PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 1
oleh : Marzuki
Selama sepasar Lurah Arya Dipa mendapatkan waktu istirahat dari tugas - tugasnya sebagai prajurit Wira Tamtama. Tanpa menyia -nyiakan waktu yang telah diberikan untuknya, ia gunakan untuk selalu berkumpul dengan keluarga kecilnya. Entah itu pagi, siang atau malam, Dyah Niken Sari selalu dalam pondongannya, tak lepas sedikitpun kecuali adanya keperluan khusus. Hal itu membuat semua orang yang berada di kediaman Lurah Arya Dipa, merasa ikut senang.
Seperti di pagi hari itu. Lurah Arya Dipa membawa putrinya bermain di halaman sembari mendengarkan burung kepodang yang hinggap di pohon mlinjo. Suara kicaunya yang merdu membuat Dyah Niken Sari merekah senyum, memperlihatkan dua gigi yang baru tumbuh. Bunyi burung nan indah menambah keceriaan tersendiri bagi ayah dan anak itu.
Menjelang sang surya mulai menanjak, terdengar kaki kuda semakin lama semakin mendekat. Tidak berselang lama kuda itu berhenti tepat di depan regol kediaman Lurah Arya Dipa. Penunggang kuda tersebut turun dan menuntun kuda memasuki halaman. Ternyata seorang prajurit pengawal Adipati Anom yang datang itu.
"Kua, Srayu." tegur Lurah Arya Dipa, saat mengenali prajurit itu.
"Iya, ki Lurah. Kedatanganku atas perintah gusti Adipati Anom, beliau mengharapkan kedatangan ki Lurah segera mungkin." tutur prajurit Srayu.
"Baiklah, kau duluan. Aku akan segera menyusul."
Dan prajurit itu membalikan dirinya, maka terdengarlah tapak kaki kuda dipacu meninggalkan kediaman Lurah Arya Dipa. Sementara sepeninggal prajurit utusan, Lurah Arya Dipa bergegas menaiki tlundak pringgitan, di situ rupanya terdapat Kyai Jalasutro, Begawan Jambul Kuning, Resi Puspanaga, dan Mpu Citrasena. Sesaat Lurah Arya Dipa berhenti di pringgitan, saat Begawan Jambul Kuning bertanya kepadanya.
"Gusti Adipati Anom mengharap kehadiranku, Eyang." jawab Lurah Arya Dipa singkat, lalu melanjutkan langkahnya ke ruang dalam.
Diserahkannya Dyah Niken Sari kepada istrinya sembari menjelaskan kalau dirinya akan pergi ke istana.
"Akankah ada tugas baru lagi, kakang ?" tanya Ayu Andini.
"Entahlah. Srayu tidak menuturkan maksud sebenarnya dari gusti Adipati Anom. Bisa saja beliau akan memberikan tugas baru, atau merembukan masalah prajurit Surengpati yang telah aku laporkan sepasar yang lalu." kata Lurah Arya Dipa, sambil mengenakan pakaian keprajuritan.
Usai berpakaian ia mendekati istrinya. Dicium kening Dyah Niken Sari.
"Ayah pergi sebentar, putriku."
Dan tak lupa Lurah Arya Dipa pamit dengan istrinya. Barulah ia melangkahkan kaki ke ruang depan, menembus pringgitan dimana orang - orang tua masih berada disitu.
"Eyang, aku pergi dahulu."
"Hati - hatilah, walau jarak antara istana tidak terpaut jauh."
"Iya, Eyang." kata Lurah Arya Dipa dan ia pun pamit kepada semua orang tua yang ada.
Kuda tegar yang namanya sama dengan pusakanya Kyai Jatayu, berdiri kokoh menanti kedatangan tuannya. Terdengar kuda itu bersuara layaknya kuda sambil menggerakan kepala kegirangan, seakan - akan menyambut kedatangan tuannya. Lurah Dipa membelai punggug kuda sejenak, lalu ia pun meloncat menaiki kuda itu dan duduk dipelana, tangannya memegang tali kuda. Sekali gerak kuda itu pun mulai mengayunkan langkahnya, setelah melewati regol dan terlihat hamparan jalan memanjang, Jatayu berlari kencang laksana burung garuda, meninggalkan debu dibelakang kaki - kakinya.
Jalur yang dilalui meskipun tidak terlalu jauh, akan tetapi memerlukan waktu yang panjang juga. Apalagi disaat orang - orang banyak yang berlalu lalang. Terpaksa Jatayu mulai melangkahkan kakinya dengan pelan, agar tidak mengganggu pengguna jalan yang lain. Dan bila ada dua pedati saling bersimpangan, Lurah Arya Dipa mencoba bersabar menunggu kedua pedati cepat berlalu.
Seiring berjalannya sang waktu, dari atas Jatayu, Lurah Arya Dipa sudah dapat melihat pintu gerbang istana yang terbuka lebar dan dijaga oleh beberapa prajurit yang bertugas. Semakin mendekati pintu gerbang kuda Jatayu bertambah pelan langkahnya. Dan kuda bersama penunggangnya telah diperbolehkan memasuki pintu gerbang tanpa halangan sedikitpun.
Ditambatkan tali kuda diparok yang sudah tersedia. Kemudian Lurah Arya Dipa menuju bangunan yang biasanya dirinya menghadap kepada Adipati Anom. Ruangan khusus yang diperuntukan baginya bila ia menghadap. Kala sampai di dekat tlundak, dua prajurit pengawal siaga bersenjatakan tombak pendek mengapit disamping kanan kiri tlundak.
"Silahkan memasuki gandok, ki Lurah." Sambut salah seorang prajurit, "Sebentar lagi gusti Adipati segera tiba."
Lurah Arya Dipa memasuki gandok itu, tetapi ternyata di dalam gandok sudah ada seorang pemuda yang usianya lebih muda darinya. Pemuda itu tersenyum sembari menganggukan kepala tanda menghormati. Lekas saja Lurah Arya Dipa membalas menghormati pemuda yang belum ia kenal itu. Namun sekali lihat dari perawakan dan tatapan matanya, telah menunjukan adanya segudang kemampuan yang tersimpan dalam wadah orang itu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 2
oleh : Marzuki
Dalam penantian menunggu kedatangan Adipati Anom, pemuda yang semenjak tadi sudah berada di dalam gandok menggeser duduknya. Kemudian dengan penuh hati - hati pemuda tadi memberanikan diri untuk berbicara.
"Tuan , bolehkah aku menanyakan sesuatu mengenai diri tuan ?"
Lurah Arya Dipa sesaat berpikir, tetapi ia pun mempersilahkan pemuda di dekatnya itu untuk mengungkapkan permintaannya, "Bila hal itu mudah untukku memberi jawaban, pasti aku mengijinkannya."
"Benarkah jika yang ada dihadapanku ini seorang yang menyebut dirinya, Kilatmaya ?"
Terlihat Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya. Siapa orang ini yang mengetahui nama samarannya itu ? Itulah yang ada dalam benak Lurah Arya Dipa. Namun selaput rasa penasarannya lenyap manakala Lurah Wira Tamtama itu dapat dengan cepat mengurai keadaan yang berlangsung. Maka tanpa mengelak dijawablah dengan terus terang.
"Hahaha... Aku tidak mengira jika nama yang sering aku gunakan untuk menutupi kekerdilanku itu, akan diingat orang."
"Oh... Tuan terlalu merendahkan diri sendiri. Bukanlah begitu adanya maksud tuan untuk memakai nama itu, melainkan semuanya malah sebaliknya." kata pemuda itu, lalu lanjutnya kemudian, "Sudah menjadi ciri seorang petualang sejati dalam rimba olah kanuragan menggunakan nama samaran dan juga topeng."
Lurah Arya Dipa menganggukan kepala sembari tersenyum tulus saat mendengarkan tanggapan dari pemuda yang lebih muda dari dirinya. Baginya apa yang dikatakan oleh pemuda itu dirasakan benar - benar dari hati, bukan dari ucapan saja untuk menyenangkan hatinya. Raut wajah dari pemuda di dekatnya itu telah dapat ia baca sepenuhnya dan semuanya mengarah ke sisi kebaikan, dan satu hal lagi yang membuat Lurah Arya Dipa agak takjub dengan wajah pemuda itu, yaitu ada sebuah ciri jikalau orang itu mempunyai akal hebat.
"Hm.. Sebuah ciri yang mendebarkan.. " batin Lurah Arya Dipa.
Tidak berselang lama dari luar gandok terdengar langkah kaki mendekati pintu gandok. Dan yang muncul adalah Adipati Anom atau Pangeran Bagus Mukmin, putra tertua dari Sultan Trenggono, yang sekarang mengisi kekosongan dampar kencono menggantikan kepergian ayahandanya yang pergi ke Bang Wetan. Dari wajahnya menunjukan ada sesuatu yang menghwatirkan, seakan - akan ada persoalan membebani hati kanjeng Adipati Anom.
"Maaf membuatmu menunggu terlalu lama, kakang Dipa." ucapan pertama dari Adipati Anom, dan kemudian juga kepada pemuda satunya, "Dan juga kau, kakang Mertani."
Keduanya bergegas menghaturkan sikap ngapurancang kepada kanjeng Adipati Anom, seraya membalas ucapan dari Pangeran Bagus Mukmin, penuh kerendahan hati.
Helaan napas terdengar dari putra tertua kanjeng Sultan Trenggono, "Kakang Dipa, ketahuilah mengapa aku memanggilmu di pagi ini. Tetapi sebelumnya aku akan memperkenalkan dahulu dirimu dengan orang yang ada di sampingmu."
"Hamba, gusti Adipati." sahut Lurah Arya Dipa.
"Ingatkah saat kakang disangka putra ki Ageng Saba ?"
"Kasinggihan, gusti Adipati. Ingatan itu tiada luntur dari benak hamba."
"Ketahuilah kalau orang itu berada di sampingmu ini."
Lurah Arya Dipa tergetar hatinya. Semakin mantaplah perasaannya mengetahui sosok disampingnya merupakan putra dari ki Ageng Saba, yang bila dirunut mengenai keluarganya akan berpunjer kepada seorang Suci di Giri Kedaton, yaitu Raden Joko Samudro putra Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu. Pantas jika wajah pemuda disampingnya itu menyiratkan sesuatu yang dalam, entah itu ilmu jiwani ataupun ilmu kanuragan.
"O.. Jadi kisanak ini yang terkenal seorang bersenjatakan ikat pinggang dari kulit itu."
Juru Mertani tersenyum, "Benar, ki Lurah. Karena sebatas itu saja yang dapat ku-kuasai."
Tiba - tiba kanjeng Adipati Anom tertawa lepas, "Hahaha... Kakang berdua mirip satu dengan yang lain. Biji semakin matang membuat tangkainya merendah, dan itu hanya dimiliki oleh kalian berdua."
Keduanya menundukan kepala, semburat warna merah merona akibat pujian terlalu berat dirasakan oleh keduanya. Bagi keduanya pujian adalah sesuatu wujud yang merupai pedang bermata dua, jika salah menempatkan akan dapat melukai diri sendiri. Seseorang harus bersikap bijaksana dalam menyikapi sebuah pujian, dengan memandang sebuah pujian sebagai sesuatu yang harus dipertanggung-jawabkan melalui tindakan nyata.
Dalam pada itu Pangeran Bagus Mukmin mulai bersungguh - sungguh mengungkapkan perasaan yang selama ini dirasakan telah mengganggu hatinya. Tiada lain dan bukan masalah ini mengenai adanya benih - benih, yang menggelisahkan merusak hubungan antara Demak dengan dua kadipaten inti, yaitu Jipang dan juga Pajang. Karenanya sang Pangeran memanggil Lurah Arya Dipa dan juga Juru Mertani, pemuda yang diusulkan oleh Adipati Pajang.
Juru Mertani bersuara seraya mengangkat kedua telapak tangan rangkap tepat didahi, "Adimas Adipati Pajang menitipkan pesan yang diperuntukan bagi ki Lurah Arya Dipa saja, gusti Pangeran."
Pangeran Bagus Mukmin sadar kalau antara adik iparnya dan Lurah Arya Dipa mempunyai ikatan persahabatan sejak keduanya masih sebagai prajurit di Demak, maka tak heran jika Adipati Pajang hanya mengharapkan bantuan Demak lewat Lurah Arya Dipa saja.
"Hm, Baiklah." kata Pangeran Bagus Mukmin, "Lalu bagaimana dengan sikapmu, kakang Dipa ?"
Lurah Arya Dipa terlihat merenung sejenak dan kemudian katanya, "Sepertinya kali ini Demak dan Pajang harus mengumpulkan prajurit khusus, gusti Adipati. Sedikit banyak melalui ayah Mahesa Anabrang, pasukan telik sandi mencium pergerakan aneh dari orang - orang linuwih. Dan salah satunya ialah ki Wanapati."
"Wanapati... Siapakah orang itu ?" tanya Adipati Anom atau Pangeran Bagus Mukmin.
Maka Lurah Arya Dipa menceritakan jati diri dari ki Wanapati, yang tak lain kembaran kakeknya Begawan Jambul Kuning.
Usai mendengar penjelasan dari Lurah Arya Dipa, Adipati Anom dapat mengira - ngira pergerakan yang dilakukan oleh orang - orang itu. Dugaan yang paling mendekati adalah sebuah upaya ingin menegakan lagi kekuasaan Kadiri. Karena menurut yang diceritakan tadi, ki Wanapati masih berdarah bangsawan Kadiri, dan juga masih sepengetahuan Lurah Arya Dipa, seorang bangsawan Kadiri selalu berhubungan dengan ki Wanapati.
"Bila kakang Dipa ingin membawa pasukan, aku akan memerintahkan paman Panji Wangsapati bergegas mengumpulkannya."
Tetapi Lurah Arya Dipa menggeleng, "Itu tidak perlu, gusti Adipati. Pasukan yang ada di kotaraja sangatlah diperlukan dalam menyangga keamanan di kotaraja."
Sejenak Lurah Arya Dipa berhenti untuk menghirup udara segar, dan ucapnya sembari menatap Juru Mertani dengan senyum merekah, "Gusti Adipati Adiwijaya telah memberikan jalan keluar itu melalui utusannya, gusti Adipati. Yaitu Adi Juru Mertani ini, dan juga di Pajang telah menyimpan banteng - banteng perkasa dari Sela, Butuh dan Banyubiru. Bukankah begitu, adi Mertani ?"
Juru Mertani tersenyum, "Semoga tenaga kami yang ada di Pajang dapat membantu ki Lurah."
Lurah Arya Dipa tersenyum.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 3
oleh : Marzuki
Sebelum meninggalkan kediaman Pangeran Bagus Mukmin, Lurah Arya Dipa serta Juru Mertani mendapat beberapa pesan dari putra tertua Sultan Trenggono. Barulah keduanya dapat mengundurkan diri meninggalkan istana Demak. Dalam pada itu Lurah Arya Dipa mengajak dan mengundang Juru Mertani untuk singgah ke kediamannya, yang berada dekat gerbang kotaraja. Dan Juru Mertani menerima ajakan itu dengan senang hati.
"Jadi kakang Lurah kurang sepekan saja mengenal Dimas Karebet ?" suatu kali Juru Mertani bertanya.
Lurah Arya Dipa mengangguk, "Iya. Pertama kali bertemu dengan Dimas Adipati saat berada di kaputren Demak, saat itu ia sedang bertugas malam."
"Hm.. Itukah yang menjadi awal pertemuan antara Dimas dengan gusti putri Ayu Cempaka ?"
"Hahaha... Bisa jadi begitu, karena setelah itu aku menjalankan tugas keluar kotaraja."
Memang kala itu Lurah Arya Dipa tidak mengetahui kedekatan antara Mas Karebet dengan putri Ayu Cempaka. Dan tiba - tiba terdengar warta jika Lurah Mas Karebet diusir dari kotaraja, akibat kesalahannya dalam waktu pendadaran prajurit baru Demak, yang menewaskan seorang lelaki Dadung Awuk hanya menggunakan sada kinang. Tetapi ada desas desus jika itu hanyalah dongeng belaka demi menutupi adanya hubungan gelap mengenai hubungan antara Lurah itu dengan putri Sultan Trenggono.
"Entahlah... " tiba - tiba Lurah Arya Dipa mendesis perlahan.
"Ada apa, kakang Lurah ?" Juru Mertani heran.
Tentu saja Lurah Arya Dipa tak ingin mengungkapkan angannya, dan hanya berkata, "Oh.. Bukan apa -apa, Adi. Oh, itu regol kediamanku sudah kelihatan."
Kuda tunggangan keduanya semakin mendekati regol kediaman Lurah Arya Dipa. Masuklah kedua kuda itu dan berhenti di bawah pohon Jambu, dan keduanya turun dari pelana kuda dan mengikat tali kuda di patokan yang tersedia.
Kedatangan Lurah Arya Dipa dan seseorang yang belum dikenal oleh keluarga Lurah Arya Dipa, membuat hati mereka yang berada di rumah itu bertanya - tanya. Akan tetapi setelah mendapatkan penjelesan dari Lurah Arya Dipa, mereka tanpak kagum dan menghormat. Sosok muda yang masih berdarah wali Kedaton, tidak tahunya berada diantara mereka.
"Eyang dan paman janganlah berlebihan." suara rendah meluncur dari mulut Juru Mertani, "Aku hanyalan anak muda yang masih mencari tuntunan dan bimbingan."
"Ucapan dari anakmas ini semakin menambah kekaguman kami terhadap diri anakmas. Bukankah begitu kakang Resi Puspanaga, Begawan Jambul Kuning dan Empu Citrasena ?"
"Hehehe... Benar, Kyai." sahut Empu Citrasena, menanggapi kata dari Kyai Jalasutro.
Maka semakin ramailah kediaman Lurah Arya Dipa. Keluarga kecil itu mendapati tamu orang - orang linuwih dari segala peradaban, yaitu jaman Majapahit akhir, Demak dibawah Raden Patah dan Demak dibawah Sultan Trenggono. Dan dalam kesempatan itulah Lurah Arya Dipa menyampaikan pemanggilannya oleh Pangeran Bagus Mukmin.
"Ajaklah aku menyertaimu, cucuku." buru - buru Begawan Jambul Kuning mengajukan dirinya, usai mendengarkan penuturan dari cucunya itu.
"Mungkin ini adalah kesempatanku bertemu dengan saudara kembarku itu." lanjut Begawan Jambul Kuning.
Lurah Arya Dipa menatap Juru Mertani, seolah - olah meminta pertimbangan dari pemuda itu.
"Semuanya terserah kakang Lurah." kata Juru Mertani, yang dapat membaca isi hati Lurah Arya Dipa.
Sejenak Lurah Arya Dipa merenung. Tidak masalah andai kakeknya itu ikut serta. Malah tenaga dan kemampuan kakeknya dapat diandalkan untuk menghadapi ki Wanapati. Walau sebenarnya dirinya ingin juga mencoba menjajal kemampuan orang tua kembaran dari kakeknya, tetapi hal itu sangatlah membahayakan.
"Baiklah, Eyang. Mungkin dengan mengikutsertakan diri Eyang, orang tua itu dapat menyurutkan niat buruknya." kata Lurah Arya Dipa, lalu kemudian, "Dan aku juga mengharapkan tenaga Kyai Jalasutro dan juga adi Winduaji."
"Kami siap." ucap Kyai Jalasutro dan Winduaji, berbarengan.
"Terima kasih." ucap Lurah Arya Dipa dan pintanya, "Sementara untuk Eyang Puspanaga, ayah Resi dan kakang berdua, semoga tetap betah menunggu di Demak."
"Hehehe... Usiaku memang semakin lanjut." sahut Resi Puspanaga, "inilah waktuku dapat bercengkerama dengan Niken Sari. Bukankah kau setuju, adi Empu."
Empu Citrasena tertawa nyaring, "Hahaha.. Apa yang kau ucapkan tidaklah salah, kakang Resi. Biarlah Begawan Jambul Kuning saja yang masih dalam kegilaannya melalang buana."
Tawa riuh pun tak dapat dihindari, seakan - akan rumah itu bergetar terkena hempasan angin beliung. Namun angin ini mengandung kegembiraan dari gurauan orang - orang tua. Apalagi setelah suguhan berupa jenang alot dan minuman hangat dikeluarkan oleh pembantu Lurah Arya Dipa, semakin nikmat mewarnai langit Demak.
Pembicaraan demi pembicaraan terlihat rancak diselingi tawa dan kadang kala kerut merut menghiasi kulit dahi. Terkadang kesan yang ditimbulkan menjadi sungguh - sungguh, jika yang diceritakan menyangkut nyawa. Berbagai percakapan semuanya tertuang hingga tak terasa terik dari sang surya semakin gatal dikulit.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 4
oleh Marzuki
Di pagi harinya, terlihat lima kuda keluar dari regol kediaman Lurah Arya Dipa. Pagi hari itu kelimanya akan menuju Pajang, tiada lain adalah untuk mencoba menghentikan pergerakan orang - orang yang akan memperkeruh keadaan Demak yang saat ini dibawah kepemimpinan Pangeran Bagus Mukmin untuk sementara waktu. Dengan dipimpin oleh Lurah Arya Dipa selaku petugas Demak yang mendapatkan persetujuan dari Adipati Anom Pangeran Bagus Mukmin, dan juga atas usulan dari Adipati Pajang Mas Karebet, berangkatlah kuda - kuda itu meninggalkan debu dibelakang kaki - kakinya.
Jarak yang dilalui dewasa itu cukuplah sulit dan memakan waktu lama. Walau begitu karena kuda dan para penunggangnya adalah kuda dan orang - orang pilihan, jarak yang awalnya jauh kini tinggalah ratusan tombak saja. Dan iringan kecil itu berhenti dekat pertigaan lorong yang menghubungkan Demak, Jipang dan Pajang itu sendiri, tatkala ki Lurah Arya Dipa mengangkat tangan kirinya.
"Ada apa kakang ?" tanya Windujaya yang berada dekat kuda ki Lurah Arya Dipa.
Lurah muda itu menjawab seraya masih tetap menatap tajam ke arah pertigaan, "Panggraitaku mengatakan adanya sesuatu yang ganjil."
Rupanya Juru Mertani juga merasakan hal sama dengan apa yang dirasakan oleh ki Lurah Arya Dipa. Pemuda itu telah turun dari kudanya dan hendak memeriksa lebih dekat ke lorong di depannya.
"Hati - hati, adi." pesan Lurah Arya Dipa.
Juru Mertani mengangguk perlahan. Kakinya melangkah pelan tanpa meninggalkan sedikitpun suara. Perlahan lorong jalan yang kanan kirinya ditumbuhi semak belukar, bertambah dekat. Dan saat itulah sepuluh orang keluar dari semak belukar seraya melemparkan belati ke arah Juru Mertani.
Sebatnya lemparan belati tak olah - olah dan juga banyak, jika saja orang yang menjadi sasarannya tak memiliki kewaspadaan dan juga keahlian, pasti tubuh orang itu akan rusak tertembus sepuluh belati. Akan tetapi tidaklah kali ini, Juru Mertani yang sejak awal bersikap waspada telah mengungkap ilmu Tameng Waja, sehingga membuat pisau belati mental menghujam tanah. Mengakibatkan sepuluh orang penyerangnya terpana tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Jangan linglung !!!" seru seorang yang masih berada di dalam semak, "Hunus senjata kalian !"
Teriakan tadi telah membangunkan kesadaran dari sepuluh orang tadi dan sekaligus menggerakan tangan mereka untuk meraba dan mengangkat senjata mereka.
Sementara itu melihat Juru Mertani diserang sekelompok orang, tidak membuat diam ki Lurah Arya Dipa dan iringannya. Mereka bergegas meloncat dari kuda masing - masing dan ikut menghadapi kelompok orang yang mencegat mereka. Maka, terjadilah perkelahian seru mewarnai lorong penghubung itu.
Denting senjata dilambari kekuatan menyibak getar udara. Seolah mewartakan adanya darah yang harus jatuh membasahi tanah disekitar situ. Entah itu darah penyerang atau yang diserang, itu bukan soal, malah jika nyawa yang melayang.
Kali ini ki Lurah Arya Dipa dan kawan - kawannya harus menghadapi dua orang setiap orangnya. Cukup baik juga para penyerang itu dalam kerjasama dalam menghadapi ki Lurah Arya Dipa dan kawan - kawannya. Terasa ada unsur sama dari satu penyerang dengan yang lainnya, dan juga mampu saling mengisi satu dengan lainnya. Apalagi saat seseorang yang masih bersembunyi di dalam semak selalu memberi perintah berupa suara sandi, serangan dari kesepuluh orang itu berubah hebat dan cepat.
"Bukan main.... " desis Kyai Jalasutro, seraya menepis sabetan pedang menggunakan kipasnya.
Sementara Begawan Jambul Kuning tersenyum senang menerima pukulan dari lawannya yang tak dihindarinya, "Hm... seperti disengat lebah dan lenyap terusap kembang."
