Lurah Swatantra dan prajurit Sandirana, bergegas menghampiri kuda masing - masing, tidak menghiraukan lagi tiga perwira Jipang yang masih diam mematung.

PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 12 bagian 30
oleh : Marzuki
  
   Usai melaporkan akan tugas yang diembannya baru saja selesai, Lurah Arya Dipa bergegas pulang ke kediamannya. Sesampainya di rumah, pertama yang dicari adalah buah hatinya. Digendongnya bayi mungil itu dengan erat dan penuh kasih sayang. Bayi mungil yang awalnya menangis, seketika terdiam oleh belaian tangan Lurah Arya Dipa. Sejak kelahirannya, barulah kali ini Dyah Niken Sari benar - benar berada dalam gendongan ayahnya. Ikatan batin antara anak dan orang tua terjalin dengan rasa nyaman yang sangat bagi bayi mungil itu. Begitupun dengan Lurah Arya Dipa, merasakan betapa desir halus saat awal menyentuh kulit putrinya, tanpa dia sadari air matanya merembes dari sudut matanya. Seorang Lurah Arya Dipa yang memiliki segudang ilmu digdaya dapat luluh oleh sentuhan kulit buah dagingnya.

   Sementara itu disampingnya, istrinya Ayu Andini ikut terharu menyaksikan suaminya yang tak henti - hentinya mencium putrinya. Beberapa kali putri angkat Empu Citrasena itu terlihat menyapu air matanya menggunakan pakaiannya. Kini kebahagian seutuhnya dapat ia miliki, setelah sekian lama bersabar hati melepas suaminya dalam mengemban tugas dari Adipati Anom.

   Di pringgitan, para orang tua dan Windujaya membiarkan pertemuan keluarga kecil. Mereka masih membicarakan persoalan yang sudah dibeberkan oleh Lurah Arya Dipa, dikala mengemban tugas di Jipang. Bukan persoalan tugas rahasia, tetapi persoalan lain mengenai keberadaan ki Wanapati dan Raden Sajiwo.

   "Bisa saja jika dia berhubungan dengan bangsawan Kadiri itu." desis Kyai Jalasutro.

   "Hm... Aku sama sekali tak mengerti jalan pikirannya." desuh Begawan Jambul Kuning.

   Tentu saja Begawan Jambul Kuning tidak tahu benar akan sikap dari saudara kembarnya itu. Sejak kecil hingga sekarang ia baru menyadari jika ia mempunyai saudara kembar, itupun setelah Kyai Jalasutro dan Resi Puspanaga memberitahu. Malah gara - gara ulah kembarannya, dirinya disangka berlaku kejam dengan membunuh orang tua Lurah Arya Dipa, yang jelas - jelas darah dagingnya sendiri.

   "Benarkah Kyai tidak pernah mengetahui keberadaannya ketika di Jipang ?" Begawan Jambul Kuning mencoba menanyai Kyai Jalasutro.

   Namun terlihat Kyai Jalasutro menggeleng, "Tidak. Waktu itu aku tinggal di perguruan Candra Bumi, Begawan."

   Lalu lanjutnya kemudian, "Andai aku melihatnya, mungkin saat itu juga pasti kami akan bergesekan. Bisa - bisa adu kekuatan akan terulang lagi."

   Begawan Jambul Kuning mengangguk mengerti. Sebenarnya ada dorongan untuknya mencari keberadaan kembarannya itu. Tetapi sangatlah sulit dipastikan keberadaan ki Wanapati, karena orang itu tidak memiliki kediaman yang tetap seperti dirinya.

   Tidak berselang lama dari ruang dalam, Lurah Arya Dipa keluar dan ikut duduk di pringgitan, berdekatan dengan Windujaya murid kinasih kakeknya.

   "Mari, kakang." ucap Windujaya, mempersilahkan.

   "Terima kasih, adi." balas Lurah Arya Dipa dan kemudian katanya kepada semua yang hadir, "Sepertinya Eyang dan Kyai masih membicarakan ki Wanapati ?"

   "Itulah, Dipa. Eyangmu ini sangat penasaran ingin bertatap muka dengan saudara kembarku itu." sahut Begawan Jambul Kuning.

   Lurah Arya Dipa menghela napas. Jika saja waktu di Jipang itu dirinya tidak dalam mengemban tugas, pasti ia akan mengejar ki Wanapati. Dan yang selalu mengganggu hatinya ialah kebersamaan orang tua itu dengan Raden Sajiwo, seorang bangsawan Kadiri berseberangan pendirian dengan Demak.