Malah lawannya meringis kesakitan dengan terus mengusap kepalan tangannya. Baru kali ini ia merasakan tulangnya hampir remuk layaknya membentur padas. Walau begitu ia bergegas meloncat jauh menghindari kibasan kain panjang Begawan Jambul Kuning, namun tetap saja tubuhnya tetap merasakan desir tajam dari udara akibat kibasan kain lawannya yang sudah tua.
Dan yang paling keras ditunjukan oleh Windujaya. Darahnya yang masih muda, bergolak hebat mencari pelampiasan berupa amukan kepada lawan - lawannya. Tenaga tercurah deras menghajar lawannya yang berperawakan tinggi kurus, membuat tubuh orang itu terpelanting cukup keras. Satu lagi tendangan kakinya membuat lawan satunya meringis saat mencoba menahan dengan kedua lengannya.
"Kurang ajar !" umpat lawan Windujaya sembari meloncat membabatkan goloknya.
Secepat kilat Windujaya merendah seraya menyodokan tangan kanan ke arah lambung lawan yang terbuka. Tetapi lawannya sudah menyadari dan berusaha memutar tubuhnya ke kanan, bersamaan dengan itu tebasan goloknya mencurah deras ke tengkuk Windujaya. Namun sangat disayangkan rupanya tubuh lawan sudah berpindah tempat dan menyisakan udara kosong yang terkena tebasan golok.
Mendapati kawannya kesulitan menghadapi orang yang membuatnya terpelanting, orang berperawakan kurus tinggi bergegas membantu. Di tangannya trisula berukuran pendek tergenggan erat mengarah ke depan. Di dahului teriakan keras, orang itu berupaya menghujamkan trisulanya. Tapi pada serangan itu lawannya dapat menepisnya, sehingga menjadikan orang itu penasaran dengan ulah lawannya.
Kembalilah Windujaya berhadapan dengan dua orang yang bersenjatakan golok dan Trisula. Karena tak ingin mengalami hal - hal yang mengkwatirkan dirinya, lantas tangannya telah meraih keris pusakanya. Cahaya berkerlip dari pamor keris terlihat walau hari masih diterangi sinar sang surya. Membuat lawan - lawannya berdesir dalam sanubari mereka.
"Majulah.... !!" tantang Windujaya, sambil menyilangkan keris di depan dada.
Walau gentar, kedua lawannya mencoba sekuat tenaga melenyapkan perasaan jerih dengan teriakan nyaring dan melangkah cepat ke depan.
Denting senjata terdengar jelas dibarengi teriakan, serta umpatan kasar dari dua lawan Windujaya. Tetapi tidak terlalu lama desis tajam berbaur rasa sakit keluar dari mulut dua orang penyerang, bersamaan adanya goresan mewarnai lambung orang berperawakan tinggi kuras dan satu lagi sayatan silang di dada lawan satunya. Tumbanglah keduanya memeluk tanah.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 5
oleh : Marzuki
Sementara itu ki Lurah Arya Dipa terlihat seakan - akan hanya melayani saja serangan dari lawan - lawannya. Terjangan dari lawannya hanya ditangkis serta dielakan saja dengan mudahnya. Dan tindakan yang dilakukan oleh ki Lurah Arya Dipa membuat wajah para penyerangnya bagai udang rebus, karena menahan amarah yang menggejolak telah dipermainkan oleh lawannya yang usianya jauh dari kedua orang itu.
Oleh karena itulah keduanya tanpa berjanji telah meningkatkan kemampuan yang mereka miliki. Semakin cepat dan penuh kekuatan tata gerak terungkap dari kedua orang itu. Sebuah ilmu tata gerak dari perguruan yang mereka anggap tiada lawan di telatah Jawa dwipa ini, mereka yakini akan dapat membuat lawan menyesal telah berhadapan dengan keduanya.
Orang berperawakan tambun dengan dua pisau panjang ditangannya mencoba menebas bagian atas lawannya. Sementara seseorang lagi yang bersenjatakan rantai berbandul mencoba menyerampang bagian bawah lawan. Kerja sama apik ini dirasa akan membuahkan hasil gemilang berupa luka pada lawannya.
Tetapi rupanya kenyataan berkata lain, dimana tubuh yang dipastikan terluka itu dapat mengelak tanpa terduga. Tubuh ki Lurah Arya Dipa terlihat terbaring mengudara diantara dua senjata, sembari lolos ke belakang dan kemudian melenting dengan cepatnya. Maka secepat itu pula tubuh Lurah muda dari kesatuan Wira Tamtama itu sudah berdiri menatap lawannya dengan perasaan trenyuh.
"Siapa kisanak ini ?!" seru ki Lurah Arya Dipa, mencoba mengetahui lawan - lawannya.
Namun hanya dengus semata sebagai jawaban, serta tatapan penuh kebencian dari lawan - lawannya.
Sekali lagi ki Lurah Arya Dipa berkata, "Alangkah baiknya jika kita dapat mengetahui satu dengan lainnya tanpa menimbulkan benih - benih permusuhan."
"Diam... !" teriak lelaki bersenjatakan pisau panjang, "Siapapun yang berhubungan dengan Trenggono ataupun Karebet adalah musuh kami !"
Ki Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya, "Apa maksudmu, kisanak ?"
Orang tadi akan angkat bicara lagi, tetapi sebuah teriakan membuatnya mengurungkan niatnya.
"Jangan banyak bicara ! Bunuh mereka !"
Teriakan itu memancing rasa penasaran ki Lurah Arya Dipa, tetapi ia bergegas mencurahkan perhatiannya terhadap dua lawannya yang sudah kembali bergerak menyerangnya.
"Hm... Maafkan aku kisanak." desis ki Lurah Arya Dipa, dan dengan gerak layaknya tatit tubuhnya melesat sebat.
Dua lawan ki Lurah Arya Dipa tak tahu apa yang terjadi, karena tiba - tiba mata mereka terasa berat dan tubuh keduanya ambruk tak berdaya. Pingsanlah kedua orang itu dengan mudahnya.
"Bangsat ! Setan tetekan ! Anak Setan !" umpat seseorang yang melesat keluar dari gerumbul perdu, sembari melayangkan pukulan kepada ki Lurah Arya Dipa.
"Huuuuuustttt.... !"
Angin keras menerpa ke depan. Untung saja ki Lurah Arya Dipa berlaku waspada, sehingga terpaan angin itu lolos darinya. Dan ini memang diharapkn oleh ki Lurah Arya Dipa yang berencana memancing pemimpin orang - orang yang menyerang dirinya dan kawan - kawannya. Yang ternyata seorang lelaki berbadan tinggi tegap, berambut panjang terurai berwarna hitam keputih - putihan. Dimana mata orang itu cacat sebelah dengan hidung mirip paruh burung.
"Herggggg.... " gerum orang itu, seram.
"Aku Jabarantas akan menggilasmu, anak setan !"
Ki Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya demi mendengar nama orang itu. Nama itu mirip dengan gelar seorang suci dan guru ki Ageng Pengging Anom, di telatah Lemah Abang. Ataulah orang ini merupakan muridnya juga ?
"Jabarantas... " desis ki Lurah Arya Dipa, mengulangnya.
Tetapi belum lagi dirinya mendapatkan jawaban, orang yang mengaku sebagai Jabarantas telah berseru memanggil seseorang, "Adi Kajenar, ayo kita akhiri ini !"
Kembali seseorang muncul dengan santainya. Seakan tiada sesuatu yang perlu dikwatirkan. Seorang lelaki berperawakan tinggi dengan pakaian jubah berwarna hitam dan ikat kepala merah tanah.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 6
oleh : Marzuki
Dua orang dengan gelar ki Jabarantas dan ki Kajenar merupakan murid dari padepokan Lemah Abang yang didirikan oleh Syaikh Siti Jenar, seorang Suci yang mempunyai pandangan berbeda dalam menyebar agama Islam. Maka tak heran jika keduanya menggunakan nama atau gelar dari gurunya yaitu, Syaikh Datuk Jabarantas dan Pangeran Kajenar. Dan keberadaan mereka tiada lain dan bukan untuk menuntut balas atas kematian gurunya dan juga saudara seperguruannya ki Ageng Pengging Anom atau disebut juga Raden Kebo Kenongo putra Adipati Pancatandha Pengging Handayaningrat. Namun betapa marahnya kedua orang itu saat mengetahui sikap putra ki Ageng Pengging, Mas Karebet malah menjadi menantu Sultan Trenggono yang jelas - jelas ikut terlibat menjadi dalang kematian ayahnya sendiri.
Ketika itulah pada saat ki Jabarantas dan ki Kajenar beserta murid - muridnya ingin menghapus noda hitam berupa tindakan membunuh Mas Karebet, ditengah jalan iringan itu bertemu dengan ki Wanapati dan Raden Sajiwo, dan melakukan pembicaraan dimana kedua kelompok itu memiliki sikap dan tujuan sama. Maka didapatilah kesepakatan sama untuk melenyapkan Adipati Pengging, juga yang lebih hebat lagi ialah melenyapkan Trah Demak dan keturunannya.
Lalu keberadaan kelompok ki Jabarantas berada di lorong barat daya kadipaten Pajang, merupakan langkah - langkah yang sudah dibicarakan bersama kelompok ki Wanapati, untuk menutup masuknya orang - orang yang dicurigai sampai datangnya pasukan dari beberapa perguruan. Dan siang itu tanpa disangka lewatlah iringan kecil ki Lurah Arya Dipa dan terjadilah perkelahian hingga keluarnya ki Jabarantas dan ki Kajenar.
"Sepertinya orang - orang ini yang dimaksud oleh ki Wanapati, kakang." kata ki Kajenar, sembari memperhatikan ki Lurah Arya Dipa dan Windujaya yang mampu mengalahkan murid - muridnya.
"Hm... Benar, Adi. Dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh anak setan ini, sepertinya dialah orang yang bergelar Kilatmaya." sahut ki Jabarantas, dan kemudian, "Bukankah begitu anak setan ?!"
Ki Lurah Arya Dipa tak mengira jika pakaian kuning yang ia kenakan dapat diketahui sebagai ciri dirinya. Tetapi sebagai prajurit yang pambeg, ia tidak mengelak akan jati dirinya.
"Oh.. Sebuah kehormatan jika ternyata Kilatmaya sebuah nama permainan yang aku sandang telah merebak kemana - mana." kata ki Lurah Arya Dipa, seraya mengangguk hormat.
Lalu kemudian katanya, "Lalu kisanak ini siapa dan mengapa menghentikan perjalanan kami seperti ini ?"
Ki Kajenar-lah yang angkat suara sembari melangkah dua tindak, "Baiklah aku akan berterus terang denganmu, Ngger. Seperti yang kau dengar tadi, aku adalah Kajenar salah satu murid bapa guru Syaikh Siti Jenar."
"Oh... " desuh ki Lurah Arya Dipa.
Tidak hanya ki Lurah Arya Dipa saja yang kaget dengan ucapan ki Kajenar itu, Windujaya dan juga Juru Mertani, Kyai Jalasutro serta Begawan Jambul Kuning yang masih menghadapi lawan - lawan mereka terpaksa meloncat agak jauh dan menghentikan perkelahian demi mencerna ucapan yang tak terduga itu.
"Sepertinya mereka tak mempercayai kita, Adi.. " kata ki Jabarantas sedikit mendongkol.
Adik seperguruannya yang mempunyai kesan lunak dalam tutur kata, tersenyum.
"Hehehe... Sudah sepantasnya jika mereka berlaku begitu, kakang. Semuanya timbal balik dari perilaku awal yang telah kau lakukan tadi."
Ki Jabarantas mendengus keras, "Kau terlalu lunak, adi Kajenar. Terhadap orang - orang seperti mereka sudah sepantasnya aku berlaku kasar. Agar kejadian seperti kematian adi Kebo Kenongo tidak terulang lagi."
"Uh.. Sudahlah." desis ki Kajenar sambil mengalihkan pandangannya kepada ki Lurah Arya Dipa.
"Angger, pergilah menjauh dari telatah Pajang. Kasihan jika kau ikut terseret pusaran tak berujung mengenai permasalahan kelompokku dengan anak durhaka Mas Karebet." lanjut ki Kajenar, memperingatkan.
"Terima kasih atas kebaikan kisanak yang sudah memperingatkan diriku." ucap ki Lurah Arya Dipa, dan lanjutnya kemudian, "Tetapi aku disini seorang prajurit yang bertugas mengetahui kebenaran dari masalah di Pajang ini, kisanak."
"He ngger, bukankah aku sudah katakan kalau ini persoalan antara mendiang Raden Kebo Kenongo dan putranya ? Yang jelas tidak berhubungan dengan bidangmu." sergah ki Kajenar, agak kesal.
"Kisanak, janganlah kau merumitkan sebuah masalah yang sebenarnya sudah dituntaskan oleh orang yang berkepentingan itu sendiri, yang tiada lain gusti Adipati Pajang." ki Lurah Arya Dipa mencoba menerangkan kebenaran yang ia ketahui dari persoalan ayahanda Adipati Pajang.
"Persoalan itu sudah lama terjadi. Dan gusti Adipati Pajang menyadari akan kekeliruan dari ayahandanya itu. Oleh karenanya ia dengan rela menerima pepesten kematian ki Ageng Pengging Anom."
"Tutup mulutmu anak muda !" Bentak ki Jabarantas yang tak dapat menahan amarahnya.
Orang itu meloncat menyerang ki Lurah Arya Dipa. Tetapi baru separuh jalan seorang anak muda menghentikan langkahnya, yang tiada lain Windujaya.
"Maaf kakang Dipa, aku ingin bermain dengan kakek ini !" seru Windujaya.
"Setan alas !" umpat ki Jabarantas.
Sementara ki Lurah Arya Dipa menggeleng perlahan demi melihat tingkah laku murid kakeknya itu. Walau begitu ki Lurah Arya Dipa tidak melarangnya, melainkan memusatkan perhatiannya kepada ki Kajenar, yang ia rasa memiliki kemampuan lebih hebat dibandingkan kakak seperguruannya.
Sedangkan perkelahian yang sesaat terhenti antara Juru Mertani, Begawan Jambul Kuning dan Kyai Jalasutro menghadapi murid - murid perguruan Lemah Abang kembali berlanjut.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 7
oleh : Marzuki
Pergumulan dua kelompok meningkat tajam seiring bergesernya sang waktu. Tata gerak nggegirisi berlambarkan kekuatan cadangan mulai terungkap lebih sering, menandakan niatan untuk segera mengakhiri perkelahian. Terbukti betapa dua orang lawan Juru Mertani dalam setiap tata geraknya terlihat walau samar - sama senjata kedua lawannya itu membias api mencurah keluar. Bila dari awal Juru Mertani tidak mengungkap aji Tameng Waja yang ia miliki, bisa jadi kulitnya mengelupas oleh pancaran panas senjata lawannya.
Begitu juga dengan apa yang dialami oleh Kyai Jalasutro, dimana lawannya juga mengungkap ilmu serupa menggunakan lambaran aji Kumbolo Geni ciri khusus yang dimiliki oleh perguruan Lemah Abang. Berbeda dengan Juru Mertani, Kyai Jalasutro memilih mementahkan ilmu lawan menggunakan ilmunya berlambarkan air. Karenanya acap kali disetiap sentuhan masing - masing terdengar suara api yang tersiram air.
Lain cerita bila menyaksikan Begawan dari gunung Bancak, Begawan Jambul Kuning. Orang tua itu tidak memperdulikan sengatan udara panas yang diungkap oleh lawan - lawannya. Tubuhnya meskipun memasuki usia senja terus berkelebat layaknya bayangan hantu menggempur pertahanan kedua lawannya tanpa memberikan tenggang waktu.
"Demit sialan !" gerutu lawannya yang bermuka bulat, sewaktu pundaknya terkena gempuran.
Belum lama gantian kawannya jatuh dengan darah menghiasi bibirnya. Ternyata sebuah tamparan keras membuat orang itu terlempar deras, meskipun ia bergegad berdiri, tak luput keluhan sakit meluncur dari mulutnya, disusul umpatan kasar.
"Babo babo..... " seru Begawan Jambul Kuning, sembari menancapkan tongkat pring kuning ke tanah.
"Itu baru tanganku, belum tongkat ini !" ucapnya lebih lanjut.
Tindakan dari Begawan Jambul Kuning telah menyulut api kemarahan kedua lawan - lawannya. Tanpa saling berjanji keduanya melepas senjatanya dan memulai mengungkap ilmu pamungkas mereka. Aji Kumbolo Geni mulai terpusatkan menjadi satu gumpalan yang kemudian dilontarka ke arah orang tua di depan mereka.
"Wuuuuuusttt..... Byaaaaar... !!!!"
Dua bola api meluncur deras dan tak lama kemudian terdengar ledakan dahsyat menggetarkan tanah di lorong pertigaan menuju Pajang. Debu tebal mumbul menutupi tanah yang sebelumnya menjadi tempat pijakan kaki Begawan Jambul Kuning, menjadikan mata sulit memandang apa yang terjadi pada diri Begawan Jambul Kuning. Hingga suatu kali debu itu kembali luruh jatuh ke tanah dan barulah terlihat tempat itu hanya menyisakan lubang.
Perasaan dua murid perguruan Lemah Abang bergolak demi mendapati lawannya lolos dari sergapan ilmu pamungkasnya. Mata keduanya bergegas berkeliaran mencari keberadaan lawannya, dan berhenti ketika dilihatnya seorang berdiri tegap diatas tongkat pring kuning dengan kedua tangan bersedekap.
"Gila.... !" seru salah seorang.
"Ilmu yang nggegirisi." kata Begawan Jambul Kuning, "Tapi sayang, wujudnya masih mentah."
Ucapan itu tentu saja dianggap penghinaan bagi kedua orang itu. Oleh karenannya keduanya merasa ingin berhadapan dada dengan kakek sombong itu.
"Jangan hanya bicara saja, kakek tua !" seru salah seorang, "Bila kau tanggon, ayo beradu dada menggunakan ilmu pamungkas kita !"
"E...ladalah, kau menantang ? Hm... baik aku terima tantanganmu !"
Usai berbicara Begawan Jambul Kuning turun dari tongkat pring kuning, mengarah lurus kearah dua lawannya. Sorot mata bersungguh - sungguh memancar tajam, mengisyaratkan orang tua itu tidak main - main lagi. Tubuhnya sudah siap mengungkap salah satu ilmu pamungkasnya, yaitu Serat Bayu untuk menghanyutkan aji Kumbolo Geni lawannya.
Dua aji Kumbolo Geni berhadapan dengan aji Serat Bayu milik Begawan yang dimasa mudanya dikenal dengan Raden Arya Bancak putra Pangeran Paguhan dari Kadiri, sejenak kemudian saling bertabrakan keras dan dahsyat. Membuat tanah kembali berderak hebat dan telinga pengang tak terkira.
"Byaaaar.... Byaaaar.... !!!"
Lontaran dua aji Kumbolo Geni terhantam serangkum angin besar membuat tenaga dari Kumbolo Geni terpental ke arah kedua murid Lemah Abang. Tubuh keduanya tak dapat lolos terkena ilmu sendiri ditambah amukan angin mencelatkan tubuh kedua orang itu sedemikian jauhnya. Raga yang awalnya bernyawa itu, kini kosong tak dapat lagi bergerak untuk selama - lamanya.
"Oh Jagat Bathara, ampunilah aku.." desis Begawan Jambul Kuning, setelah memastikan keadaan kedua lawannya. Lalu kemudian orang tua itu melangkah pergi mendekati perkelahian yang melibatkan muridnya, Windujaya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 8
oleh : Marzuki
Mendekati kalangan perkelahian antara Windujaya dan ki Jabarantas, terasa udara tajam menusuk, karenanya Begawan Jambul Kuning atau Raden Arya Bancak bergegas mengungkap ilmu pertahanan untuk melindungi tubuh tuanya itu. Orang tua itu berdiri dua tombak dari perkelahian yang sengit itu, dan mencoba memperhatian keadaan yang sebenarnya mengenai jalannya perkelahian. Tak berselang lama terlihat kepala begawan dari gunung Bancak mengangguk perlahan menandakan ia tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dimana ia tahu betul jika orang yang dihadapi oleh muridnya adalah seorang linuwih dengan bekal ilmu kanuragan tingkat tinggi. Orang tua itu dalam hati hanya berharap muridnya yang sudah menyadap ilmu darinya dapat atau bisa menghadapi lawannya yang tangguh itu.
"Aku berharap Windujaya mampu berpikir bijaksana dan menekan pengendalian dirinya." desis Begawan Jambul Kuning.
Sementara itu di sisi lain yang tidak jauh, dua tubuh lawan terkapar pingsan setelah menerima sentuhan ikat pinggang dari seorang pemuda yang tiada lain dan bukan, Juru Mertani.
"Biarlah keduanya pulas seperti itu." kata Juru Mertani lirih, sembari memasang ikat pinggangnya kembali.
Barulah kemudian Juru Mertani memperhatikan keadaan sekitarnya. Di sebelah kanannya, terlihat Kyai Jalasutro masih mempermainkan lawan - lawannya. Diedarkan matanya ke arah lain, dan disitu terlihat ki Lurah Arya Dipa menjajagi kemampuan ki Kajenar. Lalu menolehlah Juru Mertani agak jauh, matanya terhenti menyaksikan perkelahian Windujaya dan ki Jabarantas, serta dilihatnya Begawan Jambul Kuning berdiri tidak jauh dari kalangan tanpa batas itu. Pemuda itupun perlahan melangkahkan kakinya mendekati Begawan Jambul Kuning dan menyapanya.
"Eyang Begawan."
"Oh.. Anakmas sudah mengakhiri permain tadi ?"
Juru Mertani mengangguk sembari tersenyum dan katanya, "Begitulah, Eyang Begawan. Dan sepertinya lawan adi Windujaya tidak boleh dipandang sebelah mata."
"Hm... Iya Anakmas. Bila orang itu benar - benar murid Syaikh Siti Jenar dalam bidang olah kanuragan, tentu ia merupakan seorang yang nggegirisi." sahut Begawan Jambul Kuning.
Masih jelas ingatannya dengan sosok sahabatnya yang juga murid dari Syaikh Siti Jenar dan juga anak dari Adipati Handayaningrat, yaitu Raden Kebo Kanigoro kakak ki Ageng Pengging Anom. Dirinya sempat merasakan ajian Kumbolo Geni yang hampir mendekati sempurna pada waktu itu. Betapa pukulan itu membuatnya terasa bagai diguyur lumeran kawah Merapi.
"Hm... Bila aku tiada memiliki bekal Serat Bayu, mungkin Hyang Yamadipati sudah membawaku ke alam kelanggengan." batin orang tua itu.
Di depan ki Jabarantas yang mempunyai sikap keras, telah menunjukan bagaimana dalam setiap tata geraknya terkesan mengunggulkan kekuatan wadagnya. Tangannya laksana besi bila mengenai benda dan membuat benda itu hancur, seperti saat mengenai pohon ataupun batu. Bisa dibayangkan jika yang dikenainya adalah manusia, yang terdiri dari kerangka tulang dibalut daging serta campuran darah.
Namun lawannya adalah seorang pemuda yang darahnya menggebu - gebu dengan kekuatan menggelora, dilambari kemampuan yang juga tak olah - olah. Murid kinasih dari Begawan ugal - ugalan dengan olah kanuragan trah ningrat menjadikan pemuda itu seorang linuwih juga. Maka tak heran jika pemuda itu dapat meloncat dan mengelak menghindari gempuran dahsyat dari ki Jabarantas.
"Pantas kau menyombongkan dirimu anak muda !" seru ki Jabarantas, yang mendapati kalau lawannya memiliki bekal kanuragan hebat.
"Tapi jangan girang dulu. Jangan sebut aku Jabarantas jika tubuhmu tidak mencelat !" sumbar ki Jabarantas.
Dan benar saja, usai berkata begitu orang tua itu melesat deras sembari mengibaskan lengannya. Serangkum angin dahsyat menderu melabrak tubuh lawannya dengan derasnya.
mendapati tubuhnya mencelat, Windujaya tak hilang akal. Ia berusaha mengendalikan dirinya dan tetwp mengikuti arus angin yang menerpanya. Dan saat dirasa tubuhnya hampir mendekati tanah, dengan sigap pemuda itu menotolkan tangannya untuk memembalkan tubuhnya dan kemudian berdiri dikedua kakinya.
"Bagus... !" puji ki Jabarantas, seraya meloncat mengejar lawannya.
Demi mengetahui lawannya tak tinggal diam, Windujaya bergegas menyongsong gempuran lawan. Kemampuan yang ia miliki segera diungkap, serta peningkatan pranggaita demi membaca arah serangan lawan.
Mendekati tubuh Windujaya, tangan keras ki Jabarantas menusuk ke depan. Tetapi Windujaya tidak mau diam saja, kakinya kirinya bergeser sedikit dan kaki kanan membentuk siku berguna menyodok lambung ki Jabarantas, serta dibarengi kepalan tangannya mengembang mencoba menangkap pukulan itu. Namun rupanya ki Jabarantas juga bersikap serang - bertahan, yaitu pukulannya tetap berlanjut dibarengi tangan satunya mencoba menahan sodokan kaki Windujaya.
Terjadilah adu kekuatan hebat yang mana membuat kedua tubuh terdorong satu sama lain sejauh dua tindak. Walau begitu keduanya kembali melanjutkan perkelahian semakin sengit penuh ancaman. Memunculkan tata gerak penuh kembangan dan juga tipuan bagi lawan berupa siasat dan adu kejelian.
Seiring dengan berjalannya waktu, tanpa berjanji dahulu keduanya meloncat menjaga jarak. Keduanya mencabut senjata masing - masing yang mereka andalkan. Terlihat kyai Samudro Geni, keris Windujaya mengeluarkan pamornya dengan sinar kemerahan. Sementara ditangan ki Jabarantas juga menggenggam keris luk sebelas yang dinamai kyai Manunggal Pati dengan pamor berwarna hitam legam.
Menyaksikan kedua senjata yang sama - sama keramat itu, membuat Juru Mertani yang menyaksikan bersama Begawan Jambul Kuning, tergetar.
"Senjata mengerikan.. " desisnya lirih.
Begawan Jambul Kuning menoleh, "Namun akan patah jika berhadapan dengan ikat pinggang Anakmas."
"Oh... " desuh Juru Mertani dan, "Malah ikat pingganggu akan terpotong - potong menjadi kecil, Eyang Begawan. Berbeda jika itu milik kakang Lurah Arya Dipa, yaitu kyai Naga Denta."
"Hahaha.... kita lihat mereka, Anakmas." kata Begawan Jambul Kuning, mengalihkan perhatian ke kalangan lagi.
Juru Mertani mengangguk dan juga ikut memperhatikan apa yang akan terjadi dengan dua orang bersenjatakan keris andalan mereka.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 9
oleh : Marzuki
Sejenak ki Jabarantas ataupun Windujaya mengangkat pusaka mereka setinggi dahi dan kemudian melekatkan kedahi, barulah kemudian gerakan - gerakan ringan mempermainkan keris dengan lihainya sebagai pemanasan sendi - sendi tangan yang menyatu dengan tenaga keris itu sendiri. Dan setelah dirasa cukup, keduanya berkelebat saling menubruk dibarengi serangan menggunakan keris sepenuh tenaga.
Denting baja- pun terdengar bersamaan percikan bunga api saat dua keris beradu. Juga keduanya tidak berhenti dalam satu serang saja, melainkan susul - menyusul menyerang berupa tusukan dan sabetan, serta bisa digunakan untuk menahan laju tajamnya keris senjata lawan sendiri. Tentunya juga dalam setiap menyerang memakai senjata, anggota tubuh lainnya ikut ambil bagian yang tak kalah hebatnya. Yaitu memakai tangan untuk memukul, menohok, atau menggemplang dan dipakai bertahan. Sepasang kaki selain digunakan untuk menggeser letak berdiri, mampu digunakan untuk menendang, menjegal lawan, atau menyodok dengan menekuk kaki sendiri ke arah lambung lawan.
Semakin sengitlah perkelahian antara ki Jabarantas dan Windujaya yang sudah mencabut keris kyai Manunggal Pati dan kyai Samudro Geni. Warna cahaya pamor hitam legam dari kyai Manunggal Pati menderu - menderu seakan ingin melahap sasaran disekitarnya. Tetapi cahaya pamor kyai Samudro Geni melabrak layaknya ombak lautan api yang mampu menghanguskan dan memecak karang menjadi debu. Betapa dahsyat pergulatan kedua pamor keris untuk menindih dan menghimpit kekuatan lawannya.
Ini menandakan kalau tenaga muda Windujaya yang melebur dalam kesatuan dengan kyai Samudro Geni memang hebat sekali. Usia muda dengan bekal ilmu perguruan Cakra Ningrat lewat jalur Raden Arya Bancak atau Begawan Jambul Kuning dapat melayani kemampuan dari ki Jabarantas murid Syaikh Siti Jenar dari perguruan Lemah Abang, hingga saat - saat ini. Namun semuanya segera semakin terlihat atau mulai mendesak ke arah pemuda itu, setelah orang tua bersenjatakan kyai Manunggal Pati mulai marah dan meningkatkan kemampuan sesungguhnya yang ia miliki.
Semburat api kecil mencuat dari ujung kepalan tangan yang dipakainya untuk menggenggam pusakanya, lalu menjalar terus menyelubungi hitamnya pamor keris kyai Manunggal Pati. Selain itu udara menyebarkan bau anyir menusuk indera penciuman yang mengakibatkan rasa pening bagi siapa saja dalam jangkauan ilmu yang saat ini dipakai oleh ki Jabarantas. Tak terkecuali Windujaya, dan juga sampai tercium oleh Begawan Jambul Kuning dan Juru Mertani yang berdiri diluar kalangan.
"Ilmu yang merusak pemusatan pikiran." desis Juru Mertani, lirih.
"Bahaya akan segera mengancam muridku." ucap Begawan Jambul Kuning.
Juru Mertani juga menyadari itu. Karenanya tanpa mengurangi rasa hormat, Juru Mertani mencoba meminta dirinya untuk diperkenankan membantu Windujaya kepada Begawan Jambul Kuning.
"Baiklah, Anakmas. Anakmas boleh membantunya saat - saat terakhir." kata Begawan Jambul Kuning, mengabulkan.
Di dalam kalangan sendiri sebenarnya Windujaya menyadari bahaya di depan mata. Oleh karenanya ia mencoba menutup setiap lubang anggota tubuhnya agar ilmu lawan tidak melemahkan daya inderanya. Akan tetapi ilmu lawan dapat membobol dan memporak - porandakan pertahanannya, hingga membuat tubuh pemuda itu limbung tak mampu mempertahankan kakinya. Dan tubuh pemuda itu lemas tak berdaya hingga kemudian ambruk.
Pada saat bersamaan ki Jabarantas melenting jauh ke depan sembari menghunuskan kyai Manunggal Pati. Tubuhnya melesat deras dilambari tenaga cadangan siap menuntaskan perkelahian yang sudah menyitakan banyak waktu. Dengan penuh keyakinan ki Jabarantas bisa membunuh pemuda sombong dihadapannya hanya dengan sekali pusakanya menancap ditubuh lawannya itu. Akan tetapi betapa kagetnya murid Syaikh Siti Jenar, mendapati tempat yang awalnya ada tubuh tak berdaya, telah kosong melompong. Menyisakan tanah dan tusukan senjatanya saja.
Dengan menggerung keras, mata ki Jabarantas mencoba mencari tubuh lawannya yang lenyap. Sejenak kemudian tertumbuklah pandangannya kepada seorang pemuda lain yang sedang membaringkan tubuh lawannya. Seakan dengan santainya pemuda itu meletakan tubuh yang ia bawa tanpa menghiraukan ki Jabarantas. Hal itu telah memancing kemarahan yang sangat.
"Bedebah kurang tata.... !" umpat ki Jabarantas.
Sementara pemuda yang tiada lain adalah Juru Mertani, mencoba mengalurkan tenaga murninya demi menghilangkan tenaga milik ki Jabarantas yang telah menelan kesadaran Windujaya. Dan setelah dirasa cukup, Juru Mertani berdiri untuk mempersiapkan diri bertanggung jawan dengan apa yang ia lakukan. Yaitu harus menggantikan Windujaya menghadapi seseorang linuwih dengan penuh hati - hati.
"Biarlah anak ini aku yang mengurusnya, Anakmas." ucap Begawan Jambul Kuning, setelah berada di dekat Juru Mertani.
"Silahkan, Eyang Begawan."
Kemudian Begawan Jambul Kuning meraih tubuh muridnya untuk dibawa agak menjauh dari kalangan.
Sepeninggal Begawan Jambul Kuning dan Windujaya, Juru Mertani berjalan agak ke depan. Pemuda yang juga murid ki Ageng Sela itu telah mengurai ikat pinggangnya. Ikat pinggang kulit pilihan yang menemaninya dalam setiap petualangan seperti kali ini juga, merupakan bentuk kesungguhannya dalam menghadapi mara-bahaya. Juru Mertani tidak ingin meremehkan lawannya yang bersenjatakan pusaka nggegirisi seperti kyai Manunggal Pati, keris berluk sebelas.
Lain lubuk, lain belalang. Kesungguh hati Juru Mertani dengan mengurai senjata andalannya, malah membuat lawannya merasa diremehkan. Mana mungkin keris yang terbuat dari baja pilihan yang juga dalam waktu pembuatannya membutuhkan lelaku rumit dan sulit hanya dihadapi menggunakan selembar kulit saja ? Betapa tindakan itu menunjukan kesombongan setinggi gunung dan merendahkan ki Jabarantas ?
Semburat merah membara bagai luapan lautan api, bergegas mewarnai wajah ki Jabarantas, disertai dengus layaknya guntur dilangit. Gigi bergemeletuk, tubuh bergetar hebat oleh kemarahan yang sangat. Tanpa menunda lagi keris ditangan ki Jabarantas bergerak membelah pemuda di hadapannya.
"Huuuuust.... "
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 10
oleh : Marzuki
Keris itu memang melaju tepat kesasaran dan sasarannya terlihat tetap berada ditempatnya, tanpa bergeser sedikitpun. Hanya saja apa yang diinginkan tidak seperti yang diinginkan, berupa goresan di tubuh sasaran. Melainkan keris itu tak dapat merantaskan benda yang terbuat dari kulit kerbau, walau hanya melukai barang sedikit.
Ikat pinggang terbuat dari kulit kerbau merentang diatas kepala Juru Mertani, terasa liat hingga sulit dipapas senjata lawan. Malah membuat keris kyai Manunggal Pati milik ki Jabarantas mental bersama sang pemilik. Menyisakan beribu macam perasaan berkecamuk dalam rongga dada ki Jabarantas.
Di luar gelanggang Begawan Jambul Kuning tersenyum kagum melihat kemampuan Juru Mertani, dengan hanya menggunakan selembar ikat pinggang pemuda itu dapat mementahkan tajamnya bilah keris pusaka. Apa yang selama ini diwartakan oleh dunia kanuragan benar adanya mengenai putra ki Ageng Saba itu. Seorang pemuda linuwih dengan kemampuan segudang ilmu mumpuni. Karena sangatlah jarang seseorang menggunakan benda yang sebenarnya bukan senjata, tetapi dapat ia gunakan.
Orang tua itu jadi teringat cucunya yang juga memiliki kemiripan dengan Juru Mertani. Ikat pinggang milik cucunya yang dinamai kyai Anta Denta yang terbuat dari kulit naga gunung Penanggungan, di tangan cucunya dapat membelah batu sebesar kerbau, melumatkan pohon dan meluluh lantahkan gumuk.
Dalam pada itu, ki Jabarantas yang terpesona dengan kehebatan lawannya yang terpaut jauh usia dengan dirinya, mencoba memahami keadaan disekitarnya. Maka diperolehlah kesadaran akan adanya sesuatu hal yang tidak lumrah akan menjadi lumrah. Dikikislah segala decak kagum pada hatinya untuk diubah menjadi semangat mewujudkan keinginannya berupa upaya mengungguli kemampuan lawannya.
"Hebat kau anak muda. Kuhargai kemampuanmu itu. Karena itu, agar kau tidak mati sia - sia, maka sebutkan nama atau gelarmu !" seru ki Jabarantas.
Tanpa mengurangi kewaspadaannya, Juru Mertani angkat bicara demi menyahuti ucapan lawannya, "Aku hanyalah abdi kinasih gusti Adipati Hadiwijaya, kisanak, yang suka bergelut dengan lumpur persawahan. Oleh karena itulah aku dipanggil Juru Mertani."
"Hahaha.... Jadi kau mengabdi sebagai tukang sawah, anak muda ?" ejek ki Jabarantas, "Pantas ikat pinggangmu berbau lumpur bajakan."
Ejekan itu membuat Juru Mertani tersenyum, tidak sedikitpun ia merasa kesal atau marah. Tetapi pada saat itu orang lainlah yang menyahut keras meladeni ejekan ki Jabarantas.
"He Jabarantas, bukalah telingamu lebar - lebar. Meskipun anak muda itu seorang yang bergumul lumpur persawahan, dia memiliki kemampuan yang ngedab - ngedabi. Tahukah kau dengan seorang dari Sela yang dapat menangkap petir ? Anak muda ini menantu sekaligus muridnya !" seru Begawan Jambul Kuning.
Tentu saja teriakan itu membuat perubahan wajah ki Jabarantas dalam menyikapi pemuda di depannya. Benarkah pemuda di depannya benar - benar murid ki Ageng Ngenis, seorang linuwih itu ? Berarti jika benar, maka ia harus hati - hati dan tidak mencoba - coba meremehkan pemuda itu.
"Omong kosong !" kata ki Jabarantas dalam hati, mencoba menyapu keraguan dalam hatinya seraya melanjutkan ucapannya dalam hati, "Tentu ia belum menuntaskan ilmu Sela."
Desir angin perlahan menerpa lorong jalan itu. Beberapa tubuh manusia terkapar diam tak beraturan, entah itu pingsan atau tinggal jasad saja. Dua kalangan perkelahian terlihat seru dan sengit, sedangkat satu lagi masih terdiam saling memandang satu sama lain, seolah menakar kemampuan lawan.
"Hm... Baiklah anak muda, bila benar - benar kau murid perguruan Sela, buktikan di sini !" seru ki Jabarantas.
Juru Mertani melangkah setindak ke depan seraya berkata, "Maaf, kisanak. Ilmu yang aku sadap dari bapa Ngenis baru seujung kuku. Belumlah tuntas bila dibandingkan dengan Adimas Hadiwijaya, adi Pemanahan dan adi Penjawi."
"Terserah apa yang kau ucapkan." sahut ki Jabarantas, "Bila kau tidak bersungguh - sungguh, ilmuku akan menggilasmu !"
Usai berkata, orang dari perguruan Lemah Abang itu telah menggerakan kerisnya. Lambaran ilmunya telah merambat menyelubungi pusaka andalannya. Tampaknya orang ini bersungguh - sungguh menggilas lawannya yang masih muda.
Sebaliknya Juru Mertani-pun juga mempersiapkan dirinya seutuhnya. Aji Tameng Waja telah ia terapkan sebagai pertahanan melindungi sekujur tubuhnya. Selain itu ilmunya yang bersumber dari garis ayahnya juga bergegas ia terapkan.
"Duh Gusti Agung, lindungilah hambamu ini dari segala celaka." desis Juru Mertani dalam hati.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 11
oleh : Marzuki
Selanjutnya dua orang yang sudah mempersiapkan dirinya seutuhnya, telah melontarkan ilmu puncaknya. Seleret sinar dari Juru Mertani membentur seleret bara dari tangan ki Jabarantas, menimbulkan dentum keras memekakan telinga. Debu dari tanah tak luput terkena imbas dari pertemuan dua tenaga dahsyat tadi, dan berhamburan tak karuan bentuknya.
Di dalam lebatnya debu membumbung, dua lelaki tanggon tampak berdiri bertumpu kuda - kuda yang kuat, sekaligus berusaha menjaga keseimbangan tubuh dari guncangan akibat benturan yang telah terjadi. Gambaran dari seorang pemuda yang masih menyelimuti tubuhnya dengan aji kekebalan berupa Tameng Waja, tak luput merasakan rasa nyeri dirasakan oleh dadanya. Sementara tak jauh letaknya, terlihat orang tua dari perguruan Lemah Abang, meringis karena dadanya bagai tertumbuk bongkahan karang, sehingga menghambat pernapasannya.
Tidak lama debupun luruh kembali ke tanah. Semakin jelaslah apa yang terjadi. Kedua orang yang tadi menerapkan ilmu nggegirisi masih dapat bertahan sejauh ini. Meskipun keduanya juga tak luput dari luka dalam.
Dalam keadaan Juru Mertani dan ki Jabarantas mencoba menguasai keadaan tubuh mereka, tak terpaut jauh hanya berjarak kurang dari dua puluh langkah, ki Kajenar mulai merangsek menyerang ki Lurah Arya Dipa. Tidak seperti perkelahian ki Jabarantas yang langsung pada puncaknya, ki Kajenar mencoba menjajagi lawannya yang terpaut jauh usia dengannya. Orang tua ini dengan telaten mencoba melihat warna dari tata gerak dasar lawannya. Dengan mengetahui warna sesungguhnya dari tata gerak lawannya, ki Kajenar berharap dapat menekan atau mementahkan ilmu lawannya tanpa harus mencurahkan keringat dan tenaga terlalu berlebihan.
Akan tetapi tak pelak kulit di dahi ki Kajenar mengernyit manakala menyaksikan tata gerak lawannya, yang terkesan sangat lentur dalam menghadapi serangan yang ia luncurkan. Langkah - langkah kaki pemuda dihadapannya hanya bergeser satu dua saja untuk menghindaru sergapan tangan atau tendangan dari kakinya. Hal itu menyadarkan orang tua itu, mau tidak mau harus meningkatkan tataran ilmunya selapis lebih tinggi. Namun setiap ki Kajenar meningkatkan ilmunya, lawannya seakan - akan selalu dapat mengimbangi kemampuannya.
"Aku tak mengira di Bang Tengah ini ada seorang pemuda yang mampu bertahan sejauh ini !" kata ki Kajenar seraya melayangkan pukulan ganda.
Ki Lurah Arya Dipa memiringkan tubuhnya, juga tak tinggal diam telah menggerakan tangannya guna membalas pukulan dari lawannya. Tetapi lawannya telah meloncat surut dua tindak dan menyusul gerakan kaki menotol tanah, menyebabkan tubuh lawannya itu mumbul mengangkasa sembari menyongsongkan kaki ke arah ki Lurah Arya Dipa yang selalu siaga telah menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Sejurus kemudian benturan wadag untuk pertama kalinya telah terjadi. Dimana tubuh ki Kajenar setelah membentur pertahanan lawan, membuat tubuhnya mental, tetapi dengan sebat dan lincah dapat mengendalikan derasnya daya dorong yang membalik dan dapat bertumpu ke tanah dengan sangat baik. Sementara ki Lurah Arya Dipa masih berada di tempatnya berpijak, hanya saja kakinya sebatas mata kaki melesek ke dalam tanah.
"Oooo.. Seorang pemuda berbakat." puji ki Kajenar menyaksikan lawannya tidak mengalami sesuatu apapun.
"Ah.. kisanak berlaku baik dan aku kira kisanak masih mencoba menahan tenaga." sahut ki Lurah Arya Dipa, merendah.
"Cukup cermat juga penglihatanmu, Kilatmaya. Baiklah aku akan merambah tenaga cadangan, jadi bersiaplah agar kau tidak celaka !" seru ki Kajenar penuh percaya diri sembari mempersiapkan diri.
Hanya sejumput senyum menghiasi bibir ki Lurah Arya Dipa, dan iapun mulai mempersiapkan diri juga. Ki Lurah Arya Dipa sangat yakin kalau di dalam tubuh ki Kajenar tertimbun sebangsal ilmu kadigdayan yang nggegirisi. Apalagi tadi ki Lurah Arya Dipa sempat menyaksikan lontaran ilmu kakak seperguruan murid Lemah Abang itu, yaitu aji Kumbala Geni, sebuah ilmu langka yang dapat melumatkan korbannya. Oleh karena itu pemuda cucu Begawan Jambul Kuning itu telah menyelimuti tubuhnya dengan aji Niscala Praba yang ia pelajari dari kitab Cakra Paksi Jatayu.
Warna kuning kemilau perlahan menyelimuti ki Lurah Arya Dipa. Tak pelak membuat ki Kajenar heran dengan perubahan aneh tersebut, walaupun kemudian orang tua itu berusaha mencari landasan yaitu percaya akan ilmu yang mendarah daging dengannya.
Gemeretak keras dari gigi ki Kajenar mengawali loncatan panjang bak harimau menerkam mangsa. Loncatan deras beserta juluran dua tangan menyasar tubuh lawan ia lakukan. Walau ki Kajenar melihat lapisan aneh menyelimuti tubuh lawannya, ia tidak menduga sama sekali kalau pancaran kemilau dari tubuh lawannya dapat membuat tangannya nyeri. Namun rasa nyeri itu dengan cepat ia acuhkan, dan kemudian tataran ilmunya ia tingkatkan demi membobol lapisan aneh sebagai pertahanan ki Lurah Arya Dipa. Maka terlihatlah semburat merah menyala melambari tangan ki Kajenar yang telah mengungkap aji Kumbolo Geni.
Semakin sengit dan serulah dua orang dalam beradu ilmu kanuragan di dekat pertigaan lorong menuju kadipaten Pajang. Benturan demi benturan membuat tubuh - tubuh mereka bergerak laksana bayang - bayang yang sulit diikuti dengan kasat mata. Tak heran jika siapa saja diluar gelanggang memperhatikan cara keduanya bertarung, akan takjub terpesona.
Dalam pada itu, Juru Mertani sudah dapat mengendalikan tubuhnya yang semakin baik. Begitu pula dengan lawannya yang terlihat sudah berdiri dengan mata mencorong tajam, bagaikan mata harimau mengintai mangsa.
Dan tanpa berjanji, kembali kedua orang linuwih itu telah mengungkap ilmu masing - masing lebih dahsyat dari sebelumnya. Hentakan tenaga berbeda sumber terlontar saling bertabrakan, mengakibatkan alam disekitar situ bagaikan dilanda gempa dan terhantam seribu guntur menggelegar.
Dalam pada itu dari kepulan debu, wujud seseorang terlempar deras dan menghantam sebatang pohon kormes. Sesaat tubuh itu menggeliat serta bibirnya bergerak lirih, namun selanjutnya tubuh itu terdiam untuk selamanya.
Tidak berselang lama seorang pemuda sudah berada di dekat tubuh tanpa nyawa itu. Tiada lain dan bukan pemuda tadi mencoba memeriksa keadaan lawannya, dan kemudian pemuda tadi berdesis perlahan, "Akhir yang pahit... "
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 12
oleh : Marzuki.
Kematian ki Jabarantas telah memicu kemarahan ki Kajenar yang saat ini berhadapan dengan ki Lurah Arya Dipa. Tinggal dirinya saja yang masih berdaya upaya mengalahkan orang - orang yang berhubungan dengan kadipaten Pajang, karena anak buahnya juga sudah banyak yang tewas. Maka tiada jalan lain kecuali melakukan serangan - serangan tingkat tertinggi yang dia miliki, bahkan merambah ilmu pamungkas.
Pancaran ilmu ki Kajenar terasa mengaduk - aduk udara lorong tersebut, dimana udara terasa tajam dan menyengatkan hawa panas yang tak terkira. Daun - daun dari pohon dan juga rumput yang berada dalam jangkauan ilmunya mulai meranggas layu. Tempat itu seakan - akan samudra api panas, membuat siapa saja tersiksa jika tak mempunyai bekal ilmu mumpuni. Bahkan orang berilmu saja masih dapat merasakan udara aneh tersebut.
Ilmu Kumbolo Geni dalam tataran mendekati kesempurnaan telah terkuak dan ingin menunjukan kehebatannya. Bagi perguruan Lemah Abang, ilmu ini merupakan ajian pamungkas yang telah menggetarkan tanah Pajajaran dan sekitarnya. Kini ilmu itu mencoba akan diterapkan di telatah jawa bagian tengah ini, yang dahulu sempat imbang saat berhadapan dengan aji Sasra Birawa milik ki Ageng Pengging Anom. Dan menurut pemikiran dan isi hati ki Kajenar, hanya keturunan orang Pengging saja yang bisa menggungguli ilmu itu.
Di depan, ki Lurah Arya Dipa tak ingin main - main atau berlaku setengah - tengah. Oleh karenanya ilmu pertahanannya berupa aji Niscala Praba ia kerahkan secara penuh, yang mana terlihat jelas warna kemilau telah melindungi tubuhnya menyeluruh. Juga tidak ketinggalan inti ilmu gabungan rontal Panembahan Anom dan kitab Cakra Paksi Jatayu ikut menggelegak mewujudkan ilmu nggegirisi.
Udara semakin semrawut tak karuan, membuat pusaran tindih menindih antara hawa panas dan hawa aneh dari satu sisi. Sedangkan kejadian itu membuat orang - orang yang tidak bersinggungan dalam perang tanding, bergeser menjauh agar terhindar dari jangkuan benturan udara.
Saat - saat menegangkan agan terjadi, terlihat ki Lurah Arya Dipa menyilangkan kedua tangan di depan. Tetapi ia belum melakukan serangan balik, melainkan berseru ke arah lawan.
"Ki Kajenar ! Tidakah sebaiknya benturan tenaga dahsyat ini diurungkan !"
Ki Kajenar tertawa dilanjutkan dengan tanggapannya, "Bisa saja asal kau dan Karebet menyerahkan batang lehernya !"
"Oh... " desuh perlahan ki Lurah Arya Dipa.
"Ada apa ?!" seru ki Kajenar, "Kau pasti tidak mau bukan ?! Hahahaha... Sudahlah kita akhiri dengan sikap ksatria, mati atau mukti !"
Tidak ada lagi harapan yang diinginkan oleh ki Lurah Arya Dipa untuk membujuk lawannya untuk mengakhiri dengan jalan damai. Jalan yang ditempuh tiada lain kecuali salah satu akan celaka. Tetapi sebenarnya ki Lurah Arya Dipa tidak ingin lawannya terluka atau hingga tewas, akan tetapi jika dirinya tidak menghadapi dengan sungguh - sungguh, bisa - bisa dirinyalah yang celaka. Maka dikuatkan hatinya supaya tatag menghadapi lawannya sepenuh tenaga.
"Duh Gusti Allah, lindungi hambaMU kali ini." do'a-nya dalam hati.
Tangan yang tadinya menyilang, perlahan terurai dan bergerak cepat bersamaan terkuaknya ilmu dahsyat terlontar dari kedua tapak tangannya. Seleret warna kuning keemasan menjulur ke depan yang disongsong seleret api ganas milik lawan.
Tanah berderak hebat diiringi ledakan keras membuyarkan segala - galanya. Hari yang awalnya terang mendadak tersambar cahaya menyilaukan dan sejenak berubah gelap akibat muncratnya tanah dan juga debu. Tidak hanya itu saja, bagi orang yang berada di lorong itu, dada mereka seakan sesak dan hati bagaikan lepas dari talinya. Bisa dibayangkan jika yang mengalami adalah orang biasa, pasti seketika akan tewas tak berdaya.
Pada saat itu, di atas pohon ketapang, seorang pemuda mengenakan topeng tersenyum sekaligus berdesis perlahan, "Kakang Kilatmaya, lama tidak bertemu kau bertambah hebat saja. Jika kita berseberangan jalan, mungkin aku harus merengek kepada Eyang Windujati."
Dan tanpa menunggu luruhnya debu, pemuda tadi meloncat pergi tanpa meninggalkan suara.
Sementara di dalam tebalnya debu, ki Lurah Arya Dipa berdiri dengan sikap waspada. Tangan kanannya terlihat mengelus dada kirinya yang terasa nyeri. Pemuda itu sempat mengucap syukur karena walau pertahanannya sempat bobol, tetapi ia dapat bertahan berdiri ditempatnya. Dan tadi walau samar samar ia merasakan adanya seseorang yang meninggalkan lorong itu. Dan ia mengira kalau itu adalah lawannya ki Kajenar, namun begitu tanah dan debu luruh, lima tombak dari hadapannya ada sesosok tubuh bersenderkan pohon ketapang dengan keadaan luka parah.
Langsung saja pemuda dari Wira Tantama itu berlari mendekati tubuh yang tiada bukan, ki Kajenar. Ki Lurah Arya Dipa berjongkok ingin memeriksa keadaan tubuh lawannya itu. Akan tetapi lawannya berusaha menepis menolak.
"Acuhkan aku.... " desis ki Kajenar, terbata - bata.
"Tapi ki.... "
Bersamaan itu Begawan Jambul Kuning, Juru Mertani, Kyai Jalasutro dan Windujaya yang sudah baikan datang mendekat.
Napas ki Kajenar saling kejar mengejar tak karuan. Orang itu tidak mengira kalau dirinya dan kakak seperguruannya berakhir seperti ini. Dan yang membuatnya masih tidak percaya adalah yang mengalahkan keduanya hanyalah dua orang pemuda yang usianya terpaut jauh.
"Bertahankah, ki. Aku akan mencoba memampatkan darah ini." kembali ki Lurah Arya Dipa berusaha menolong.
Dan hal itulah yang membuat hati ki Kajenar semakin sakit. Baginya lebih baik jika lawan berlaku buruk pada saat - saat seperti ini. Lebih baik dirinya ditusuk pedang mengenai ulu hatinya, itu akan membuatnya tegar menyongsong maut. Harga dirinya terlalu tinggi bila lawan mengasihinya. Karenanya tiba - tiba tangan ki Kajenar membara dan ia hujamkan ke tubuhnya.
"Oh... !" ki Lurah Arya Dipa terkejut dengan tindakan ki Kajenar.
Sejenak tubuh itu terguncang, lalu terdiam.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 13
oleh : Marzuki
Pertempuran kecil itu berakhir dengan beberapa korban dan tawanan dipihak orang - orang perguruan Lemah Abang. Tidak dapat dipungkiri sebagai kelompok yang berhasil mengalahkan lawan - lawannya, ki Lurah Arya Dipa dan kelompoknya terpaksa mengurusi jasad tak bernyawa untuk dikebumikan dekat lorong itu. Memang memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menyelenggaran mayat - mayat itu, walau begitu pada akhirnya akan selesai juga. Maka kemudian iringan kecil itu melanjutkan perjalanan yang tertunda, dan iringan ini bertambah karena adanya tawanan.
Melewati padukuhan - padukuhan, hari mulai diambang senja, agar tidak memancing perhatian para tawanan tidak diikat layaknya tawanan, melainkan mereka diancam bila coba - coba melarikan diri. Dalam pada itu, satu dua rumah sudah memulai menyalakan penerangan oleh para penghuninya. Pintu regol yang awalnya terbuka lebar telah ditutup. Dan jalan - jalan padukuhan semakin sepi dari hilir mudiknya orang - orang.
Dari jauh, suara bedug telah terdengar. Menandakan panggilan mendekatkan diri kepada Dzat Agung. Iringan itu bergegas mencari sumber bedug tadi yang bertempatkan dibangunan khusus di dekat balai banjar padukuhan. Sesaat ki Lurah Arya Dipa selaku pemimpin iringan, membagi tugas yaitu sebagian orang akan beribadah dahulu, sisanya akan mengawasi tawanan, dan nanti akan bergantian.
Usai menjalankan kewajiban yang sebenarnya, iringan itu kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pajang. Tak tercerita perjalanan itupun mendekati akhir, di mana sebuah gerbang menghadang diapit panggungan berisi prajurit pengawal yang bersenjatakan panah dan juga pedang dengan keadaan siaga. Dan prajurit pengawal yang berada dipanggungan telah mengetahui iringan di malam hari itu, bergegas memberitahukan orang - orang di luar gerbang kepada atasannya.
"Ki Lurah, ada iringan mendekati gerbang." lapor prajurit tadi.
Seorang lelaki bercirikan Lurah prajurit bergegas turun dari dipan gardu perondan dan menaiki panggungan. Benar adanya jika iringan telah ada tepat berada di depan gerbang. Sejenak diamatinya orang - orang berkuda dan beberapa yang berjalan dengan tangan diikat. Kening Lurah itu mengernyit sesaat, tetapi lekas ia menyadari dan kemudian akan menanyai iringan itu. Akan tetapi belum sempat suaranya keluar, sebuah suara di sampingnya berseru.
"Kau kakang Mertani !"
Lurah prajurit tadi terperanjat dan mencoba menyalangkan mata demi mengenali nama yang diserukan tadi. Dan ia pun akhirnya mengenali juga, maka ia bergegas memerintahkan prajuritnya membuka pintu gerbang.
"Mari langsung menuju pendopo kadipaten kakang Mertani." ajak seseorang yang mengenali Juru Mertani, setelah semua iringan memasuki pintu gerbang dan para tawanan diserahkan kepada prajurit yang bertugas.
"Baik, tapi aku perkenalkan dahulu orang - orang linuwih yang ada bersamaku." sahut Juru Mertani.
"Selamat datang di Pajang, tuan sekalian. Aku Semirat yang dipercaya gusti kanjeng Adipati di gerbang utara ini." ucap senopati muda itu dengan ramah.
"Semirat merupakan keponakan sekaligus murid ki Ageng Butuh, karena ilmu kanuragannya-lah ia mendapat kepercayaan begitu tinggi dari kanjeng Adipati." sambung Juru Mertani.
"Ah, kakang terlalu membesar - besarkan saja." ucap Senopati Semirat.
Semua orang mengangguk, memang ki Lurang Arya Dipa dan yang lainnya pernah mendengar kalau salah satu guru kanjeng Adipati Hadiwijaya adalah ki Ageng Butuh. Maka tak heran jika salah satu abdiny adalah murid - murid dari gurunya, seperti dari Selo ada Bagus Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani.
Masih dalam perjalanan menuju pendopo kadipaten, Senopati Semirat mengatakan keadaan akhir - akhir ini di kadipaten Pajang, setelah adanya orang - orang yang membuat huru - hara di telatah Adipati Hadiwijaya ini. Para pembuat ulah saat ini selalu mengganggu dengan cara seperti main kucing - kucingan dengan para prajurit peronda yang ngangklang sampai padukuhan. Selain itu, para perusuh itu juga melakukan tindakan berupa perampokan terhadap para saudagar atau-pun orang - orang kaya yang berupaya memasuki kadipaten Pajang atau sebaliknya.
"Bisa jadi ini adalah upaya pengumpulan dana untuk menunjak gerakan mereka, Senopati." kata ki Lurah Arya Dipa.
Senopati Semirat mengangguk perlahan, "Begitulah apa yang dipikirkan oleh kakang Panembahan dan Penjawi. Hanya saja setiap kami mencoba menangkap mereka dengan cara menyamar menjadi pengawal bayaran para saudagar, tak ada sedikitpun orang - orang itu bergerak."
"Lalu, apakah tempat persembunyian mereka tidak diketahui, Senopati ?"
Senopati Semirat menggeleng, "Jejak mereka terlalu rapi dan teratur. Prajurit telik sandi dibuat kelimpungan oleh gerombolan itu. Padahal dari jarak dua puluh tombak, prajurit telik sandi pernah melihat asap membumbung tinggi dan mencurigai keberadaan mereka. Akan tetapi setelah didekati, jangankan api, bekas arang atau abu-pun tak ada."
"Aneh... " desis perlahan ki Lurah Arya Dipa.
Tanpa disadari iringan itu sampai di pelataran pendopo. Semuanya bergegas turun dari pelana kuda dan menyerahkan tali kekang kuda kepada prajurit yang bertugas untuk dibawa ke tempat kuda. Sementara Senopati Semirat dan Juru Mertani membawa ki Lurah Arya Dipa dan kelompoknya untuk menaiki pendopo. Rupanya di dalam pendopo sudah ada ki Patih Mas Manca, ki Wila dan ki Wuragil yang dudk menghadap kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Bagaimana perjalananmu, kakang Mertani ?" suara berwibawa meluncur dari mulut Mas Karebet.
"Atas do'a dari Adimas Adipati, perjalananku tiada hambatan yang berarti sewaktu memasuki telatah kotaraja Bintoro." tutur Juru Mertani, dan melanjutkan penuturannya, "Hanya saja ketika kami mendekati perbatasan Pajang, sekelompok orang telah menghadang dengan sengitnya."
"Oh... "desuh Adipati Hadiwijaya, terkejut.
"Kelompok itu dipimpin oleh ki Jabarantas dan ki Kajenar yang mengaku dari perguruan Lemah Abang, Adimas." lanjut Juru Mertani.
"He... !" seru Adipati Hadiwijaya, "Bukankah perguruan itu berada di telatah Carbon, kakang ?"
Juru Mertani mengangguk, "Benar, Adimas. Telatah Carbon berada di Bang Kulon."
"Lalu bagaimana kejadiannya hingga kemudian kakang sekalian bisa melanjutkan sampai di Pajang ?" kejar Adipati Hadiwijaya, yang sebenarnya meyakini kalau kakak seperguruannya dan orang yang bersamanya adalah orang linuwih.
Putra ki Ageng Saba tidak langsung menjawab, melainkan melempar pandang ke arah seseorang yang duduk di dekatnya sambil tersenyum. Dan barulah Juru Mertani berkata.
"Pangestu Adimas telah didengar Gusti Agung, sehingga kami mendapat lindunganNYA perantara kakang Lurah Arya Dipa dan sahabat beserta kakeknya."
Demi namanya dipuji, ki Lurah Arya Dipa duduknya tak tenang dan serba pakewuh. Hal itu terbaca oleh kanjeng Adipati Hadiwijaya, yang menanggapinya dengan senyum berlanjut tawa renyah berekor gurauan.
"Kakang patih Mas Manca, ubin yang diduduki oleh kakang Dipa apakah terbuat dari bara ? Lihatlah ia sepertinya tidak bisa nyaman duduknya."
Tentu saja gurauan itu menimbulkan suasana menjadi ringan dan nyaman. Seolah - olah hanyalah pembicaraan yang dilakukan oleh sekelompok cantrik yang menikmati bulan purnama. Walau kemudian untuk selanjutnya pembicaraan semakin mengarah kearah yang sesungguhnya, yaitu mengenai keadaan akhir - akhir ini di telatah Pajang dan sekitarnya.
"Terima kasih kakang Dipa dan kisanak sekalian telah ikut mengupayakan ketentraman di kadipaten ini. Untuk itu biarlah esok pagi kita lanjutkan pembicaraan ini, dan aku harapkan kakang Dipa dan kisanak sekalian beristirahat di tempat yang disediakan." kata Adipati Hadiwijaya mengakhiri pembicaraan dan menyuruh tamu undangannya beristirahat di bilik kamar di lingkungan Kadipaten.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 14
oleh : Marzuki
Di waktu Adipati Hadiwijaya memasuki bilik khusus yang ia gunakan untuk bertirakat atau lelaku, sebuah salam terdengar halus yang menyejukan siapa-pun yang mendengarkan. Sang Adipati bergegas menjawab salam itu dan mencium tangan seorang lelaki yang memasuki usia senja.
"Dia sudah tiba di telatahmu ini, Anakmas ?" tanya lelaki tua itu.
"Sudah, kanjeng bopo guru. Kakang Juru Mertani telah membawa kakang Lurah Arya Dipa kemari atas ijin kakangmas Bagus Mukmin."
"Syukurlah.. Aku harapkan Anakmas Arya Dipa dapat mengungguli pangeran Bang Wetan itu." kata orang tua itu dengan nada lega.
Sejenak dalam hati dan pikiran Adipati Hadiwijaya ingin sekali menanyakan maksud dari gurunya itu untuk memintanya agar mendatangkan ki Lurah Arya Dipa ke Pajang guna memadamkan kerusuhan yang terjadi. Namun kanjeng Adipati mengurungkan niatnya demi ingat akan ucapan gurunya saat lalu. Kala itu gurunya mengerti jika di Pajang ini tersimpan kekuatan besar dari orang - orang linuwih seperti tiga serangkai dari Selo, ki patih Mas Manca, ki Wila dan ki Wuragil, serta Senopati Semirat, akan tetapi menurut gurunya orang - orang tadi akan sulit jika menghadapi seseorang seperti Pangeran dari Bang Wetan. Pernah suatu kali kanjeng Adipati Hadiwijaya sendiri ingin mencoba menghadapi pangeran itu, akan tetapi gurunya melarangnya.
"Ilmu Anakmas memang setinggi gunung dan seluas samudra, akan tetapi diri Anakmas sudah tidak lagi memungkinkan tampil ke depan." cegah orang tua yang tiada lain kanjeng Sunan Kalijaga, "Bahkan bila besok saat perang besar berkecamuk, Anakmas selalu diliputi keraguan yang mengurungkan niatmu untuk menghalau musuh - musuhmu."
Begitulah apa yang masih terngiang dalam telinga orang tertinggi di kadipaten Pajang itu, sehingga pertanyaan yang ingin meluncur dari bibirnya tidak ia ucapkan.
"Hari semakin larut, aku pamit dulu Anakmas."
"Tidakkah bopo kanjeng Sunan bertemu dengan kakang Dipa ?"
Sunan Kalijaga menggeleng, "Biarlah Anakmas Arya Dipa tidak mengetahui kedatanganku di Pajang ini."
Tak berselang lama kanjeng Sunan Kalijaga mengucapkan salam. Salam itu-pun langsung dibalas oleh murid kinasihnya Mas Karebet, tetapi belum selesai ucapan dari mulut Mas Karebet, tubuh kanjeng Sunan Kalijaga lenyap bagai terbawa angin malam. Meninggalkan kesan dan seribu tanda tanya dikalbu Mas Karebet.
Sementara itu, di ujung perbatasan selatan kadipaten Pajang, Bagus Pemanahan mengatur prajuritnya. Kesiagaan tinggi dilakukan demi mewaspadai adanya sesuatu yang mencurigakan.
Tadi, sewaktu malam baru menyergap bumi, dari arah depan meluncur panah sendaren tiga kali. Belum lagi rasa kejut lenyap, teriakan keras melingking bagaikan auman serigala menusuk gendang telinga. Akan tetapi setelah semua prajurit siaga dan menunggu munculnya penyerang, tiada satu-pun seseorang keluar dari remangnya malam.
"Jangan kendorkan kewaspadaan kalian !" seru Bagus Pemanahan, memberi perintah setelah beberapa saat tak ada tanda - tanda munculnya lawan atau perusuh.
Di sampingnya, seorang prajurit bercirikan pakaian Lurah prajurit berkata, "Ki Pemanahan, ijikan aku dan beberapa prajurit mengintai ke arah datangnya panah sendaren."
"Tidak ki Lurah, itu terlalu berbahaya. Di depan adalah gumuk yang dikelilingi lumpur dan binatang berbisa. Lebih baik kita bertahan di sini saja." larang Bagus Pemanahan, "Biarlah esok hari saja kita memeriksa gumuk itu. Aku kira ini hanyalah gertakan saja untuk mengganggu kesabaran para prajurit."
Lurah itu-pun akhirnya sehaluan setelah mempertimbangkan ucapan Bagus Pemanahan.
Kejadian serupa juga terjadi di perbatasan sebelah timur, yang saat itu dijaga oleh Penjawi bersama belasan prajurit. Tiga panah sendaren meluncur disusul teriakan keras yang menusuk gendang telinga. Dan Penjawi-pun menyikapi sama seperti Bagus Pemanahan.
"Biarlah orang - orang pengecut itu berlaku begitu. Jangan terpancing dan tabahkan hati kalian !" teriak Penjawi lantang.
Tak terasa teriakan dari Penjawi terdengar sampai ditelinga orang yang bersembunyi di lebatnya pepohonan.
"Jahanam Penjawi itu ! Jika saja ini bukan perintah Raden Sajiwo, akan aku bungkam mulut sombongnya!" umpatnya sembari memukul pohon di dekatnya.
Malam merambat seperti biasanya. Ketegangan malam hanya terasa dalam setiap jiwa semata tanpa berwujud dentingnya senjata. Dan pada akhirnya dari ufuk langit timur, cahaya sang surya memancar mendorong gelapnya malam menhauhi bumi Pajang. Kokok ayam alas terdengar bersahutan dibalas kokok ayam jantan di padukuhan. Hiruk pikuk kegiatan manusia kembali mewarnai dunia. Dua kuda berjalan pelan memasuki regol halaman pendopo kadipaten dan kedua penunggang kuda dengan sebat turun dari punggung kuda, dan dengan sigap seorang prajurit mengambil alih tali kekang kuda.
Kedua orang tadi kemudian menyusuri tengah halaman menuju tlundak pendopo dan menaikinya.
"Selamat pagi, kakang Pemanahan dan Penjawi." sapa Senopati Semirat yang sudah ada di pendopo kadipaten.
"Selamat pagi, adi Senopati. Kau sudah di sini rupanya." balas Bagus Pemanahan.
Dua senopati itu-pun duduk menemani Senopati Semirat yang datang lebih awal. Sejenak ketiganya menceritakan kejadian yang mereka alami di tempat tugas masing - masing.
"Hanya perbatasan bagian utara saja yang tidak mengalami gangguan. Malah kami mendapatkan beberapa tawanan yang sudah terikat tangan mereka." kata Senopati Semirat.
"He... " seru Bagus Pemanahan dan Penjawi bersamaan.
Senopati Semirat tersenyum melihat keterjutan kedua sahabatnya itu, "Kakang berdua nanti akan mengetahui setelah semuanya hadir di pisowanan pagi ini."
Semakin bingung keduanya atas perkataan Senopati Semirat. Apa maksud semuanya akan hadir ? Bukankah para Senopati sudah lengkap ? Dan hanya menunggu kedatangan ki Wuragil dan ki Wila serta ki Patih Mas Manca saja ? Namun belum berkurang rasa penasaran di hati kedua Senopati tertinggi Pajang itu, dari tlundak berjalan beriringan sejumlah lima orang yang dipimpin oleh Juru Mertani.
"Kakang Mertani... Ki Lurah Arya Dipa ! " seru Bagus Pemanahan dan Penjawi setelah mengenali orang yang ada dibelakang kakaknya.
Usai bersalaman dan menanyakan kabar masing - masing, pembicaraan kecil mulai mewarnai pendopo kadipaten, tanpa melupakan memperkenalkan antara Bagus Pemanahan dan Penjawi dengan Begawan Jambul Kuning, Kyai Jalasutro dan Windujaya. Yang mana kedatangan ki Lurah Arya Dipa dan kelompoknya atas undangan dari kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Jadi tawanan yang dibicarakan oleh adi Semirat merupakan tangkapan dari kakang ?" tanya Bagus Pemanahan.
Juru Mertani mengangguk, "Benar adi. Untunglah kami dapat mengatasi ulah kelompok perguruan Lemah Abang yang merupakan salah satu kelompok pendukung dari seseorang bernama ki Wanapati."
Bagus Pemanahan dan Penjawi mengangguk mengerti, namun juga baru memahami jika para perusuh itu terdapat seseorang yang bernama Wanapati. Maka untuk lebih jelas, keduanya menanyakan siapa dan apa maksud dari seseorang yang disebutkan tadi. Akan tetapi sebelum Juru Mertani membeberkan seperti ia tahu dari ki Lurah Arya Dipa, kanjeng Adipati Hadiwijaya diiring oleh ki Patih Mas Manca beserta ki Wila dan ki Wuragil keluar dari ruang dalam pendopo.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 15
oleh : Marzuki
Sejenak ruangan pendopo hening berbalut suasana penuk hikmat dengan datangnya kanjeng Adipati Hadiwijaya yang duduk di dampar berlambarkan kain sutra merah. Tak jauh dari kanjeng Adipati agak dibelakang, dua pengawal berdiri siap siaga. Kursi sebelah kanan agak depan, ki patih Mas Manca duduk menanti titah dari junjungannya.
Pagi ini merupakan pisowanan yang hanya dihadiri nayaka praja tertinggi Pajang saja. Pisowanan untuk membahas keadaan akhir - akhir ini di telatah kadipaten Pajang, serta gerakan dari para perusuh yang mengganggu ketentraman penghuni kadipaten Pajang.
Setelah dirasa sudah waktunya, ki Patih Mas Manca membuka pisowanan itu. Pertama adalah menanyakan situasi perbatasaan kepada tiga Senopati yaitu, Bagus Pemanahan, Penjawi dan Semirat yang merupakan pemimpin tertingi prajurit kadipaten Pajang. Satu persatu para Senopati melaporkan keadaan yang terjadi di tempat tugasnya. Bagus Panembahan dan kelompok prajuritnya di sisi sebelah selatan telah mengalami sebuah pancingan dari pihak musuh berupa panah sendaren dan teriakan keras, begitu juga dengan apa yang dialami oleh Penjawi dan anak buahnya. Hanya di gerbang bagian utara saja yang berbeda, dimana Senopati Semirat menerima kedatangan Juru Mertani beserta utusan dari Demak yang telah membawa beberapa tawanan.
Usai mendengarkan laporan dari ketiga Senopati tertinggi, ki Patih Mas Manca tak ketinggalan menerima laporan dari ki Wila yang membawahi telik sandi Pajang dan ki Wuragil yang bertugas mengenai pertumbuhan kadipaten Pajang. Selanjutnya ki Patih yang merupakan murid ki Buyut Banyubiru itu menghadapkan persoalan tadi disertai tanggapan dan masukan darinya kepada kanjeng Adipati Pajang.
Wajah Adipati Hadiwijaya terlihat sungguh - sungguh dalam menyikapi keonaran yang dibuat oleh para perusuh di telatahnya. Tadi telah ia dengar adanya sekelompok orang bercirikan tengkorak emas yang menandakan lambang bajak laut segoro kidul, Tengkorak Emas. Juga yang perlu diwaspadai adalah kelompok dari gunung Lawu, bromocarah dibawah pimpinan seorang warok bergelar ki Singo Ambulu. Serta orang - orang perguruan Cleret Pati.
Ketiga kelompok itu merupakan kelompok yang diperhitungkan oleh dunia olah kanuragan di masa itu. Karenanya kanjeng Adipati Hadiwijaya tidak bisa memandang sebelah mata saja. Demi hal itu putra mendian Raden Kebo Kenongo itu mencoba menatap satu persatu Senopatinya untuk memantapkan hatinya akan kemampuan dari para Senopatinya.
"Kakang Pemanahan dan Penjawi telah mendapat tempaan keras dari orang tuanya sejak kecil, aku yakin ilmu mereka berdua semakin hari mantap dan berkembang pesat." batin Adipati Pajang, yang masih berlanjut, "Sementara adi Semirat adalah putra dan sekaligus murid ki Ageng Butuh, tuntas dalam kaweruh kanuragan."
Lalu diliarkan pandangan kanjeng Adipati ke arah lainnya, "Hmm.. Di sini juga ada kakang Juru Mertani yang cerdik, kakang Arya Dipa seorang pemuda penuh rahasia, juga tentu Begawan Jambul Kuning dan muridnya serta Kyai Jalasutro."
Dan mantablah hati kanjeng Adipati Hadiwijaya. Suasana yang tak menentu ini harus cepat ia sikapi dengan sungguh - sungguh, karena bila dibiarkan saja, bisa saja jumlah dan tenaga lawan akan semakin banyak dan tak terbendung. Dengan kesadaran itulah maka tiada jalan yang harus ditempuh kecuali bergerak sekarang juga.
"Kakang Patih, pada saat ini juga aku perintahkan kau untuk mengerahkan prajurit kita untuk menggempur para perusuh itu."
"Sendiko dawuh, Adimas kanjeng Adipati." kata ki Patih Mas Manca.
"Walau begitu, pergerakan para prajurit aku harap tidak menimbulkan kegaduhan, sehingga membuat kawulo Pajang cemas dan takut." imbuh kanjeng Adipati.
"Kasinggihan, Adimas Kanjeng Adipati."
Kemudian ki Patih Mas Manca memberi perintah kepada Senopati tertinggi Pajang untuk mengerahkan kekuatan prajurit demi menggulung kekuatan para perusuh. Kata demi kata secara lengkap telah diungkapkan oleh ki Patih Mas Manca berupa keseluruhan siasat yang dihasilkan dari peninjauan prajurit telik sandi.
"Meskipun gelar sudah disebutkan dari awal, tetapi bila keadaan berubah dengan tiba - tiba, Senopati berhak mengganti gelar perang." kata ki Patih Mas Manca mengakhiri perintahnya.
"Sendiko.... !" sahut ketiga Senopati Pajang, bersamaan.
Maka pisowanan itu berakhir berlanjut persiapan prajurit dalam rangka penyergapan para perusuh.
Dalam pada itu, kanjeng Adipati Pajang meminta agar ki Lurah Arya Dipa tetap di pendopo barang sejenak.
"Kakang Dipa.. " kata kanjeng Adipati.
"Kasinggihan sinuwun."
"Hahaha.... Untuk sesaat, lupakan kedudukan diantara kita."
Tanpa sadar ki Lurah Arya Dipa mengangkat kepalanya demi mendengar ucapan dari kanjeng Adipati Pajang, tetapi kepala itu bergegas menunduk menatap lantai pendopo.
"Panggilah aku layaknya aku adikmu, bukankah usiamu lebih tua dari aku ?"
"Tapi Si...
"Ah, mengapa kakang tak mengindahkan permintaanku ? Bukankah kakang juga berlaku wajar bila berbincang dengan kakangmas Adipati Anom ?" cepat - cepat kanjeng Adipati Hadiwijaya memotong perkataan ki Lurah Arya Dipa.
Menyadari kesungguhan hati dari orang yang dahulu adalah sahabatnya itu, maka ki Lurah Arya Dipa akhirnya menyanggupinya.
"Baiklah Adimas kanjeng Adipati." walau begitu suaranya masih agak bergetar.
"Hahaha... Inilah yang aku inginkan kakang. Ini mengingatkan saat - saat kita berdua bermain loncat - loncatan di kademangan selatan tanah perdikan Banyubiru dahulu."
Ki Lurah Arya Dipa-pun tersenyum demi diingatkan lagi mengenai pertemuannya dengan Jaka Tingkir saat dirinya sedang mencari keberadaan keris kyai Sangkelat.
"Kakang, kedatanganmu kemari tiada lain adalah sebuah permintaan khusus dariku. Yaitu mengenai kehadiran seseorang trah ningrat rembesing madu dari Bang Wetan yang harus kau hadapi."
Ki Lurah Arya Dipa mengangguk, "Maksud Adimas adalah ki Wanapati ?"
Namun kanjeng Adipati Hadiwijaya menggeleng, "Bukan kakang."
Tentu saja seketika ki Lurah Arya Dipa mengernyitkan alisnya.
"Bukan orang itu, kakang." ulang Adipati Pajang, "Sesungguhnya ia berasal dari telatah Tumapel, ia adalah Pangeran Singosari."
"He.... " desuh ki Lurah Arya Dipa perlahan.
Tentu saja Lurah prajurit itu terkejut dengan apa yang ia dengar. Pangeran Singosari pernah bersinggungan dengan dirinya tatkala dirinya mendapat hukuman dari Sultan Trenggono. Kala itu atas kesalahan yang diperbuatnya, Sultan Trenggono mencopot jenjang keprajuritannya serta memberinya tugas untuk mencari keberadaan ki Ageng Gajah Sora yang difitnah telah mencuri keris kyai Sabuk Inten dan kyai Naga Sasra. Tanpa sengaja ki Lurah Arya Dipa berhadapan dengan Pangeran Singosari, yang saat itu membuatnya terlempar ke jurang.
"Bagaimana kakang ?"
Lamunan ki Lurah Arya Dipa seketika buyar, setelah mendengar suara kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Bila itu adalah tugas yang harus aku emban, tentu aku siap lahir batin, Adimas."
"Hm... Terima kasih, kakang. Persiapkan wadagmu secara lahir batin untuk menghadapinya. Aku harap kakang dapat mengungguli Pangeran Singosari yang merupakan dalang dibalik kerusuhan ini."
"Sendiko dawuh kanjeng Adipati."
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 16
oleh : Marzuki
Tanah pategalan terbengkalai menumbuhkan rumput liar dengan suburnya, bahkan tumbuhan onak beranak pinak menjalar memenuhi beberapa petak tanah pategalan, menandakan orang yang memiliki pategalan sudah lama tidak menyambangi, mungkin sudah dua mongso rendeng atau lebih. Keadaan itu telah digunakan oleh sekelompok orang yang menjadikan tempat itu sebagai perkemahan. Terbukti dengan beberapa tenda telah didirikan.
Orang - orang yang menempati perkemahan itu terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama menggunakan ciri berupa kalung berbandul tengkorak berwarna emas, menandakan gerombolan bajak laut segoro kidul yang dipimpin oleh lelaki kekar bergelar Suro Sengguruh. Kelompok kedua gerombolan gegedug lereng Lawu dengan ki Singo Ambulu sebagai kepalanya. Dan yang terakhir adalah orang - orang perguruan Cleret Pati dari Paciran dibawah pimpinan ki Gede Bayu Lamatan.
Ketiga kelompok itu datang meluruk Pajang tidak atas kehendak sendiri kecuali adanya suatu pamrih. Pamrih disini tentunya menjurus berupa janji - janji yang menguntungkan bagi kelompok mereka sendiri. Ada yang diberi janji berupa tanah yang lebih subur, satunya harta benda rampasan, atau sebuah kemukten berupa kedudukan pangkat dalam sebuah telatah. Semuanya itu merupakan penyakit yang tumbuh di hati orang - orang serakah akan dunia, walau dalam mewujudkannya menggunakan paksaan dan kekerasan orang itu tak peduli.
Suatu kali dalam sebuah pembicaraan kelompok - kelompok itu selalu mempergunjingkan satu dengan yang lainnya. Tentu pembicaraan mereka mulai berangan - angan jika gerakan mereka berhasil.
"Bila gerakan ini berhasil, keinginanku hanya satu saja." desis salah seorang yang bercirikan Tengkorak Emas.
Kawannya langsung menyahut, "Apa itu kang ?"
Orang pertama menjawab dengan mata bersinar, "Demang telatah Prambanan."
Kawannya seketika melonjak seraya katanya, "Kalau begitu ijinkan aku menduduki palungguhan Jagabaya, kakang. Bukankah tubuhku yang kekar ini sangat cocok ?"
Orang pertama tertawa terkekeh tiada henti, membuat beberapa orang menengok kearahnya semua.
Di sisi lain-pun beberapa orang juga tak kalah berkoar mengungkapkan angan - angannya. Ada yang menghendaki tanah ratusan tombak, harta bertumpuk - tumpuk, kedudukan sebagai Demang, kepala tanah perdikan, Senopati dan bahkan ada yang ingin mengumpulkan perawan sebagai istri simpanannya.
Sementara itu di sebuah tenda besar, telah berkumpul beberapa orang yang mana di dalam tenda itu ada ki Singo Ambulu, ki Gede Bayu Lamatan dan ki Suro Sengguruh duduk menghadap seorang lelaki berpakaian hitam menggunakan topeng. Bila dicermati, orang bertopeng itu adalah seseorang yang dihormati oleh ketiganya, itu bisa dilihat tatkala dalam bertutur kata ketiganya berlaku hati - hati dalam mengucapkan kata.
"Tengah malam kalian harus bergegas bergerak mengarah gapura bagian selatan." kata orang bertopeng berjuluk Lintang Kemukus.
Ki Singo Ambulu, ki Gede Bayu Lamatan dan ki Suro Sengguruh saling menatap satu dengan yang lain.
"Mengapa kalian menunjukan wajah seperti itu !" suara Lintang Kemukus lantang.
"E... Bukankah harisnya besok malam seperti saran Pangeran Singosari, tuan ?." ki Gede Bayu Sengguruh yang angkat suara.
Terlihat Lintang Kemukus mendesuh, dan katanya kemudian, "Orang - orang Pajang sudah menunjukan pergerakan mereka. Para prajurit terlihat hilir mudik seakan mempersiapkan sesuatu."
Sesaat orang bertopeng itu menghirup napas dan melanjutkan perkataannya, "Orang - orang perguruan Lemah Abang sudah dihancurkan karena keangkuhan mereka, dan gerombolan Pedut Merbabu berkhianat meninggalkan perjuangan kita."
"Kurang ajar maling dari Merbabu itu !" damprat ki Singo Ambulu, sembari meninju udara.
"Lalu, bagaimana dengan dua gerbang utara dan barat, tuan ?" tanya ki Gede Bayu Sengguruh.
"Tak usah dihiraukan dua gerbang itu. Kelompok kalian menitik beratkan di gapura selatan, sementara ki Wanapati dan Raden Sajiwo mengurus gerbang timur." jawab Lintang Kemukus.
Ketiga pemimpin kelompok di perkemahan itu mengangguk. Maka persiapan-pun bergegas dilakukan saat itu juga. Tetapi tiba - tiba dua orang dengan napas terengah - engah memasuki tenda.
"Ketiwasan Lurahe... ketiwasan... "
Tentu saja suasana dalam tenda nampak bingung dengan masuknya dua orang yang mendapat tugas mengintai sekitar jalan menuju gapura selatan. Walau begitu panggraita ketiga pemimpin kelompok dan Lintang Kemukus sudah dapat menyelami apa yang akan dilaporkan oleh kedua anak buah mereka.
"Cepat katakan.. !" teriak ki Singo Ambulu, tak sabar.
"Anu Lurahe.. Anu.. Itu.. "
"Kampret kudisan !" bentak ki Singo Ambulu marah, "Cepat katakan setan !"
"Orang - orang Pajang menyerbu." akhirnya anak buahnya dapat bersuara.
"Gila setan Pajang !!!" umpat ki Singo Ambulu.
"Hentikan kemarahanmu Singo Ambulu ! Cepat kerahkan kelompokmu !" tiba - tiba Lintang Kemukus membentak disertai memberikan perintah, "Kalian juga ki Gede Bayu Lamatan dan Suro Sengguruh !"
Tak menunggu perintah untuk kedua kalinya, para pemimpin kelompok itu dengan cepat mengumpulkan anak buah mereka, dan bergegas menyongsong kedatangan musuh. Dalam hati mereka terpatri membinasakan musuh sebanyak - banyaknya.
"Hmmm.... Terserah atas akhir perang di sini." batin Lintang Kemukus penuh arti.
Usai berkata orang itu berkelebat cepat ikut menyongsong orang - orang Pajang.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 17
oleh : Marzuki
Benturan pertama di perbatasan sebelah selatan Pajang tak dapat dielakan. Pasukan kadipaten Pajang yang menggunakan gelar Dirada Meta bergerak maju laksana seekor gajah perkasa mengamuk menggunakan gading dan belalainya telah menghempaskan lawannya yang memakai gelar Gedong Minep. Atas arahan dari Bagus Pemanahan yang menjadi panglima di gelar Dirada Meta, menyalur lewat senopati pengapit sebelah kanan Senopati Semirat dan sebelah kiri ki Lurah Prabandaru, pasukan Pajang terus merangsek menekan pasukan perusuh.
Awalnya kekuatan pasukan Pajang dapat membuat orang - orang pasukan perusuh terdesak dan hampir membobol pertahanan dari gelar lawannya, akan tetapi sebuah teriakan dari arah belakang pasukan perusuh telah menggerakan semangat di jantung pasukan perusuh dan dapat menambal pertahanan lawan yang hampir terkoyak. Seorang lelaki berpakaian hitam menggunakan topeng-lah orang yang menyelamatkan kebinasaan dari pasukan perusuh, dengan berteriak memberi perintah kepada para pemimpin kelompok untuk membenahi titik - titik yang lemah. Maka selanjutnya perang berkecamuk dengan sengitnya memakan korban berjatuhan semakin banyak.
Suara denting senjata bersambut teriakan, umpatan serta keluhan menyayat meluncur dari bibir mewarnai kegentingan yang terjadi. Desak - mendesak menekan setiap lawan entah menggunakan berbagai senjata atau-pun lambaran ilmu membucah tak karuan. Hidup dan mati terasa hanya disekat tirai tipis, semuanya bisa terjadi di waktu itu juga.
Di tengah peperangan itu Bagus Pemanahan sebagai panglima perang di perbatasan selatan saat itu, juga dibantu oleh Juru Mertani dan Windujaya. Pergerakan kedua pemuda itu begitu ngedap - ngedapi lawan yang mereka jumpai. Hingga suatu kali dari pihak lawan telah mengamatinya dan merasa tertantang untuk menghadang laju pergerakan mereka.
"Pergilah kalian !"seru ki Gede Bayu Lamatan kepada cantriknya yang kewalahan menghadapi Juru Mertani dan Windujaya.
Seruan dari ki Gede Bayu Lamatan tak perlu diulang kedua kali. Para cantriknya bergegas menyingkir membiarkan gurunya menghadapi dua pemuda yang tak dapat dihadapi oleh mereka.
Mata ki Gede Bayu Lamatan mencoba mengamati kedua pemuda di depannya. Dari hasil pengamatan dengan tajam dan teliti, diperolehlah sebuah kesimpulan kalau prmuda di depannya bukanlah seorang yang mempunyai bekal kanuragan cukup, akan tetapi bekal keduanya dalam tingkatan yang perlu diwaspadai. Orang tua itu tak ingin meremehkan kemampuan calon lawannya itu, karenanya ia memanggil adiknya untuk menghadapi salah satu lawannya.
"Adi Wuraju, ajaklah pemuda satunya bermain."
Wuraju yang berperawakan pendek gempal meloncat menghampiri Windujaya sembari ucapnya, "Ayo anak muda, hadapi aku."
Tantangan itu diterima oleh Windujaya penuh hati - hati. Pemuda yang biasanya agak ugal - ugalan karena meniru sikap gurunya itu, kali ini bersikap lain. Ia tidak buru - buru mengungkap ilmunya yang nggegirisi, melainkan mencoba mengikuti alur gerakan lawan. Karena lawan bergerak menyerang menggunakan tata gerak dasar untuk penjajagan, Windujaya menanggapinya dengan menerapkan ilmunya selapis lebih tinggi dari lawannya.
"Aiih... cekatan juga kau anak muda." kata Wuraju.
"Terima kasih, kisanak."
"Awas kepalan tanganku !" ancam Wuraju seraya meluncurkan kepalan tangannya.
Windujaya mengelak ke samping, tapi pada saat yang sama tangannya bergerak demi mendapati tinjuan tangan lawannya yang satu lagi. Pemuda itu mengerti kalau seruan dari lawannya hanyalah untuk mengecohnya, karena serangan yang utama adalah dari tinjuan yang mengarah ke ulu hati. Tidak rugi jika pemuda itu telah berguru kepada seseorang dari jalur perguruan Cakraningrat.
Sementara itu, ki Gede Bayu Lamatan sudah mendekati Juru Mertani. Sepertinya tanpa harus adanya sebuah perjanjian diantara keduanya, kedua orang itu langsung menerapkan tata gerak yang dilambari ilmu cadangan. Seketika keadaan disekitar keduanya berubah menegangkan. Udara terombang - ambing oleh kekuatan dari ilmu kedua orang itu. Rasa hangat menyengat, tajam menyakitkan, menyisakan kalangan tersendiri untuk saling mengungguli satu dengan yang lainnya.
Gempuran ilmu jalur Cleret Pati menimbulkan angin tajam menyergap Juru Mertani. Tetapi pemuda anak ki Ageng Saba itu sudah melambari tubuhnya dengan aji Tameng Waja, sehingga pada tingkatan ini mampu menanggulanginya ilmu musuhnya. Angin yang tajam itu hanya dapat mengoyak pakaiannya saja.
"Hebat anak muda ini." batin ki Gede Bayu Lamatan, "Semuda ini sudah mampu menerapkan aji Tameng Waja."
Meskipun dalam hati memuji ilmu lawannya, pemimpin perguruan Cleret Pati itu semakin dibuat penasaran untuk menggilas ilmu lamannya yang masih muda. Oleh karena itu, orang tua itu telah meningkatkan ilmunya selapis lebih tinggi. Angin dari gerakan tangannya semakin tajam laksana mata pisau.
Menghadapi ilmu yang nggegirisi seperti ilmu yang diungkap oleh ki Gede Bayu Lamatan, Juru Mertani tak membiarkan tubuhnya terus menerima tajamnya udara. Hal itu bukannya aji Tameng Waja-nya dapat ditembus, melainkan ia tidak ingin pakaiannya compang - camping akibat goresan angin tajam. Maka dari itu kalau tidak benar - benar terdesak atau tak sempat menghindar, pemuda itu meningkatkan kecepatan geraknya. Kakinya meloncat kian kemari menghindar sebat dan cepat berlambarkan ilmu meringankan tubuh.
Dalam pada itu, tak disangka dan tak diduga, Bagus Pemanahan berdiri saling berhadapan dengan orang bertopeng dipisahkan jarak sepuluh langkah. Mata tajam Bagus Pemanahan menatap lurus ke lubang mata topeng, seakan ingin membaca pikiran dari orang bertopeng. Sebaliknya dengan orang bertopeng yang bergelar Lintang Kemukus, dari balik topeng yang ia kenakan, matanya mencorong penuh kebencian kepada orang di hadapannya itu.
Didahului teriakan, Lintang Kemukus bagai terbang menyerang Bagus Pemanahan. Kedua tangan mengembang sudah mengincar pundak lawannya itu, meskipun ia yakin jika lawannya tentu tak membiarkan dirinya mengenai dengan mudah. Itu terbukti dari elakan cepat yang dilakukan Bagus Pemanaha.
Tak membiarkan lawan lolos dengan mudah, Lintang Kemukus yang sudah mendarat dengan apik, memutar tubuhnya sembari melancarkan tendang cepat. Pada saat bersamaan rupanya lawan dapat membaca sergapannya, yang mana lawan telah menyikapinya dengan upaya merendahkan tubuh dan terus menggerakkan kaki untuk melibas tumpuan kaki Lintang Kemukus. Namun Lintang Kemukus tidak bodoh dalam olah kanuragan, walau hanya bertumpu satu kaki, orang itu mampu menotolkan kakinya itu dan kemudian melambung ke belakang.
Bagus Pemanahan tak buru - buru mengejar, kecuali hanya berdiri penuh siaga saja. Sejenak perkelahian keduanya berhenti dan kembali saling bertatap muka.
"Siapa kau kisanak ?" seru Bagus Pemanahan menanyakan jati diri lawannya yang disembunyikan menggunakan topeng.
"Apa untungnya jika aku menyebutkan jati diriku ? Kau juga tidak akan mengenaliku, Pemanahan !" seru Lintang Kemukus.
Kerut kulit di dahi Bagus Pemanahan terlihat jelas manakala lawannya yang penuh rahasia itu dapat mengenali dirinya. Dicobanya untuk mengorek jati diri lawannya itu melalui suaranya, akan tetapi sulit dikenalinya. Rasa - rasanya ia tidak pernah berjumpa atau bersinggungan dengan suara sepertu lawannya itu pada saat - saat yang lalu.
"Ada apa Pemanahan ? Sepertinya kau ingin mengenali suaraku ? Hahaha.... Percuma, aku dan kau sebelumnya tidak saling mengenal atau bertemu." tiba - tiba Lintang Kemukus berkata, seolah - olah dapat menyelami hati lawannya.
Lalu lanjutnya, "Biar kau tidak mati penasaran, camkanlah dengan baik - baik. Aku Lintang Kemukus pewaris tahta Kadiri akan membunuh anak keturunan Majapahit. Dan itu termasuk kau dan Karebet !"
Hati Bagus Pemanahan bagai dihantam tongkat sebesar gunung Merapi. Tak disangkanya masih ada keturunan Kadiri yang menyimpan dendam hingga saat ini. Yang ia tahu sebelumnya hanyalah kekisruhan yang ditimbulkan oleh orang - orang yang merasa mereka mempunyai garis trah kusuma rembesing madu dari Majapahit, seperti Panembahan Bhre Wiraraja yang saat ini berhadapan dengan pasukan Demak di Bang Wetan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 18
oleh : Marzuki
Kenyataan yang dikatakan oleh orang bertopeng bergelar Lintang Kemukus, bagi Bagus Pemanahan yang sedikit banyak mengetahui sebab kebencian yang dirasakan oleh Lintang Kemukus kepada keturunan Majapahit bersumber jauh hari antara seorang cikal bakal kerajaan Singosari yang membunuh raja Kadiri terakhir Prabu Kertajaya. Sementara cikal bakal dari Singosari adalah Ken Arok yang bergelar Prabu Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi yang tidak lain buyut Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit di telatah hutan Terik. Dendam kesumat itulah yang dirasakan oleh Lintang Kemukus sebagai keturunan Prabu Kertajaya, tanpa melihat penyebab bagaimana kejadian sebenarnya.
Padahal, penyebab Ken Arok berani menentang kekuasaan seorang raja seperti Prabu Kertajaya tiada lain karena melihat dan merasakan keblingernya raja itu. Seorang raja yang semestinya berlaku sewajarnya bagi kawulonya, malah mengaku dirinya dewa yang harus disembah oleh kawulonya entah itu orang Sudra, Waisya, Ksatria hingga Brahmana. Tentu saja itu membuat marah kawulonya terutama dari pihak Brahmana.
Tetapi bagi orang - orang Kadiri terutama bangsawan yang memiliki darah Kertajaya, mereka memutar balikan kenyataan dan menceritakan sesuatu yang lain, apalagi setelah mengetahui siapa Ken Arok diwaktu mudanya. Bagi orang - orang itu, Ken Arok adalah seorang pemuda bejat yang dari kecil selalu bergumul perbuatan tercela, berupa judi sambung ayam, mencuri, memperkosa dan menjadi perampok di padang Karautan bersama sahabatnya Tita anak bekel Seganggeng. Malah setelah menjadi prajurit di pakuwon Tumapel, dengan diam - diam Ken Arok menyukai istri Akuwu Tunggul Ametung. Hingga suatu kali karena hasratnya menggunung, Ken Arok memesan sebilah keris kepada Empu Gandring di Lulumbang, keris baru setengah jadi karena ketidak-sabarannya Ken Arok menghujamkan keris itu kepada pembuatnya, tidak sampai disitu keris itu juga ia gunakan untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung dengan mengkambing hitamkan kawannya Kebo Ijo, serta membunuh Kebo Ijo menggunakan keris itu juga.
Dan menurut para bangsawan yang berpihak kepada Prabu Kertajaya, Ken Arok-lah yang menghasut para Brahmana untuk mbalelo kepada raja Kadiri itu dan dirinya akan menyingkirkan raja itu, karena Ken Arok adalah putra Dewa Brahma yang mempunyai tugas melenyapkan kerajaan Kadiri yang semakin bobrok dan mengganti kerajaan Singosari. Cerita itu terus menerus disusupkan kepada hati keturunannya untuk membenci para keturunan Singosari dan Majapahit, walau sudah ratusan tahun berlalu benci itu menggumpal layaknya karang lautan.
Selangkah Bagus Pemanahan berjalan ke depan dan berkata, "Dendam yang kau pikul itu adalah beban berlebihan kisanak. Masa telah berubah sedemikian besarnya. Mengapa kisanak berpikir picik ?"
Gerung tertahan dari mulut dibalik topeng, menandakan kalau orang itu tidak sejalan dengan apa yang diucapkan oleh Bagus Pemanahan putra ki Ageng Ngenis dari Selo itu. Bagi orang bertopeng, demdan yang ia rasakan akan lenyap jika ia mampu menggulingkan tahta yang berbau Singosari dan Majapahit, serta membunuh keturunannya. Karena itulah hingga saat ini ia mampu bertahan dalam kerasnya kehidupannya, serta sembunyi diantara orang - orang Panembahan Bhre Wiraraja.
Dalam pada itu terdengar Bagus Pemanahan bersuara mengandung keheranan, "Dan bukankah kau dipihak seoarang Pangeran dari telatah Tumapel, yang justru berpunjer dekat dengan trah Wilatikta, kisanak ?"
Lintang Kemukus mengangguk perlahan sembari ujarnya, "Itu semua hanyalah kedok semata."
Bagus Pemanahan mengerutkan alisnya, tanda belum mengerti.
"Pangeran itu bukanlah trah Wilatikta, melainkan anak pungut seorang bangsawan Tumapel. Ia sebenarnya sama denganku, anak Senopati Kadiri yang gugur bersama Prabu Giriwardhana." kata Lintang Kemukus terus terang, dan kemudian, "Ah sudahlah, kita ditengah pertempuran. Sebaiknya kau bersiaplah untuk menerima ajalmu !"
"Tunggu dulu...... !" suara Bagus Pemanahan terpotong, karena lawannya sudah meloncat menerkam dirinya.
Bukan olah - olah sergapan Lintang Kemukus pada waktu itu. Serangan dengan mengarah titik kematian ia lancarkan tanpa ada rasa kemanusian pada dirinya demi melampiaskan dendam kesumatnya. Pukulan ke ulu hati bergerak deras bagai anak panah yang lepas dari busurnya meluncur dengan dendang kematian. Akan tetapi lawan Lintang Kemukus bukanlah sebatang gedebog pisang, melainkan manusia linuwih berbekal ilmu Selo yang kondang dalam dunia olah kanuragan.
Cucu ki Ageng Selo Bagus Sogom itu mengelak sebat sembari berusaha menangkap pergelangan tangan lawannya. Meskipun pada akhirnya lawannya dapat membaca maksud hatinya dengan bergeser sedikit jauh disusul tendangan deras mengarah lambung Bagus Pemanahan. Bergegas Bagus Pemanahan menghadang menggunakan tangannya agar lambungnya tidak termakan tendangan lawan. Dan itulah adu kekuatan pertama antara Bagus Pemanahan dan lawannya yang bersembunyi di balik topeng yang dikenakannya.
Benturan pertama bagi keduanya adalah pintu untuk mengetahui seberapa tinggi kemampuan lawan, walau itu dalam tataran rendah. Karena bagi keduanya telah yakin dan pasti kalau masing - masing diantara mereka, menyimpan kemampuan di luar nalar yang mereka timba dari masing - masing jalur berbeda. Penjajagan itu menghasilkan tekad sungguh - sungguh pada diri keduanya untuk tidak lengah dan terus waspada walau dalam langkah sekecil-pun.
Semakin lama medan perang antara pasukan kadipaten Pajang dan kelompok gabungan yang dipimpin oleh Lintang Kemukus itu semakin meluas. Di ibaratkan seekor gajah perkasa mencoba menjebol gerbang raksasa yang terbuat dari logam baja. Srudukan maut dilambari tajamnya sepasang gading melaju deras menghantam pintu gapura, akan tetapi pintu itu sungguh menakjubkan adanya. Walau begitu sang gajah tak patah arang, dihimpun kembali tenaganya dan sekali lagi berlari menubruk daun pintu gerbang, hingga diulangi beberapa kali.
Begitulah gambaran perang di medan sebelah selatan. Pasukan Pajang lebih menitik beratkan dalam penekanan atau menyerang, sedangkan pasukan lawan lebih condong menerapkan siasat bertahan. Itu semua tak lepas dari pengamatan Bagus Pemanahan selaku Senopati tertinggi di telatah selatan, meskipun dirinya terlibat didalam pergumulan keras dan dahsyat menghadapi lawannya.
Suatu kali putra ki Ageng Ngenis itu bersiul keras. Tak lama dari belakang garis gelar Dirada Meta, meluncur puluhan panah bagai hujan di musim penghujan, menyergap pasukan lawan dilapis terdepan. Koyaklah gelar Gedong Minep dan itu membuat pasukan Pajang merangsek lebih dalam.
Pada saat seperti itu, orang bertopeng terlihat menggeram demi menyaksikan pasukannya terdesak. Maka ia berusaha meluangkan waktu sejenak dari keinginannya mengalahkan lawannya. Orang itu awalnya menyerang bertubi - tubi hingga Bagus Pemanahan terdorong ke belakang. Dan inilah waktu yang ia harapkan untuk menjalankan siasatnya.
Sejenak orang bertopeng meloncat ke belakang menjaga jarak, lalu terlihat ia menggerakan bibirnya merapalka sesuatu entah itu mantra atau apa. Seusai itu tiba - tiba samar - samar di depannya muncul asap yang semakin lama semakin tebal. Hanya sesaat asap itu muncul dan cepat terurai menghilang kembali. Hanya saja kala itu telah dipergunakan dengan baik oleh orang bertopeng tadi, yaitu memberikan isyarat kepada pasukannya. Mendadak terlihat pasukan Pajang seolah - olah dapat mengoyak lebih dalam gelar lawan dan membuat pasukan itu lengah dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Ah... Jurang Grawah.. " desis seseorang yang berada di luar medan perang.
Orang yang berdesis tadi terus mengamati jalannya peperangan yang ikut mengwatirkan hatinya pula.
"Siapa yang memimpin pasukan Pajang itu, yang tak menyadari kalau sudah masuk dalam perangkap gelar lawannya ?" orang itu menggremeng sendiri, "Hmm... Kalau begini terus, aku akan ikut berdosa karena melihat banyaknya orang yang binasa."
Usai berkata orang tadi mengambil sesuatu dibalik pakaiannya dan memasang diwajahnya. Lalu bagai mengendarai angin, orang itu meluncur mendekati medan perang. Sekali kakinya mendarat ditempat yang dituju, tangannya bergerak menyentuh orang - orang pihak lawan Pajang. Hebat bukan main akibatnya, orang yang tersentuh tangannya tanpa sadar telah pingsan begitu saja. Tidak hanya sekali atau dua kali, bahkan berlanjut terus berulang - ulang.
Yang mengherankan adalah sikapnya. Yaitu tatkala orang - orang pasukan perusuh yang ditakhlukan oleh orang yang baru tiba itu lunglai, dan apabila prajurit Pajang ingin menghujamkan senjata ke arah tubuh yang lunglai tadi, orang yang baru datang tadi melarangnya.
"Jangan, ia sudah tak berdaya." cegahnya.
"Tapi... "
"Bila kau tidak mengindahkan perkataanku, orang ini akan aku buat sadar lagi." ancam orang itu.
Dan begitulah, orang itu terus bergerak membantu pasukan Pajang yang berada dalam siasat Jurang Grawah.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 19
oleh : Marzuki
Munculnya sosok orang bertopeng telah membuat kacau garis luar pasukan perusuh. Siasat Jurang Grawah yang sedianya berhasil mengurung dan juga membuat pasukan Pajang kesulitan, lambat laun porak - poranda hanya karena adanya seorang pendatang saja. Hal itu memancing beberapa pemimpin pasukan perusuh terutama yang dekat dengan orang bertopeng.
Kala itu yang paling dekat adalah ki Singo Ambulu, seorang warok pemimpin perampok lereng timur gunung Lawu. Orang berwatak kasar dan beringasan itu lekas mendekati orang bertopeng dengan hardikan keras.
"Setan alas ! Siapa kau ini he ?!"
Orang bertopeng yang baru saja mengibaskan tubuh lawannya, bergegas menoleh kearah seseorang yang menghardiknya.
"Budeg ya kau ?! Ditanya keras - keras malah diam saja !" kembali ki Singo Ambulu mengumpat, karena pertanyaan yang awal tadi tidak lekas dijawab orang bertopeng.
Mendapat bentakan kedua itu, orang bertopeng tidak terpancing membalas marah, orang itu berlaku wajar seolah tiada masalah. Suara halus tanpa mengandung permusuhan sedikitpun saat menyahuti ki Singo Ambulu.
"Aku penghuni padukuhan diujung itu, tuan."
"Setan alas ! Lalu mengapa kau memakai topeng dan membuat pasukanku kelimpungan he ?!"
Orang bertopeng tersenyum dan katanya, "Kau aneh, tuan. Bukankah aku penghuni padukuhan di ujung bulak yang merupakan garis terdepan telatah Pajang. Sudah sewajarnya jika aku ikut mempertahankan telatah yang aku huni dari pokal perusuh seperti tuan ini."
Geram mewarnai hati ki Singo Ambulu. Telinganya terasa panas bagai tersulut bara api saja akibat mendengar ocehan orang bertopeng itu. Lantas saja ia mengembangkan tangannya dengan jari terbuka, kemudian tangan itu bergerak ke depan layaknya gerak sang raja rimba, lalu sebuah ujung kakinya menotol sebagai upaya mendorong tubuhnya. Tubuh ki Singo Ambulu-pun meluncur deras disertai terkaman ke arah orang bertopeng.
Hanya saja orang bertopeng sempat melengoskan tubuhnya sehingga terkaman ki Singo Ambulu hanya mengenai udara kosong. Panas hati ki Singo Ambulu, maka dibangunlah serangan susulan berupa tendangan kaki kanan. Namun lagi - lagi kakinya tidak menemui sasaran karena lawannya mengelak cepat. Tak menyiakan waktu, sekali lagi ki Singo Ambulu menyerang susul - menyusul tiada ampun.
Yang satu mengungkap tenaga untuk menyerang, sementara yang satunya menerapkan tata gerak begitu cepat, gesit dan sebat sebatas menghindari derasnya serangan lawan. Ini membuktikan kalau kedua orang yang berkelahu ini memiliki perbedaan penguasaan atau pengendalian diri. Ki Singo Ambulu seorang warok dengan perangai keras dan kaku, juga sejak usia dini sudah berkecamung dalam dunia hitam, sulit mengekang amarah yang ada dalam dirinya. Berbeda dengan lawannya, dibalik topeng nampak wajah muda memancarkan sinar lembut, yang mana walau jiwanya masih tergolong muda, akan tetapi telah mendapatkan penempaan jiwani yang sungguh - sungguh oleh kakek dan juga gurunya, sehingga dapat mengendapkan amarah dan mengendalikan hati serta pikiran. Tak heran dari itu semua nampak warna berbeda dalam menyikapi keadaan yang terjadi.
Tataran demi tataran berlalu bagai debu tersapu angin. Tata gerak-pun mulai lebih ragam coraknya dan diwarnai kembangan indah namun mengandung tenaga hebat. Di mana udara yang tidak tahu menahu ikut terseret oleh daya upaya para manusia itu. Debu kering terbang akibat tanah yang digeruk oleh langkah - langkah kaki juga tak terelakan. Menggambarkan pertempuran semakin sengit tak terkira.
Sepakan kaki ki Singo Ambulu dihindari dengan loncatan tinggi oleh orang bertopeng yang membalas pukulan dari langit, namun yang dibawah tak gentar malah menyilangkan kedua tangan berguna untuk menahan pukulan. Benturan tak terelakan, mengakibatkan ki Singo Ambulu menyeringai karena tangannya terasa nyeri. Sedangkan orang bertopeng membal saja dan berdiri kokoh bertumpu kedua kalinya. Hanya sesaat keduanya terhenti, setelah itu perkelahian berlanjut lebih seru, tentunya tataran ilmu semakin memuncak.
Dalam pada itu ki Singo Ambulu tidak ingin lama - lama membiarkan lawannya selalu dapat mengimbanginya. Dari pinggangnya telah terurai benda lentur berwarna putih, senjata khusus yang dimiliki oleh seorang warok, yaitu tali usus terbuat dari urat kuat berbahan khusus. Tali usus itu terentang di depan dada, lalu tangan ki Singo Ambulu mulai menggerakan tali usus diatas kepala bagai baling - baling setelah terputar. Makin lama tali usus berputar cepat menimbulkan bunyi bercuitan dan sekali ayun, tanah yang dikenai tersibak lebar meninggalkan bekas.
Menyaksikan kemampuan senjata lentur ki Singo Ambulu, orang bertopeng tetap diam ditempatnya. Walau begitu orang itu sadar kalau lawannya mulai bersungguh - sungguh. Oleh sebab itu, orang bertopeng bergegas menyiapkan dirinya untuk menghadapi lawannya yang sudah lebih dulu mengurai senjatanya. Meskipun begitu, orang bertopeng itu mencoba menghadapi lawannya dengan kemampuan kecepatan tata gerak yang ia miliki terlebih dahulu. Bukannya bersikap sombong, melainkan ini untuk menunda terkuak jati dirinya.
Di depan ki Singo Ambulu berseru, "He setan ! Cepat keluarkan senjatamu ! Agar aku tidak dikira kurang adil !"
Orang bertopeng diam saja. Hal itu membuat ki Singo Ambulu tersinggung bukan main. Tanpa menunda waktu lagi, ki Singo Ambulu mulai mengayunkan tali usus ke tubuh lawannya. Akan tetapi lawannya meloncat menjauhi jangkauan senjata lawan dan tali itu hanya mengenai tanah yang sebelumnya dipijaki orang bertopeng, sekali lagi tanah itu menganga akibat sabetan tali usus.
Seringai dan geraman mewarnai diri ki Singo Ambulu. Kemarahan yang membludak telah mendorong orang itu menggunakan senjatanya dengan gencar menyerang lawan. Ayunan, sabetan juga juluran tali usus selalu mengejar orang bertopeng yang masih berloncantan menghindar. Bagai tiada lelah, ki Singo Ambulu yang lihai menguasai senjatanya terus mengejar kemana-pun lawannya menghindar. Sungguh hebat juga ki Singo Ambulu dengan senjatanya itu, apalagi setelah melambari senjata itu dengan ilmu yang dimilikinya. Tali usus yang sebenarnya hanya satu, mendadak berganda jumlahnya.
"Bila begini terus, tenagaku akan cepat terkuras." desis orang bertopeng.
Setelah dipikir - pikir, jalan yang diambil oleh orang bertopeng itu ialah harus menggunakan senjatanya. Orang bertopeng itu terlihat meloncat jauh menjaga jarak. Tangannya mulai bergerak mengurai sesuatu benda yang melingkar dibalik pakaiannya. Terlihatlah benda terurai dengan pangkal sebagai tempat pegangan, ujung berjuntai terdapat beberapa besi tipis, ya itulah senjata cambuk.
Adanya lawan memperlihatkan senjata berupa cambuk, mendadak ki Singo Ambulu terkesiap dan mematung diam. Dalam angannya berkecamuk tanda tanya siapa lawannya ini. Hanya satu akhirnya dugaan yang ia miliki pada waktu itu, yaitu inikah orang bercambuk yang menggetarkan telatah bang wetan dan tengah itu ?
"Kau.. Kau orang bercambuk ?!" tanya ki Singo Ambulu, nada suara agak bergetar.
"Hm.. Aku adalah aku, tuan. Hanya saja orang - oranglah yang menyebut begitu setelah melihat cambuk gembalaku ini." sahut orang bertopeng merendah.
Sudah lama ki Singo Ambulu mendengar akan kehebatan orang bertopeng. Kini tak menduga kalau dirinya berhadapan langsung dengan orang itu. Dikuatkan hatinya, hati yang awalnya meredup mulai menyala lagi. Tangannya menggenggam erat tali usus yang ia andalkan. Dan untuk memantabkan hatinya ia berdesis.
"Itu hanya cerita ngayawara saja."
Di depan, orang bertopeng mencoba mempengaruhi jiwani lawannya. Tangannya bergerak dan sejenak kemudian terdengar lecutan keras cambuk menggelegar dahsyat, membuat telinga pengang dan hati bagai terlepas dari talinya.
Tanpa disangka ki Singo Ambulu terlonjak kaget dan kemudian mengumpat kasar.
"Gila.... "
Dalam keadaan yang sama, dua perkelahian seru tengah terjadi antara Bagus Pemanahan dan Lintang Kemukus. Ilmu tataran tinggi terkuak saling membentur dengan dahsyatnya. Tata gerak cepat hampir sulit diikuti mata, tergelar penuh ancaman mematikan. Rupanya kedua orang itu sudah memasuki babak akhir yang hampir selesai.
Ungkapan ilmu jalur Selo berbenturan dengan ilmu yang dimiliki oleh Lintang Kemukus itu pada akhirnya berwujud dua sinar yang bertemu menghasilkan dentuman keras membuyarkan pemusatan pikiran orang dan juga sejenak menghentikan jalannya pertempuran di bagian selatan itu.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilik 13 bagian 20
oleh : Marzuki
Semburat api menggelegak menghantam kesiur angin berhawa panas telah menimbulkan gelegar layaknya suara halilintar. Debu membumbung menutupi udara di sekililing dua orang yang beradu ilmu pamungkas. Aji Lawang Geni milik Bagus Pemanahan berbenturan dengan aji Braja Bayu dari Lintang Kemukus, dua ilmu nggegirisi tidak sembarang orang dapat memiliki kecuali menjalankan lelaku berat dan pati geni.
Dada Bagus Pemanahan terasa nyeri setelah benturan terjadi, ia tak mengira jika kali lawannya memaksanya mengungkap ilmu salah satu ilmunya yang jarang ia gunakan. Matanya bertambah heran tatkala di depan, lawannya berdiri kokoh tidak mengalami sesuatu apapun. Pikirannya bergegas tanggap dengan keadaan yang terjadi, tak boleh dirinya menghadapi lawan hanya sampai ditataran itu saja. Tiada jalan lain kecuali dirinya mengungkap ilmu pamungkas jalur Selo.
Dipusatkan nalar budinya sekali lagi. Tubuhnya berdiri kokoh bertopang kuda kuda kuat, mata terpejam sejenak lalu kembali terbuka, tangan bergerak dimana telapak tangan saling berhimpitan berlanjut mengosokan kedua telapak tangan. Mendadak langit yang cerah berubah gelap, terdengar suara seperti kilat beberapa kali, dan dari telapak tangan Bagus Pemanahan samar - samar memancar cahaya.
Di depan Lintang Kemukus mempertajam matanya seraya berdesis perlahan, "Gelap Bawono.."
Dia-pun tak menyiakan waktu lagi. Diungkap ilmunya sekali lagi untuk menghadapi ajian lawannya. Sekali lagi orang bertopeng ini menerapkan aji Braja Bayu, bukan tataran pertama seperti diawal, tetapi langsung pada tataran ke-empat. Hanya dalam tataran ke-empat ini dirinya yakin bisa mengungguli ilmu dari telatah Selo tersebut.
Suasana tegang mencemaskan berarak menyelimuti sekitar dua anak manusia yang berbeda tujuan. Angin yang biasanya menyejukan tak lagi seperti biasanya, seolah telat tercemari dengan keadaan sekitar. Lalu kemudian bagai berjanji, Bagus Pemanahan dan Lintang Kemukus saling melontarkan ilmu mereka.
"Wuuuuuussss.... Buuuuuumm... !"
Bumi bagai terguncang oleh lindu. Pendengaran terasa pengang dan hati bagai lepas dari tempatnya.
Agak jauh, orang bercambuk gelisah mengetahui dua ilmu saling berbenturan tadi. Dalam hatinya ia tahu betul dengan aji Gelap Buwono warisan dari ki Ageng Selo Sepuh yang nama mudanya Bagus Sogom itu, tetapi apakah Bagus Pemanahan sudah dalam tataran mendekati kesempurnaan ilmu itu ? Inilah yang mencemaskan diri orang bercambuk. Bagaimana tidak cemas ? Orang bercambuk itu juga mengenali ilmu lawan yang sudah dalam tataran hampir sempurna, itu terlihat dari warna yang semakin gelap pada saat tadi dilontarkan.
Adanya dorongan dari rasa gelisah itulah, orang bercambuk yang saat itu menghadapi ki Singo Ambulu, tak mau mengulur waktu. Cambuk ditangannya langsung ia ayunkan sendal pancing.
"Taaaarrr.... !"
Kali ini bunyinya tidak sekeras sebelumnya, tetapi akibat yang ditimbulkan membuat lawannya jatuh dengan paha tersayat.
"Bangsat.... !" umpat ki Singo Ambulu, berusaha bangkit berdiri.
Pada saat itu orang bercambuk mencoba mengingatkan lawannya, "Jangan kau bangkit, tuan. Cobalah untuk menyembuhkan lukamu."
Tetapi warok berwatak keras ini tak perduli dan malah marah. Warok itu berniat mengungkap ilmunya yang lebih tinggi, akan tetapi ia telah didahului oleh lawannya yang sudah menjulurkan cambuknya. Cambuk itu terjulur lurus ke arah kaki, lalu sekali sentak ki Singo Ambulu kembali mencium tanah. Rasa sakit menggerogoti tubuhnya akibat tubuhnya yang jatuh untuk kesekian kalinya.
Melihat lawannya kali ini agak tak berdaya, dan dirasa kalau empat prajurit dapat menahannya, orang bercambuk bergegas menuju tempat dimana tadi Bagus Pemanahan dan Lintang Kemukus berhadapan. Dan sesampainya tempat yang dituju, apa yang ia cemaskan telah terjadi. Bagus Pemanahan jatuh terduduk, dari sela bibirnya merembes cairan darah. Segera orang bercambuk mendekati Bagus Pemanahan sembari memberikan sebutir obat.
Awalnya Bagus Pemanahan kaget mengetahui adanya orang bertopeng di dekatnya. Ia mengira kalau orang itu adalah musuhnya. Akan tetapi setelah dicermati ternyata berbeda, apalagi setelah orang bertopeng disampingnya itu menawarkan obat kepadanya.
"Siapa kisanak ini ?" suara Bagus Pemanahan bergetar karena menahan rasa nyeri yang sangat.
"Percayalah, aku dipihakmu, tuan. Yang lebih penting terimalah butir obat ini." sahut orang bercambuk seraya mengangsurkan obat.
Rasa keraguan lenyap di hati Bagus Pemanahan. Diterimanya obat pemberian orang yang juga memakai topeng didekatnya itu. Saat itu tanpa sengaja Bagus Pemanahan melihat goresan di dekat pergelangan orang bercambuk. Tetapi ia tidak mempermasalahkan, lebih tepatnya ia mencoba mengacuhkannya.
"Cobalah beristirahat dan memulihkan tenagamu, tuan." kata orang bercambuk yang dibalas anggukan dari Bagus Pemanahan.
Sementara itu, Lintang Kemukus diam mematung melihat ada seseorang yang juga memakai topeng seperti dirinya, walau coraknya berbeda.
"Siapa orang ini ?" batinnya, tetapi ketika melihat apa yang dipegang ditangan orang yang menolong lawannya, seketika orang itu mengerti.
"Hmmm... Jadi ini murid Windujati !" seru Lintang Kemukus.
Mendengar seruan itu, Bagus Pemanahan terperangah. Benarkah apa yang baru saja ia dengar tadi ? Sepengetahuannya Windujati adalah sebuah perguruan yang ada pada masa Majapahit. Perguruan yang dipandang memiliki kehebatan dengan ilmu tata gerak dan ilmu ajian mendebarkan. Jadi benarkah orang yang menolongnya adalah salah satu pewaris ilmu perguruan Windujati.
"Oh... Goreasan dipergelangannya tadi... " batin Bagus Pemanahan.
Hanya saja orang bertopeng yang memegang cambuk tidak mengiyakan atau mengingkarinya. Orang itu hanya diam saja tanpa menunjukan pergerakan sedikit-pun.
"He.. Angkuh sekali kau, gembala sapi !" seru Lintang Kemukus sembari mencabut tombak pendek, dan menantang "Baiklah, mana yang lebih hebat, cambukmu atau tombak ini !"
Tidak menunggu jawaban, Lintang Kemukus sudah meloncat menjulurkan tombaknya mengarah dada lawan. Di depan, lawannya telah tanggap dimana kedua tangan mulai memainkan senjata lenturnya untuk dihadangkan ke depan dengan merentang. Saat tombak hampir mengenai dada, cambuk lentur yang merentang dengan cepat membelit ujung tombak. Tak ayal terjadilah tarik menarik oleh dua orang bertopeng.
Cukup lama adegan saling tarik menarik itu, hingga akhirnya Lintang Kemukus berusaha menjejak lambung lawannya. Akan tetapi lawannya bergegas menghindar dengan memutar tubuhnya sembari menarik kuat - kuat. Dan pada akhirnya tombak pendek lepas dari genggaman Lintang Kemukus, namun orang itu cukup cekatan dan cepat menangkap kembali tombaknya yang sempat melayang di udara.
Dapat menangkap tombaknya serta kakinya sudah berpijak ke tanah, Lintang Kemukus menyerobot ke depan. Kembali adu ilmu tata gerak dan olah senjata berlanjut seru dan sengit. Adu kepintaran dalam membaca arah gerak lawan juga ikut andil demi mendapatkan kemenangan.
Sementara itu perang semakin banyak memakan korban dari kedua pihak. Suara erangan, jerit memilukan dan menyayat terjadi di mana - mana. Tubuh bergelimpangan entah dalam keadaan pingsan atau bahkan sudah tak bernyawa, berserakan tak karuan. Darah merah bagai membanjiri tanah yang sebelumnya jarang dipijak oleh manusia.
Di tengah kejadian itu semua, Orang Bercambuk berdaya upaya menghadapi lawannya yang memiliki segudang ilmu ngedap - ngedapi. Seringkali ayunan cambuknya meledak menggetarkan udara. Akan tetapi lawannya tak terpengaruh oleh suara ledakan yang ditimbulkan. Malah lawannya dapat bergerak cepat dan trengginas memainkan tombak yang mematuk bagai ular saja.
Menyadari hal itu, Orang Bercambuk meningkatkan ilmunya. Kini ledakan yang ditimbulkan oleh cambuknya tidak keras seperti pada awal permainan. Menunjukan lambaran ilmu sudah diterapkan mengalir pada permainan cambuk.
"Gila kau penggembala... " umpat Lintang Kemukus, saat merasakan getar di jantungnya saat cambuk lawan terayun sendal pancing.
Saat itu juga Lintang Kemukus tak tinggal diam. Dirinya bergegas menerapkan ilmu yang ia miliki. Mendadak dua sosok menyerupai dirinya hadir di samping kanan dan kirinya.
"Kakang Pambarep Adi Wuragil.. " desis Orang Bercambuk.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 21
oleh : Marzuki
Tiga wujud dengan penampilan sama yang merupakan bukti penerapan aji Kakang Pambarep Adi Wuragil telah hadir berdiri kokoh memegang tombak terjulur lurus ke depan. Itu merupakan salah satu ilmu yang dimiliki oleh Lintang Kemukus, seseorang yang mengaku keturunan Kertajaya raja Kadiri terakhir. Penerapan ilmu itu tiada lain adalah upayanya untuk mengalahkan lawannya yang ia duga murid perguruan Windujati sekaligus musuh bebuyutan dari pihaknya, karena perguruan Windujati masih berhubungan erat dengan penguasa Majapahit, malah pendiri perguruan itu adalah putra Brawijaya.
Tanpa banyak suara, ketiga sosok Lintang Kemukus mulai mengerubut Orang Bercambuk. Bukan olah - olah serangan yang dilakukan oleh ketiga sosok tersebut, dimana serangan susul menyusul dan terkendali oleh satu otak terlihat terampil dan saling mengisi hingga membuat lawannya harus bergerak cepat demi menghindari atau menangkis tajamnya mata tombak. Apalagi lambaran tenaga cadangan dari Lintang Kemukus menyeruak dahsyat mengalir ke setiap bagian tubuh menuju tombak pendeknya, menjadikan orang itu cukup trengginas.
Bila Lintang Kemukus menerapkan Kakang Pambarep Adi Wuragil berupa munculnya dua sosok menyerupai diri orang yang menerapkan, Orang Bercambuk mengambil cara tersendiri dalam menghadapi ganasnya ilmu itu. Orang Bercambuk itu masih berdaya upaya meningkatkan kecepatan tata gerak serta meringankan bobot tubuhnya layaknya kapas yang terhembus angin. Tubuhnya sangat ringan hingga tubuhnya dapat berpindah tempat sangat cepat, demi menghindari runcingnya mata tombak yang tertuju kepadanya. Hebat bukan main penguasan ilmu meringankan tubuh yang diperagakan oleh Orang Bercambuk, yang dapat memperpanjang jalannya pergulatan seru dan sengit itu.
Mendapati lawannya terus menghindar, tiba - tiba Lintang Kemukus berteriak keras. Tetapi teriakan ini bukan saja teriakan biasa, tetapi mengandung perbawa dari ilmu Pekik Sardulo. Dan teriakan itu menemui hasil, itu terbukti saat lawannya terhuyung - huyung karena pendengarannya seakan - akan tertusuk nyeri hingga merambat ke hati. Kesempatan itu lekas dimanfaatkan oleh sosok kanan yang menggebuk lambung Orang Bercambuk, disusul sosok kiri menggores lengan Orang Bercambuk, dan sosok sesungguhnya ingin menusukan tombak pendek ke arah jantung.
Jalan kematian mulai menyeruak untuk sang Yamadipati yang akan merenggut nyawa Orang Bercambuk, namun selisih mata tombak dan tubuh Orang Bercambuk hanya dua ruas jari saja, keajaiban muncul. Tangan orang Bercambuk telah menggerakan cambuknya dengan cepat mengarah leher Lintang Kemukus. Inilah pertaruhan antara hidup dan mati bagi keduanya. Siapa tatag akan hatinya, dialah yang keluar dari marabahaya.
Di situ, Lintang Kemukus berpikir cepat. Ia tak ingin mati sampyuh dengan lawannya. Maka ia bergegas mundur dan tidak melanjutkan melubangi jantung lawan, agar lehernya juga tidak tersayat oleh rumbai baja kecil yang ada diujung cambuk lawan. Tetapi alangkah terkejutnya Lintang Kemukus, manakala ujung cambuk malah menyengat bahunya, dan bahu itu berdarah. Tak sampai disitu saja apa yang terjadi pada diri Lintang Kemukus, luka pada bahunya telah membuat dirinya lepas dari pemusatan ilmu Kakang Pambarep Adi Wuragil, yang mengakibatkan dua sosok mirip dirinya lenyap tersapu angin.
"Setan alas !" geramnya seraya menyentuh luka di bahunya.
Dari kejadian itu, menunjukan kalau pada akhirnya keduanya mengalami luka pada kulit mereka. Darah mulai menetes keluar, Orang Bercambuk pada lengan, sementara Lintang Kemukus pada bahu kirinya.
Rasa nyeri pada luka tubuh berusaha disingkirkan, malah luka itu dijadikan dorongan untuk memenangkan perkelahian di tengan peperangan itu.
Gemerak gigi Lintang Kemukus terdengar keras, amarah memuncak tak terbendung, dan jebolah tanggul itu. Bibirnya merapal mantra lirih dan hanya dirinya saja yang mampu mendengarkannya. Sebuah mantra khusus diperuntukan untuk menimbulkan kabut, kabut tipis menyeruak dari dalam tanah dan menyebar sesuai keinginan orang yang mengendalikannya.
Di depan, Orang Bercambuk heran dengan apa yang terjadi, kabut tiba - tiba menyeruak semakin tebal dihadapannya. Cepat ia menanggapi kalau ilmu itu diterapkan oleh orang bertopeng bergelar Lintang Kemukus.Tak disangkanya kalau Ilmu aneh dan sangat jarang dimiliki oleh sebagian orang di dunia olah-kanuragan itu, telah ada di depan matanya sendiri. Sekian lama dirinya mengembara, baru kali ini ia bertemu ilmu yang mirip dengan apa yang ia punya. Memang Orang Bercambuk itu juga dapat menerapkan ilmu kabut yang ia warisi dari kakeknya, dan ilmu itu merupakan ciri khusus dari jalur perguruannya, perguruan Windujati.
Bergegas Orang Bercambuk memupus rasa heran di hati dan pikirannya, jika dirinya tak ingin menanggung sesal dikemudian hari. Semua panca indera diterapkan dengan sungguh - sungguh. Ilmu Pranggaita, Pangrasa, dan Pandhulu seketika ia tingkatkan untuk menghadapi apa yang akan dilakukan oleh lawannya bersamaan kabut yang mulai tebal.
Pada saat itu, mendadak terdengar suara berlambarkan ilmu Pekik Sardulo dari Lintang Kemukus.
"Hai Orang Bercambuk ! Sampai disini saja ketenaran gelarmu yang mampu menggetarkan telatah Bang Wetan dan Tengah !" seru Lintang Kemukus, "Ilmu kabut ini akan menggilas ragamu !"
Dengan berakhirnya suara ancaman, tiga sosok bergerak menyerbu ke tengah kabut. Sejenak kemudian terdengar kesiur angin dari juluran tiga tombak yang digenggam Lintang Kemukus, walau begitu kesiur itu tidak membuyarkan kabut yang ia ciptakan, kabut itu tetap pekat menghalangi penglihatan pada orang biasa. Tiga tombak terlihat deras mengarah pada sosok yang berdiri memegangi cambuk ditangan kanannya. Karena sosok yang berdiri ditengah tidak nampak adanya pergerakan, Lintang Kemukus yakin jika serangannya tepat mengenai tubuh musuhnya.
"Jleebb.. Jleebb.. Jleeb.. "
Tiga mata tombak mendarat pada sosok yang berdiri ditengah kabut. Hal itu membuat hati Lintang Kemukus merekah gembira akan kemenangan yang dia capai. Seseorang berjuluk Orang Bercambuk yang mampu menggetarkan Bang Wetan dan Tengah, berakhir ditangannya. Ini juga merupakan hasil gemilang karena salah satu dendamnya kepada keturunan Wilwatikta tewas olehnya. Seraut bibir merekah terlihat jelas mewarnai raut mukanya.
Lantas kemudian Lintang Kemukus merapalkan mantra. Pelan namun pasti kabut yang tadi mengapung, mulai hanyut dan lenyap. Keadaan kembali seperti sediakala. Tetapi seketika wajah Lintang Kemukus mendadak merah padam dengan apa yang ia lihat. Bergegas tombak yang ia tusukan dicabut dan meloncak kebelakang. Sosok yang ia kira Orang Bercambuk, ternyata sebuah bentuk orang - orangan dari kabut juga. Tak ada sedikitpun sosok asli Orang Bercambuk di situ.
Selain rasa marah, Lintang Kemukus juga heran karena adanya orang - orangan yang berasal dari gumpalan kabut yang mirip bentuk perawakan Orang Bercambuk. Bagaimana bisa seperti itu ? Itulah pertanyaan yang ada dalam pikiran Lintang Kemukus yang tidak bisa ia jawab sendiri. Apakah lawannya mempunyai ilmu seperti dirinya ?
Tertegun orang itu.
Tiba - tiba tiruan sosok berkabut lenyap. Dususul munculnya gulungan kabut yang berhenti sepuluh langkah dari Lintang Kemukus. Dari balik kabut itu, munculah Orang Bertopeng sembari melecutkan cambuknya.
"Taaaar...!!!" Kabut-pun lenyap.
"Siapa kau ini, He ?" tanya Lintang Kemukus.
Orang Bercambuk maju dua tindak, kemudian jawabnya, "Aku Jaka Pamungkas, tuan. Tuan sendiri siapa ?"
Lintang Kemukus mengernyitkan alisnya. Nama yang diucapkan oleh lawannya tak pernah ia kenal. Mungkin itu hanyalah nama samaran saja, pikir Lintang Kemukus. Ia pun bersuara.
"Aku Lintang Kemukus keterunan Kadiri." ucapnya, "Apakah kau hanya murid orang yang masih berhubungan darah dengan Majapahit atau kau keturunannya ?"
Pembicaraan itu menarik perhatuan Bagus Pemanahan yang berada di luar kalangan, untuk ikut mengetahui siapa orang - orang ini.
Orang Bercambuk yang menyebut dirinya Jaka Pamungkas, mendongak ke atas. Langit biru tertutup awan tipis terlihat cerah di masa itu.
"Tuan.. " kata Jaka Pamungkas, "Entah itu Majapahit atau Kadiri, jaman telah berubah. Tidak semestinya kau melawan arus dengan membabi buta membalaskan dendam yang kau sendiri tak mengetahui kebenarannya."
"Diam, kau !" bentak Lintang Kemukus, "jawab pertanyaanku tadi, he !"
Jaka Pamungkas menggeleng, "Kau berbeda dengannya, tuan. Seorang sahabatku adalah trah sesungguhnya rembesing madu Kadiri, yang memiliki ilmu Prabu Airlangga, tetapi ia tidak pernah mempersoalkan kejadian yang lama itu. Mengapa tuan tidak mencontohnya ?"
Mata Lintang Kemukus melotot, seolah - olah ingin meremas Jaka Pamungkas yang bermulut besar dan penuh bualan itu.
"Ciihhh.... Mana ada seorang keturunan Kadiri seperti yang kau bicarakan, he ?" sanggah Lintang Kemukus, "Baiklah jika kau tak berterus terang. Jangan menyesali jika kau akan lumat oleh ilmu pamungkasku !"
Benar saja, usai berkata Lintang Kemukus menamcapkan tombak pendeknya ke tanah. Lalu ia memasang kuda kuda dan memusatkan nalar budinya. Aju Braja Bayu dalam tataran hampir sempurna ia kerahkan untuk melumatkan lawannya. Hanya jalan ini saja bagi dirinya setelah sekian ilmunya dapat dimentahkan oleh lawannya yang sama - sama memakai topeng.
Jaka Pamungkas tak tinggal diam. Cambuknya ia kalungkan di leher. Lalu ia berdiri kokoh memusatkan nalar budinya. Ilmu yang ia pelajari dengan sungguh - sungguh, terpaksa ia terapkan untuk menghadapi musuhnya yang sudah waringuten itu. Ilmu pamungkas yang ia pelajari dari guru ke-duanya, ki Ageng Sora Dipayana bekas kepala perdikan Banyubiru.
Sekejap kemudian didahului teriakan keras, keduanya berlari saling tumbuk. Dua tangan dialiri tenaga dahsyat beradu menimbulkan bunyi berdebum keras, hingga membuat tanah bergetar. Debu seketika berhamburan menutupi pemandangan di sekitar dua orang beradu kesaktian. Entah apa yang terjadi sebenarnya di balik debu yang masih mengapung di udara.
Di luar kalangan, Bagus Pemanahan merasa jantungnya hampir lepas dari tangkainya, beruntung putra ki Ageng Ngenis itu mempunyai kemampuan jiwani kuat untuk dapat meredam dan menanggulangi getar tenaga tadi. Tetapi tidak demikian dengan keadaan beberapa orang yang dekat dengan kalangan, mereka banyak yang tumbang pingsan oleh getaran tenaga dahsyat tadi.
Berangsur - angsur debu luruh jatuh ke tanah. semakin jelas terlihat dua sosok dalam keadaan sama - sama payah. Lintang Kemukus menahan berat tubuh menggunakan kedua tangan dalam keadaan napas terengah - engah, serta dari sela - sela bibir merembes darah segar. Sisi yang lain, Jaka Pamungkas, duduk berjongkok dimana tangan menekan dada, hanya saja dari bibir tidak sampai mengeluarkan darah dan napasnya tidak bekejaran.
"Bang..sat.. " geram Lintang Kemukus hanya sesaat, kemudian tubuhnya semakin berat dan jatuh lunglai.
Melihat tubuh lawannya rebah, Jaka Pamungkas berusaha menguatkan dirinya untuk bangkit berdiri. Ia berjalan tertatih - tatih juga berhati - hati mendekati tubuh lawannya. Sesampainya di dekat tubuh Lintang Kemukus, Jaka Pamungkas memperhatikan lawannya dalam keadaan mata terpejam. Dicobanya untuk lebih dekat dengan berjongkok di samping tubuh Lintang Kemukus.
"Hati - hati, tuan." suara Bagus Pemanahan memperingatkan.
Jaka Pamungkas mengangguk perlahan. Tangannya mengarah dibawah hidung tubuh yang rebah itu.
"Oh.. " keluh Jaka Pamungkas, lalu desisnya "Maafkan aku, Duh Gusti Agung."
Sorak sorai bergemuruh atas tewasnya Lintang Kemukus. Sementara di ujung yang lain juga terdengar sorak kemenangan Juru Mertani yang telah mengalahkan ki Gede Bayu Lamatan, disusul tewasnya Wuraju ditangan Windujaya.
"Menyerahlah kalian !" seru Bagus Pemanahan kepada pasukan perusuh, "Lihatlah, ketiga pemimpin kalian sudah tewas !"
Teriakan itu telah menciutkan hati pasukan perusuh. Tiada jalan bagi mereka kecuali menyerah. Maka kemudian satu - persatu orang - orang itu melemparkan senjata mereka dan pasrah ketika prajurit Pajang mengikat tangan mereka dengan ikat kepala mereka sendiri.
Dalam pada itu, saat orang - orang gerombolan perusuh menyerah, ada sekelompok orang menyerang membabi buta,k elompok itu dipimpin oleh Suro Sengguruh bajak laut pesisir selatan. Kelompok bajak laut itu menerobos kepungan prajurit yang dipimpin oleh ki Lurah Prabandaru.
"Menyingkir kau jika tidak ingin kepalamu lepas !" seru Suro Sengguruh sembari menebas ke depan.
Ki Lurah Prabandaru mengelak ke samping, tetapi kaki lawannya menghajar lambungnya. Tak ayal rasa sakit terasa mengganggu lurah prajurit itu.
Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Suro Sengguruh untuk meloloskan diri. Kakinya meloncat jauh meninggalkan tempat peperangan, disusul oleh anak buahnya.
"Sial.. "gerutu ki Lurah Prabandaru.
Melihat musuh lari, prajurit hendak mengejarnya. Akan tetapi ki Lurah Prabandaru melarangnya.
"Biarkan mereka. Lebih baik kumpulkan mereka."
Walai berat hati, prajurit itu mengikuti perintah atasannya.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 23
oleh : Marzuki
Setelah persiapan perang selasai, pasukan Pajang dibagi menjadi dua bagian. Pasukan pertama dibawah Senopati Bagus Pemanahan diapit oleh Senopati Semirat dan Juru Mertani serta Windujaya menyergap para perusuh di ujung selatan perbatasan Pajang. Sedangkan pasukan kedua dibawah Senopati Penjawi diapit oleh Senopati Gumilang dan Gagak Kajoran, yang disertai ki Lurah Arya Dipa, Begawan Jambul Kuning dan Kyai Jalasutro menuju perbatasan timur Pajang.
Bila di ujung perbatasan selatan menggunakan gelar Dirada Meta, pasukan Senopati Penjawi menerapkan gelar Garuda Nglayang. Dimana gelar ini mengharuskan pasukan bergerak melebar layaknya sayap mengembang, seakan terbang untuk menyambar mangsa. Selain itu, gelar Ini juga didukung oleh luasnya medan dan banyaknya pasukan, sehingga diharapkan dapat dengan cepat menekan kedudukan lawannya.
Ketika sampai di padang luas, ternyata pasukan lawan sudah menebar membentuk gelar bulat dengan gerigi - gerigi dipinggirnya yang dibentuk oleh pasukan bersenjata tombak terjulur ke depan, membuktikan kalau lawan menerapkan gelar Cakra Byuha. Selain itu, pasukan lawan juga menunjukan panji - panji beserta umbul - umbul yang menggetarkan beberapa pasang mata yang ada di pihak Pajang, yaitu adanya sebuah lambang panji yang dahulu merupakan ciri keberadaan Prabu Giriwardhana. Dan pasukan ini terlihat lebih mantap dalam menerapkan gelar tersebut layaknya pasukan kerajaan besar.
"Itu.. "desis Begawan Jambul Kuning, saat matanya melihat lambang yang ia kenal.
"Gila orang - orang ini." gumam Kyai Jalasutro, yang juga mengenali lukisan di panji yang berkibar.
"Ada apa, Kyai ?" tanya ki Lurah Arya Dipa, saat mendengar gumam Kyai Jalasutro.
"Panji yang mereka gunakan adalah ciri khusus yang dimiliki oleh Prabu Giriwardhana." ungkap Kyai Jalasutro.
Sesaat ki Lurah Arya Dipa hanya mengernyit saja. Namun ia cukup jelas dengan maksud keberadaan panji lawan itu, yaitu hanyalah piranti untuk mengobarkan semangat pasukan tersebut, apalagi kemudian tidak terlalu lama terdengar gemuruh sorak dari barisan gelar Cakra Byuha. Sorak gemuruh meneriakan kerajaan Kadiri hidup kembali dan gelar Prabu Giriwardhana.
Akhirnya dua pasukan berbeda gelar dan tujuan itu telah berhadapan dipisahkan jarak sepuluh tombak. Angin berhembus mengibarkan umbul - umbul dan panji menambah kegagahan dua pasukan tersebut. Dan ini menjadi bahan pertanyaan bagaimana kejadian ini bisa terjadi saat di Bang Wetan telah terjadi pertempuran lebih besar. Saat pasukan utama Demak melawat ke timur, tidak disangka masih ada pasukan segelar sepapan menyusup di sekitar telatah Pajang.
Perlahan ki Lurah Arya Dipa mendekati Senopati Penjawi. Sebagai prajurit yang diperbantukan, ia tidak ingin melanggar paugeran keprajuritan, oleh karenanya ia akan meminta ijin dari Senopati perang.
"Ki Senopati," kata ki Lurah Arya Dipa.
Ki Penjawi menoleh kepada prajurit Wira Tamtama dan sahutnya, "Bagaimana, ki Lurah ?"
"Aku meminta ijin keluar dari gelar ini untuk memantau bagian belakang lawan."
Mendengar permintaan yang dirasa aneh tersebut, ki Penjawi sedikit heran. Akan tetapi ia ingat sosok disamping itu, yang tiada lain kawan junjungannya dan juga orang terdekat Pangeran Adipati Anom. Maka meskipun diliputi tanda tanya, ki Penjawi mengijinkan Lurah Wira Tamtama itu memisahkan diri dari gelar.
"Bila itu yang ki Lurah rasakan lebih baik, tiada gunanya aku melarang. Tetapi bila gelar ini dalam keadaan terdesak, kuharap ki Lurah bergegas kembali."
"Terima kasih ki Senopati."
Kemudian ki Lurah Arya Dipa membawa kudanya ke belakang gelar dan mengarahkan kuda itu berjalan menyusuri jalur luar gelar dan memutar jauh. Barulah kemudian kuda berjuluk Jatayu berbelok ke lorong kecil dengan kanan kiri bertumbuhan gerumbul perdu dan rumput ilalang. Namun baru saja beberapa tombak, Jatayu menghentikan lajunya seraya meringkik dan kaki - kakinya menghujam tanah berdebu.
"Kau juga merasakannya, Jatayu.. " desis ki Lurah Arya Dipa seraya mengelus bagian belakang leher Jatayu.
Kuda itu meringkik pelan dan mengangguk - anggukan lehernya, seakan - akan mengiyakan perkataan majikannya. Dan mata kuda putih terus menatap lurus ke balik gerumbul perdu.
Saat itulah dari balik gerumbul perdu, seekor kuda hitam legam menyembul keluar bersama dengan penunggangnya. Seorang lelaki gagah yang mempunyai kumis melintah layaknya raden Gatotkaca. Hanya pakaian orang itu hanyalah pakaian kawulo pada umumnya, meskipun itu hanyalah kedok semata, karena bila seorang bermata tajam akan mengetahui dari sorot matanya kalau orang tersebut adalah seorang priyayi agung.
"Oh.. gusti Adipati Arya Jipang.. " desis ki Lurah Arya Dipa, dan bergegas turun dari kudanya untuk menghormati penunggang kuda tersebut.
Sebenarnya memanglah pemuda gagah itu adalah Adipati Arya Penangsang, penguasa Jipang Panolan. Dan kuda yang ditunggangi tiada lain dan bukan adalah si Gagak Rimang, seekor kuda gagah kokoh yang hanya mau tunduk oleh Adipati Arya Penangsang. Hanya saja yang kemudian timbul sebuah pertanyaan ialah, mengapa putra sulung mendiang Pangeran Sekar Sedo ing Lepen itu berada disekitar medan pertempuran ?
Sementara itu, Adipati Jipang menatap lekat kearah ki Lurah Arya Dipa yang usianya terpaut beberapa bilangan diatasnya. Kepala Adipati itu mengangguk manakala dirinya merasakan getaran kuat membentur mata hatinya.
"Sungguh seorang prajurit linuwih.. " batinnya, dan lanjutnya seakan ada penyesalan, "Sayang ia terlanjur dekat dengan adi Pangeran Anom dan si Karebet."
"Duh, gusti Adipati. Ada apa gerangan, sinuwun berada di telatah Pajang ini ?" ki Lurah Arya Dipa memberanikan untuk bertanya.
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari seorang Lurah Prajurit, sekilat raut wajah Adipati Arya Penangsang memerah. Namun ketika ia ingat akan tujuan yang sebenarnya, lekas - lekas ia sirnakan kemarahannya dan berubah keramahan, meskipun terkesan kaku.
"Hm... Aku hanya ingin memastikan mengenai warta yang sampai pada telingaku saja, ki Lurah." ucapnya perlahan, sembari melihat kesan dari wajah lawan bicaranya.
Kemudian lanjutnya, "Ternyata warta itu benar adanya. Pasukan segelar sepapan muncul membuat keributan di kadipaten Pajang, dan yang membuatku marah saat mengetahui kalau mereka membawa - bawa kadipaten Jipang Panolan yang tiada sangkut pautnya barang secuil."
Ketika terlihat ki Lurah Arya Dipa akan berbicara, Adipati Arya Penangsang bergegas mendahuluinya, "Biarlah itu akan aku jelaskan kepada penguasa Pajang ini. Saat ini aku berkepentingan denganmu, ki Lurah."
Agak tercekat ki Lurah Arya Dipa, "Oh.. Dengan Hamba, kanjeng Adipati ?"
"Benar." sahut Adipati Arya Penangsa, "Maukah kau mengulurkan tenagamu untuk membuat kokoh kadipaten Jipang ?"
Langit yang terang benderang seakan - akan berubah gelap tertutup awan yang menimbulkan kerasnya halilintar dan membuat Lurah muda itu kaget. Begitu tiba - tiba orang yang tidak pernah bersinggungn dengan dirinya itu, mengajak dirinya ikut menyumbangkan tenaga untuk Jipang. Sungguh sesuatu yang sangat ganjil ia rasakan saat ini.
"Kenapa Anakmas terdiam." sebuah suara menegur yang sumbernya bukan dari Adipati Arya Penangsang.
Sosok berjubah berwarna kunir perlahan keluar dari balik gerumbul perdu.
"Kanjeng Sunan... " kembali ki Lurah Arya Dipa terhenyak atas kedatangan seorang yang ia kenali sebagai pengasuh pemondokan di Kudus.
"Iya, Anakmas. Benar ini aku, sahabat gurumu."
Ki Lurah Arya Dipa menghaturkan salam dan bektinya.
"Jawablah apa yang tadi diminta oleh putraku Penangsang." kanjeng Sunan Kudus kembali membawa ke arah yang sempat terpotong tadi.
Cucu Begawan Jambul Kuning itu tidak langsung menjawab. Ia tahu betul apa yang harus ia katakan akan membawa ekor dikemudin hari. Tetapi ia adalah seorang yang teguh jalan mana yang ia ambil, dan sejak awal ia mengikutinya.
"Maafkan hamba ini, duh kanjeng Adipati dan Kanjeng Sunan. Hamba adalah prajurit yang sudah terikat dengan sumpah yang dahulu hamba ikhrarkn di depan Panglima Demak. Maka tiada jalan lain, kecuali hamba tidak mampu menyanggupi ajakan gusti Adipati."
"He.... Lurah... !" mendadak Adipati Jipang menghardik keras.
"Oh.. Tenangkan hati dan pikiranmu, Ananda." buru - buru kanjeng Sunan Kudus menenangkan hati murid kinasihnya itu.
"Tetapi, bapa guru... "
"Lihat aku Arya Penangsang !" dengan cepat kanjeng Sunan memotong sekaligus menghardik muridnya itu.
Bukan kepalang terkejut Adipati Arya Penangsang atas ulah gurunya yang tidak biasa itu. Apalagi saat itu bukan hardikan biasa saja, melainkan ada perbawa halus dari sebuah ilmu, yang membuat badannya seakan susut. Lantas saja Arya Penangsang diam tidak mau membantah perkataan gurunya.
Namun yang sangat terkejut pada saat itu adalah kanjeng Sunan Kudus sendiri. Sebenarnya ilmu yang ia lontarkan pada saat itu sebagian besar ia arahkan kepada ki Lurah Arya Dipa. Namun pemuda itu tak mengalami sesuatu apapun, badan pemuda itu masih bertenaga dan berdiri kokoh bertumpu pada kedua kakinya.
"Sungguh seorang yang benar - benar menuntaskan ilmu Cakra Paksi Jatayu. Lontaran gema Kalacakra tak dapat menembus kilau aneh yang menyelimuti tubuhnya." batin kanjeng Sunan Kudus.
"Hahaha... " kanjeng Sunan Kudua tertawa untuk meredakan keadaan yang tegang itu. Dan kemudian katanya, "Aku menghargai keteguhan hatimu, Anakmas. Apa yang diceritakan oleh kakang Kalijaga memang benar adanya. Kau benar - benar patut menjadi contoh bagi anak - anak muda yang lainnya."
Ki Lurah Arya Dipa menunduk, "Kanjeng Sunan terlalu memuji orang yang kurang unggah - ungguh ini. Dan itu membuatku berat dalam memikul tanggung jawabnya."
"Hahaha... " kau terlalu merendah, Anakmas. Hm... Baiklah kalau begitu, itu memang cirimu yang lain sekali dari eyangmu, Begawan Jambul Kuning. Hm.. Baiklah, kalau begitu silahkan Anakmas melanjutkan apa yang hendak Anakmas lakukan. Aku dan Ananda akan pergi ke pusat kadipaten Pajang."
Lantas keduanya berlalu meninggalkan ki Lurah Arya Dipa yang masih berdiri disamping Jatayu sambil terus mengawasi kepergian keduanya. Hingga akhirnya setelah melewati kelokan lorong, tak terlihat lagi wujud Adipati Arya Penangsang dan Sunan Kudus. Kini tinggalah ki Lurah Arya Dipa.
"Untung saja aku sempat meningkatkan ilmu dari kitab Cakra Paksi Jatayu." desis ki Lurah Arya Dipa, lalu pemuda itu menaiki pelana Jatayu dan kembali menggebrak kuda putih itu, yang melesat bagai terbang saja.
Panasnya Langit Demak
jilid 13 bagian 23
oleh : Marzuki
Adipati Arya Penangsang tak tahan lagi akan rasa yang mengganjal dihatinya, tatkala mendapati dirinya mendapat perlakuan keras dari gurunya sewaktu menghadang ki Lurah Arya Dipa. Bukan hanya bentakan biasa, melainkan adanya luapan gema Kalacakra yang membuat tenaganya luluh walau hanya sesaat. Karenanya setelah perjalanan kudanya memasuki pinggiran bulak, sang Adipati bersuara.
"Bapa guru.. Ananda tak mengerti perihal tadi yang Bapa guru lakukan kepada ananda ini." kata Adipati Jipang, berusaha menekan luapan kecewanya.
Kanjeng Sunan Kudus menghela napas, sembari tangannya mengendalikan tali kekang kuda. Dan orang tua yang dahulu merupakan Senopati agung Demak itu berkata.
"Ananda, Arya Jipang, Gema Kalacakra tadi tidak sepenuhnya aku tujukan padamu. Secara penuh ilmu tadi aku luncurkan ke arah Anakmas Arya Dipa." Sejenak kanjeng Sunan Kudus berhenti demi menarik napas, lalu lanjutnya, "Sungguh aku tak mengira sinar Niscala Praba dapat membuyarkan gema Kalacakra hingga memantul padamu."
Saat itu mendadak Adipati Arya Penangsang menarik tali kekang Gagak Rimang, dan membuat kuda itu terkejut atas pokal majikannya. Gurunya-pun terpaksa menghentikan laju kudanya juga dan menanti tenangnya hati muridnya.
"Bapa guru, sekuat itukah ki Lurah Arya Dipa ?"
"Entahlah... Mungkin lebih tak terduga lagi.." sahut kanjeng Sunan Kudus.
Putra mendiang Sunan Ngudung itu masih ingat dengan jelas apa yang pernah ia dengar dari Sunan Kalijogo mengenai ki Lurah Arya Dipa. Pemuda cucu Begawan Jambul Kuning itu bukanlah anak sembarangan, ia sebenarnya masih keturunan seorang suci di jaman Kadiri seperti kakeknya yang bernama Raden Bancak putra Pangeran Banyak Paguhan. Tak hanya itu saja, pemuda itu juga mendapatkan sebuah kitab kanuragan yang sempat menggegerkan golongan kanuragan dimasa silam, yaitu kitab Cakra Paksi Jatayu. Dan bahkan beberapa sesepuh keturunan Wilwatikta pamungkas telah mempercayakan ilmu, rontal dan tuntunan secara langsung kepada ki Lurah Arya Dipa.
"Semuanya masih mempunyai harapan, selama mereka mau berusaha." batin kanjeng Sunan Kudus.
Sementara itu, di lain tempat, ki Lurah Arya Dipa memacu kudanya menyusuri garis belakang musuh. Yang ia lihat pertama kali sama seperti yang ia perkirakan. Yaitu seorang lelaki yang pernah ia hadapi saat kisruh hilangnya kyai Naga Sasra dan Sabuk Inten. Hanya saja, kali ini orang itu dikelilingi orang - orang pinunjul dalam olah kanuragan dan kajiwan.
Terlihat jelas Pangeran Singosari diatas kuda diapit oleh Raden Sajiwo dan ki Wanapati, serta beberapa orang dari padepokan dan tentunya perwira prajurit. Entah mengapa Pangeran itu tidak memasuki gelar yang telah diterapkannya. Mungkin ia sangat percaya dengan para senopati dan orang - orang kepercayaannya yang dapat menghalau gelar Garuda Nglayang yang diterapkan oleh pasukan Pajang.
"Baiklah, semuanya sudah siap." saat itu Pangeran Singosari angkat bicara, dan lanjutnya, "Ki Rangga Trembolo, perintahkan pasukan bergerak."
Seorang senopati berpakaian seorang Rangga bergegas menyahut, "Sendiko gusti Pangeran."
Dengan cekatan Rangga Trembolo mengangkat tangan sebagai pertanda bagi pasukannya untuk bergerak. Diawali sebuah tambur dan gong, bergeraklah pasukan dengan gelar Cakra Byuha. Bagai gilingan raksasa, pasukan segelar sepapan mulai merangsek maju, siap menggilas orang - orang Pajang.
"Lebih baik paman dan kalian memasuki gelar. Aku yakin anak Pengging itu juga mengerahkan orang - orang kepercayaannya." seru Pangeran Singosari.
"Hm... Baik, Anakmas." kata ki Wanapati sembari membedal kudanya.
Para Perwira dan orang - orang padepokan tak tinggal diam, mereka juga bergegas memasuki gelar dan berusaha maju ke depan gelar. Kini tinggalah Pangeran Senopati dan Raden Sajiwo serta sepuluh pengawalnya.
"Adimas, ada seseorang yang mengawasi kita sejak tadi. Sadarkah kau ?" tiba - tiba Pangeran Singosari bersuara.
Raden Sajiwo mengangguk, "Iya Kakangmas. Dua orang, satu dibawah pohon ketapang dan satunya dekat batu besar itu."
Para pengawal yang mendengar percakapan itu, seketika waspada dan mata mereka mengawasi dua tempat yang telah diberitahukan, juga tangan mereka melekat meraih senjatanya.
Sementara itu, dua orang yang berada dibawah pohon ketapang dan batu besar, melangkah keluar perlahan. Sudah tak diperlukan lagi untuk sembunyi, karena keberadaan mereka sudah diketahui, tiada jalan kecuali menghadapi orang - orang yang mereka intai sejak tadi. Dan kedua lelaki itu salah satunya memakai topeng, sementara satunya lagi ialah seorang Lurah prajurit.
"Kalian.... !" seru Raden Sajiwo yang mengenali kedua orang tersebut.
Kedua orang yang baru muncul tadi saling pandang satu dengan yang lainnya, serta saling mengangguk. Tiada jawaban dari keduanya melainkan keduanya terus mendekati perkemahan Pangeran Singosari. Setelah sekitar tiga atau empat tombak, keduanya berhenti dan berdiri kokoh demi melihat para pengawal siaga mengacungkan tombak dan pedang mereka.
"Kau mengenalinya, Adimas ?"
Raden Sajiwo mengangguk, "Iya, Kangmas. Yang memakai topeng adalah Orang bercambung, sedangkan satunya..."
"Hahaha... Satunya aku tahu, Adimas." potong Pangeran Singosari. Dan katanya lebih lanjut kepada seorang lelaki yang tidak tuntas disebutkan oleh Raden Sajiwo, "Kau berumur panjang Lurah Arya Dipa."
Memanglah kedua orang itu ki Lurah Arya Dipa dan Orang Bercambuk Raden Jaka Pamungkas. Tanpa sengaja keduanya bertemu saat mendekati perkemahan pasukan yang dipimpin Pangeran Singosari. Awalnya keduanya dalam melakukan pengintaian berjalan mulus, keberadaan mereka tiada seorang-pun dapat mengetahui, hingga akhirnya saat iringan ki Wanapati dan lainnya beranjak pergi, barulah dua pemuda itu melepas ilmu mereka agar diketahui lawan. Lantas saja keduanya berjalan mendekati kelompok Pangeran Singosari.
Ki Lurah Arya Dipa dalam pada itu menanggapi perkataan Pangeran Singosari dengan wajar, "Benar, Pangeran. Untunglah pada saat itu seorang pertapa sakti menolongku dari terjalnya jurang."
Pangeran Singosari mengerutkan dahinya, "Hm... Maksudmu ki Ajar Bajulpati ?"
"Iya, Pangeran. Orang tua itulah dengan ikhlas dan sabar menunggui diriku yang tak berdaya pada waktu itu." tegas ki Lurah Arya Dipa.
"Tapi kau menyia - nyiakan upayanya itu, karena kini kau malah akan menyurukan kepalamu ke tungku yang panas !." seru Raden Sajiwo.
"Benarkah seperti itu, Raden ?" tiba - tiba Jaka Pamungkas angkat bicara.
Telinga Raden Sajiwo bagai terkena bara, rasa risih yang sangat bercampur amarah menyeruak jelas, itu terbukti giginya bergemeletuk keras, juga kepalan tangan bergerak ke arah Jaka Pamungkas. Saat itulah deru angin berderu menyergap orang bertopeng di sisi kanan ki Lurah Arya Dipa. Sebuah hentakan ilmu pukulan jarak jauh sudah memulai suasana menjadi tegang dan panas. Bila itu dapat mengenai sasaran, tubuh itu tentu mengalamu luka mengerikan.
Hanya saja orang bertopeng yang dikenal bersenjatakan cambuk itu tak mengalami suatu apapun. Karena kewaspadaannya yang tinggi telah menggerakan kakinya untuk beranjak dua langkah ke kanan. Dan kemudian pukulan itu hanya melewati tempat yang didiami Jaka Pamungkas, dan melabrak pohon randu alas. Pohon sebesar paha orang dewasa itu bergemeretak dan roboh.
Menyadari pukulannya tak menemui sasaran semestinya, Raden Sajiwo memerintahkan pengawal, menyerang lawan. Tak menunggu perintah kedua kalinya, sepuluh prajurit pengawal merangsek mengepung dua orang yang dianggap penyusup, dan memulai menyerang. Tak dapat dipungkiri, perkelahian telah mewarnai perkemahan pasukan Bang Wetan yang dipimpin Pangeran Singosari. Hentakan demi hentakan bergulir seru mencari mangsa, penuh rasa ngeri.
Gerakan prajurit pengawal Bang Wetan sungguh mendebarkan dan sangat rapi. Tata gerak mereka saling mengisi satu dengan yang lainnya, dipadu olah senjata yang begitu ngedab - ngedabi. Mereka berupaya memisahkan lawan agar tak mampu saling membantu, juga tak henti - hentinya menyisakan peluang bagi lawan untuk membalas menyerang. Inilah yang mereka sebut siasat macan ambyar nguntal gajah.
Bagaimana bisa se-ekor macan mampu melahap gajah yang badannya beberapa kali lipat ? Namun itulah, siasat macan ambyar atau pecah menjadi banyak dengan kekuatan berlipat ganda adalah inti dari siasat ini untuk melumatkan tenaga gajah. Siasat macan ambyar nguntal gajah ini diciptakan oleh Adipati Rangga Lawe saat menghancurkan pasukan Tartar. Dan kini siasat itu entah bagaimana dapat dipelajari oleh prajurit pengawal Pangeran Singosari.
Dalam pada itu, ki Lurah Arya Dipa dan Jaka Pamungkas, terlihat heran dan juga takjub akan tata gerak lawan mereka. Keduanya dapat dipisahkan dan kini harus menghadapi lima lawan bagi masing - masing. Tak hanya itu, lawan terasa tak henti - henti mengacukan senjata mereka, mengincar daging entah bagian yang mana. Untungnya hingga saat itu keduannya masih dapat meloloskan diri dari senjata lawan.
PANASNYA LANGIT DEMAK
jilid 13 bagian 24
oleh : Marzuki
Siasat Macan Ambyar Nguntal Gajah semakin lama menunjukan betapa garangnya tata gerak berkelompok tersebut. Dengan ditambah bermacam jenis senjata, sungguh mendebarkan hati bagi siapa saja yang melihatnya. Menandakan betapa sang pemikir adalah seorang yang trengginas tangguh tanggon dan hati keras bagaikan karang lautan. Dan memang nyatanya Ronggolawe seorang seperti itu sifatnya. Putra Arya Wiraraja dari Sungenep pulau Madura itu adalah sosok yang tegas dan berkata blak - blakan tanpa tedeng aling - aling. Bila sudah "Há" ya "Ha", namun bila "Ngá" maka sampai kapanpun tetap "Nga". Maka sungguh tepatlah jika ia menciptakan tata gerak berkelompok yang ia namakan "Macan Ambyar Nguntal Gajah".
Sebuah hewan lambang raja rimba berkulit loreng berbadan besar itu bila sekali mengincar mangsanya, ia akan terus melahabnya, apalagi jika diwaktu perut dalam keadaan lapar. "Mlakunè koyo macan keluwèn" atau berjalannya bagaikan harimau lapar, sebuah ibarat yang mendebarkan bagi sosok tersebut, seekor macan jika lapar, jalannya pelan namun pasti dengan kepala agak merunduk serta mata tetap mencorong ke depan meyakinkan akan mangsanya tidak dapat lolos dari terkamannya. Begitulah sepuluh prajurit pengawal itu dalam berperilaku yang diterapkan pada tata gerak mereka.
Menyikapi betapa bahayanya tata gerak berkelompok lawan - lawan mereka, Jaka Pamungkas atau orang bercambuk dan ki Lurah Arya Dipa tak meninggalkan kewaspadaan barang sejengkal. Keduanya tetap awas dan berkelebatan lebih dahsyat agar tak mengalami sesuatu yang merugikan diri mereka. Pantaslah jika keduanya terus menggenjot ilmu mereka ke tataran menengah dan perhitungan yang matang.
Suatu kali ruyung salah seorang prajurit menyasar kepala ki Lurah Arya Dipa. Hampir saja kepala itu pecah jikalau sang empu kepala tidak bergegas merendahkan kepalanya. Namun sekali lagi dari arah belakang, prajurit berbadang tinggi kurus menyodorkan tombak panjangnya. Kembali ki Lurah Arya Dipa melentingkan tubuhnya ke samping kiri, tetapi lawannya yang lain sudah mengejar dengan membabatkan goloknya. Sekali lagi sergapan mereka tak menemui hasil gemilang, entah bagaimana ki Lurah Arya Dipa sudah diluar garis serang mereka.
"Bangsat.... !" seru prajurit bersenjatakan bindi, mendapati lawannya tak termakan siasat mereka.
"Jangan memaki saja, kang !!" geram prajurit yang bersenjatakan ruyung, "Bergeraklah lebih cepat !"
Prajurit yang bersenjatakan bindi menggenjot kakinya ke arah ki Lurah Arya Dipa. Sekali kaki menginjak tanah, bindi ditangan kanannya melayang sebat. Hanya saja bindinya menemui udara kosong, lantas saja bindi itu segera bergerak lagi, lagi, dan lagi. Tetapi lawannya memanglah tangkas laksana tubuhnya tak berbobot. Namun orang itu tak mau menyerah begitu saja, apalagi hatinya sudah tersulut api amarah, iapun semakin gencar mengayunkan bindinya.
Kawannya tak tinggal diam. Mereka juga bergegas membantu. Kembalilah pengeroyokan dengan menggunakan siasat tata gerak bergulir cepat tak terkira.
Sementara itu, tak berbeda jauh yang dirasakan ki Lurah Arya Dipa, dialami Raden Jaka Pamungkas yang menutupi kedoknya dengan sebuah topeng. Lawannya mencecarnya tak henti - henti menggunakan lima jenis senjata berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang memakai keris panjang, pedang berdaun ri pandan, tongkat dari galih asem, kelewang dan ada yang menggunakan clurit. Menandakan kalau prajurit pengawal ini adalah prajurit khusus yang menyertai Pangeran Singosari.
Suatu kali salah seorang yang bersenjatakan clurit menyerang dari sisi kiri menyasar lengan tangan Jaka Pamungkas, sementara seorang lagi yang bersenjatakan pedang ri pandan membabat dari sisi kanan. Menyikapi sergapan ganda itu, Jaka Pamungkas bergerak surut ke belakang. Namun pihak lawan sudah menanti dengan gemplangan dari tongkat galih asem, sekaligus tusukan dari keris panjang. Untunglah Jaka Pamungkas bukanlah orang awam di dunia olah kanurahan , dengan lincah kakinya menggenjot tanah dan membuat tubuhnya terbang lolos dari pukulan dan tusukan senjata lawan - lawannya. Tak hanya itu saja, sembari tubuhnya melayang, kakinya menghantap dua orang itu, meskipun bukan serangan telak, keduanya terlihat sempoyongan.
"Bangsat setan alas...!" Umpat keduanya berbarengan.
maaf mas, lanjutan jilid 14??, makasih saya membaca tuntas dan mengikutin terus
BalasHapusJilid 14 ???
BalasHapusAtau ada buku cetakan yg baru, kentang (kena tanggung) nih bacanya
Lanjutan ceritanya mana ya? Jilid 14
BalasHapusLanjutanya suhu..... Cerita yg mantab
BalasHapusBaru gabung Den...
BalasHapusTutuge pundi ndoro ?
BalasHapusCERITA LANJUTANNYA..... ?
BalasHapusJilid 14 nya kok ndak ada?
BalasHapusLanjutannya ndoro
BalasHapusJoss cceritanya..
BalasHapusLanjutkan suhu...
Ternyata banyak juga ya yg ngikutin cerita panasnya langit demak...
BalasHapusHehehe saya jg baru tahu skrg
Lanjuntan ny suhu...
BalasHapusCeritanya menghibur
BalasHapusLanjutane kulo enteni mbah, suwun
BalasHapusKulonuwun...
BalasHapusApakah cerita ini masih ada kelanjutan atau sudah habis...pemirsa!!!
BalasHapusKlanjutannya mana.....
BalasHapusAyo cak terusane dilanjut, wis akeh nungguk lho
BalasHapusNext suhu..
BalasHapusCerita yg sungguh mantap 👍👍👍👍👍
BalasHapusLanjut ke jilid 14 pakde
BalasHapuslanjutkan
HapusAssalamualaikum,ojo nggawe penasaran mas, lanjutanipun pundi...???
BalasHapusUdh thn 2020.. lanjutannya blm nongol jg...😔
BalasHapusDirumah sambil baca cerita ini , mana ya lanjutannya, ditunggu mas
BalasHapusPundi terusane mas
BalasHapusjangan setengah setengah kisanak jika ingin menyenangkan orang..biar pahalamu juga tidak setengah setengah
BalasHapusGak sabar nunggu kelanjutannya...
BalasHapusMana lanjutannya kang ?
BalasHapusWah bikin penasaran aja gak ada lanjutannya
BalasHapusYo wes lah ambyar jadinya
Assalamualaikum,
BalasHapusSetelah mengikuti dari jilid 1 s/d 13 sungguh cerita inimenarik, runtut dan banyak variasinya, sayangnya Jilid ke 14 kok belum ada ya, jadi bagi pembaca sekaligus pencinta cerita ini jadi merasa gelo, terputus di tengah jalan, semoga jilid 14segera terbit, nuwun, wass
Penasaran ditunggu lanjutannya jilid 14
BalasHapusIya nih mana yg jilid 14
BalasHapusPayah
BalasHapusMaaf sdh lama ditunggu kok jilid 14 dst ....belum muncul....adakah ritual supaya cepat muncul....heeee
BalasHapusJilid 14 nya cari dimana
BalasHapusMonggo dilajeng Mas. Maturnuwun
BalasHapusMas,cerita ini sudah dibuat dalam bentuk buku blm ya?
BalasHapusSuatu khasanah ilmu pengetahuan Jawa yang benar2 perlu dilestarikan,semoga ilmu2 Jawa ini masih lestari sampai sekarang biarpun pada permukaan saat ini tak kelihatan tapi aku yakin masih banyak orang yang menyimpannya !
BalasHapusjilid selanjutnya suhu??
BalasHapusAku orang Jakarta .. suka akan cerita cerita kolosal zaman kerajaan" di Nusantara khusus'y kerajaan di pulau Jawa baik dari bang kulon ... Bang tengah dan bang wetan.. untuk cersil panasnya langit di Demak ini kelanjutannya bagaimana padahal sisi ceritanya bagus .. tolong kasih penjelasannya Om admin.. terima kasih
BalasHapusOm Admin ... please ... tlong dijawab pertanyaan teman2 yg ingin tahu kelanjutan wedaran Panasnya Langit Demak ... apapun infonya ... tengqyu ... 🙏
BalasHapusMana lanjutannya oom...??
BalasHapushemmmmm...sayang ga. da kelanjutannya..
BalasHapusMana ya nomor lanjutan
BalasHapus