   Lalu ingatlah Lurah Arya Dipa dengan orang - orang yang selalu mengintai kediamannya beberapa candra lalu. Orang - orang yang diduga berhubungan dengan ki Wanapati. Oleh karena itu, Lurah Arya Dipa bertanya kepada Eyangnya dan ayah angkatnya, ki Panji Mahesa Anabrang.

   "Sejak kepergianmu tiada seseorang yang mencurigakan seliweran disekitar sini." terang Begawan Jambul Kuning.

   "Benar, kakang. Bahkan gubuk yang menjadi sarang mereka telah dibakar oleh tangan mereka sendiri." sambung Windujaya.

   Ki Panji Mahesa Anabrang juga ikut memberi penjelasan, "Anak buahku telah mengatakan kalau mereka ditarik mundur. Sepertinya ada sesuatu yang sedang mereka kerjakan, berhubungan dengan kadipaten Pajang."

   "Oh... " desuh Lurah Arya Dipa, "Maksud ayah, ke telatah dimana Adimas Adipati Karebet berkuasa ?"

   "Benar."

   "Apa itu, ayah ?" kejar Lurah Arya Dipa, penasaran.

   Tetapi ki Panji Mahesa Anabrang menggeleng, tanda tak mengetahui keingin-tahuan putra angkatnya itu, "Entahlah, ngger."

   Lurah Arya Dipa mencoba merenungkan sesuatu menyangkut kadipaten Jipang dan Pajang. Adipati Jipang dan Pajang sama - sama berguru dengan kanjeng Sunan Kudus, walau sebenarnya Adipati Mas Karebet hanyalah santri biasa saja, tidak melebihi daripada Adipati Aryo Penangsang. Lalu ditariknya ke sisi yang lain, adanya salah seorang yang sangat dekat dengan Pajang.

   "Oh.. Mungkinkah itu orang bersenjatakan ikat pinggang." desis Lurah Arya Dipa, yang membuat semua orang berpaling kepadanya.

   "Ada apa, ngger ?" tanya Begawan Jambul Kuning.

   Maka Lurah Arya Dipa menjelaskan saat ia sedang menyergap dua prajurit Surengpati di barak pasukan Jipang bagian barat. Saat itu ia menyamar menggunakan topeng dan bersenjatakan ikat pinggang kyai Anta Denta. Mendapati dirinya bersenjata sepertu itu, membuat lawannya kaget dan menganggapnya, Juru Mertani putra ki Ageng Saba. Tidak hanya dua prajurit Surengpati saja yang beranggapan seperti itu, ki Sentanu salah seorang senopati Jipang juga beranggapan sama.

   "Bukankah Juru Mertani itu ada hubungan persaudaran dengan Adimas Adipati Pajang, ayah?"

   "Hm.. Memang benar, ngger." ucap ki Panji Mahesa Anabrang, "Juru Mertani juga menantu ki Ageng Sela, ayah Pemanahan saudara seperguruan Adipati Mas Karebet."

   "Tetapi mengapa orang - orang Wanapati yang memasuki Pajang ? Bukan orang - orang Jipang sendiri ?" tiba - tiba Resi Puspanaga yang sejak awal diam, mencoba ikut bicara.

   Sejenak Lurah Arya Dipa berpikir, dan kemudian ucapnya, "Inilah yang aku risaukan, Eyang Puspanaga. Orang yang bersama dengan ki Wanapati adalah Raden Sajiwo. Seorang bangsawan culas, licin dan mempunyai seribu tipu muslihat."

   Lalu lanjutnya kemudian, "Orang itu ikut andil saat terjadinya kemelut di Tuban bersama Panembahan Bhre Wiraraja. Serta tidak aku lupakan saat perebutan kyai Sangkelat disekitar sungai Brantas dahulu kala. Dan saat ku jumpai ia bersama ki Wanapati di Jipang, aku rasa dia mempunyai maksud tertentu."

   Semua orang mengangguk dan kagum akan jalan pikiran dari Lurah Arya Dipa, yang mampu menelusuri sebuah tali yang bila ditelusuri lebih jauh, memang sampai dalam dugaan Lurah muda itu.

   "Semoga Adimas Adipati dapat menyelesaikanya." batin Lurah Arya Dipa.

Sambung jilid 13...

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar